Aktivitas membaca terbilang jarang tampak di masyarakat. Mungkin hanya segelintir orang saja yang masih minat dengan membaca buku teks secara serius. Di era ekarang, yang lagi trending untuk dibaca ialah berupa catatan status dan artikel pendek yang tersebar di media online. Tentu, tidak ada kedalaman ilmu yang didapat, apalagi terkait dengan pemikiran teologi Islam. Saya kira dengan membaca buku secara komprehensif, maka keluasan pengetahuan dan pemahaman akan didapatkan secara sempurna oleh pembaca. Apalagi buku yang dibaca berupa riset ilmiah. Kali ini saya mencoba men-share sekelumit hasil bacaan saya ketika membaca buku Ibn Rusyd: Tujuh Perdebatan utama Teologi Islam.
Ibnu Rusyd, dikenal
sebagai filsuf Muslim, teolog dan fakih. Ia hidup di Spanyol pada tahun
1126-1198 M. Yang menarik, ia termasuk salah satu ilmuan Muslim yang berani
menkritisi pemikiran Hujjahtul Islam Abu Hamid Ghazali. Selain
itu dikenal juga sebagai komentator ulung dalam filsafat Aristoteles. Sehingga,
pemikirannya menjadi dambaan bagi para peminat filsafat di barat dan timur.
Bisa dikatakan, masyarakat barat sekarang ini mengenal filsafat Aristoteles
karena mendapatkan berkah dari sosok Ibnu Rusyd melalui penerjemahan berbagai
karya-karyanya dalam bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya.
Secara umum, buku ini
sesuai dengan judulnya yaitu mengurai tema teologi (ilmu kalam) yang meliputi;
wujud dan keesaan Tuhan, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Dikaji juga prihal
perbuatan manusia, keadilan Allah, Rasul, wahyu dan Hari Kiamat.
Semua tema yang
diangkat dalam studi teologi itu diperdebatkan oleh para tokoh (mazhab)
Asy’ariyah, Maturidiyah, Mutazilah dan kalangan filsuf Muslim. Sebagai seorang
intelektual Muslim kenamaan, Ibnu Rusyd pun ikut serta dalam perdebatan sengit,
yang dikupas dalam beberapa karya tulisnya. Meski tema yang dikaji itu beraroma
klasik, namun dalam sentuhan Ibn Rusyd menjadi lebih interaktif sehingga
memiliki perbedaan kajian dengan teolog Muslim sebelumnya.
Ibn Rusyd
menggabungkan argumen teks Alquran dengan doktrin filsafat. Sehingga bagi Ibn
Rusyd agama dan filsafat tidaklah sesuatu yang mesti dipertentangkan. Ia tak
segan-segan mengkritik sajian teologis dari Asy’ariyah, Mutazilah, Maturidiyah
termasuk Abu Hamid Ghazali. Kalau ditelusuri dari uraiannya, Ibn Rusyd
memberikan komentar kritis atas konstruksi teologi mereka dengan menyodorkan
jawaban Alquran. Selain itu juga ia menggunakan penafsiran yang keluar dari
makna literal dan menyajikan substansi dari sebuah teks. Inilah ciri khas yang
dimiliki oleh Ibn Rusyd, tentu metode semacam ini lahir karena hasratnya ingin
mendamaikan agama dan filsafat, yang kebetulan oleh kalangan Muslim
literalis—kaum hasywiyyah dan mujassimah—
dipertentangkan, bahkan diharamkan untuk mempelajari filsafat.
Masih menurut Ibn Rusyd,
bahwa di tengah umat Islam tidak bisa disamaratakan daya paham terkait agama.
Meski kaum Mutazilah dengan argumen rasional mencoba untuk menguraikan tentang
konsep ketuhanan, keadilan dan nasib manusia di akhirat, tetapi orang literalis
akan menolaknya karena akal mereka belum sampai pada pengetahuan mutakalimun,
yang biasanya didasarkan pada kekuatan jadali. Begitu pula
kaum mutakalimun tidak akan sampai pada pengetahuan kaum
filsuf dan sufi karena argumen yang dibangunnya berasas pada burhani dan ‘irfani. Sebagai
catatan dalam buku ini agaknya kaum sufi tidak terlalu disentuh oleh Ibn Rusyd
sebab tidak masuk dalam nalar filosofis.
Menurut Ibn Rusyd
harus dibedakan antara kelompok awwam dan khawwash.
Saat menerangkan agama pada kaum awwam cukup dengan dalil
teksual dan ibrah. Sedangkan pada kaum khawwash, tidak
cukup dalil tetapi harus dijelaskan dengan nalar rasional sampai bisa
menerimanya. Karena itu, filsafat dan sufistik bersifat khusus dan tidak
sembarang orang mempelajarinya. Di antara fukaha dan kaum teolog dari Khawarij,
Jabariyah, Qadariyah dan Asyariyah terkadang tidak mampu memahami pemikiran
filsuf dengan baik, bahkan cenderung menyalahkan. Hal ini karena secara
konstruk pemikiran mereka masuk awwam yang berbasis pada arti
teks saja tanpa penafsiran substantif. Sedangkan kaum teolog Mutazilah dan
Maturidiyah yang bersentuhan dengan filsafat dapat dikatakan masuk pada khawwash.
Buku Ibn
Rusyd: Tujuh Perdebatan Utama Teologi Islam ini terbagi dalam empat
bab; (1) berupa pendahuluan tentang kedudukan Ibn Rusyd dalam khazanah
intelektual Muslim dan peradaban dunia, serta alasan pentingnya mengkaji
teologi Ibn Rusyd. (2) membeberkan riwayat hidup Ibn Rusyd dan sekilas
pemikiran Khawarij, Murjiah, Jabbariyah, Qadariyah, Mutazilah, Asyariyah,
Maturidiyah, dan tema teologi yang dikupas Ibn Rusyd yaitu akal dan wahyu, iman
dan kufur, sifat dan perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. (3) kajian yang
fokus pada tujuh tema teologi yang dikaji secara kritis dan menyajikan pendapat
pribadi dari Ibn Rusyd. (4) kesimpulan.
Untuk yang terakhir
ini oleh penulis buku disebutkan bahwa Ibn Rusyd adalah seorang intelektual
yang rasional serta memahami perkembangan pemikiran keagamaan zamannya.
Pendapat Ibn Rusyd dalam teologi tidak tampak memihak pada mazhab tertentu,
tetapi seakan mengambil dari mereka yang dianggap benar olehnya. Meski
demikian, secara fikih, Ibnu Rusyd adalah seorang malikiyah dan jumhur ulama
menyatakan Ibn Rusyd adalah filsuf yang memperbarui teologi Asy’ariyah menjadi
memiliki nuansa rasional.*** (ahmad
sahidin)
Sumber https://baca.nuralwala.id/tilik-buku-ibn-rusyd-tujuh-perdebatan-utama-dalam-teologi-islam/