Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak meski terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung” (QS.Al-Qalam : 4).
Kata akhlak banyak ditemukan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Di antaranya hadis yang berbunyi: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Bertitik
tolak dari pengertian bahasa ini, akhlak bisa dimaknai sebagai kelakuan manusia
yang beraneka ragam. Keanekaragaman kelakuan ini antara lain,
nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta
dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.
Kecenderungan
manusia pada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada
setiap peradaban dan zaman. Perbedaan—jika terjadi—terletak pada bentuk,
penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral,
yang disebut ma'ruf dalam bahasa Al-Quran. Tidak ada peradaban
yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau
keangkuhan. Pun tidak ada manusia
yang menilai bahwa penghormatan kepada
kedua orangtua adalah buruk. Tetapi, bagaimana seharusnya
bentuk penghormatan itu?
Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya
berbeda-beda antara satu masyarakat pada
generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi
yang lain. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh
masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia
tetap dinilai baik (ma'ruf).
Kembali kepada persoalan kecenderungan manusia terhadap kebaikan, atau pandangan tentang kesucian manusia sejak lahir, hadis-hadis Nabi Muhammad Saw pun memuat: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fithrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR.Bukhari).
Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW bernama Wabishah bin Ma'bad berkunjung kepada Nabi Saw. Lalu Beliau Saw menyapanya: "Engkau datang menanyakan kebaikan?"
"Benar, wahai Rasul," jawab Wabishah. Rasulullah Saw berkata: "Tanyailah hatimu! Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tenteram terhadap hati. Sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa" (HR Ahmad dan Ad-Darimi).
Imam Ghazali dalam kitab "Ulumuddin" menyatakan bahwa akhlaq adalah suatu gejala kejiwaan yang sudah mapan dan menetap dalam jiwa, yang dari padanya timbul dan terungkap perbuatan dengan mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Kemudian Ibnu Maskawaih dalam kitab tahzibul akhlaq watathirul araq, mendifinisikan bahwa akhlaq itu sebagai sikap jiwa seserorang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran.
Tiga Akhlak
Akhlak terhadap makhluk terbagi menjadi tiga bagian (berdasarkan pada pembelajaran sekolah). Pertama adalah akhlak terhadap diri sendiri sebagai manusia. Manusia yang bertanggung jawab ialah pribadi yang mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri, bertanggung jawab atas tugas dan kewajiban yang dipikul diatas pundaknya, kewajibannya –kewajibannya: tanggungjawab terhadap kesehatannya, pakaiannya, minuman dan makanannya dan bahkan yang menjadi apa yang menjadi miliknya.
Kedua adalah akhlaq terhadap kedua orangtua. Seorang muslim wajib memberi penghormatan yang secukupnya terhadap ayah dan ibunya. Memelihara mereka dihari tuanya, mencintai mereka dengan kasih sayang yang tulus serta mendoakan setelah mereka tiada. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah ra bahwa: Seorang laki-laki menghadap Rasulullah Saw dan menanyakan siapakah yang berhak atas penghormatan dan perlakuan baik dari seseorang? Rasulullah SAW menjawab: ibumu. Lalu, laki-laki itu bertanya lagi kemudian siapa pula ya Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menjawab: Ibumu. Laki-laki itu bertanya lagi, kemudian siapa lagi ya Rasulullah SAW? Rasulullah SAW menjawab: “Ibumu, Ibumu, ibumu.” Kemudian laki-laki itu bertanya lagi: “siapa lagi ya Rasulullah SAW?” Beliau Saw menjawab: “Ayahmu”. Dari hadis ini dapat dipahami bahwa penghormatan yang wajib diberikan pada ibu adalah tiga kali lipat dari penghormatan pada bapak (ayah). Meski demikian, pada ayah dan ibu tetap harus hormat dan memberikan pelayanan yang terbaik pada keduanya.
Ketiga adalah akhlak terhadap lingkungan sekitar. Selain harus berperilaku baik dalam kehidupan manusia atau bersikap akhlak mulia pada orangtua, juga terhadap alam, binatang, tumbuhan, kepada yang ghaib, dan semesta alam. Perlakukan alam semesta dengan baik dan pelihara dengan perawatan yang sebenar-benarnya.
Mengutip dari Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat) bahwa inti dari akhlak dalam agama Islam itu pada dasarnya empati, yaitu merasakan dan penuh peduli pada manusia dan alam sekitarnya. Mari kita wujudkan sikap akhlak mulia tersebut dengan empati. Dapat dimulai pada empati keluarga, teman, guru dan orang lain.
Demikian yang bisa saya sajikan. Maaf kajian ini bersifat dogmatis, tetapi penting untuk diwujudkan dalam kehidupan.*** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)