Salamun 'alaikum. Wilujeng wayah kieu. Semoga pembaca berada
dalam keberkahan dan sehat lahir batin. Ini sekadar obrolan saja. Mungkin ada
manfaat, juga bisa tidak guna.
Bagi saya tak menjadi soal manfaat atau tidak. Ini sekadar
"pelepasan" yang dicurahkan melalui tulisan. Karena ini yang baru
dapat saya lakukan. Lainnya belum dapat saya lakukan.
Saya awali dengan pertanyaan: apa yang didapatkan dari sekolah dan lembaga pendidikan yang ditempuh dari tingkat dasar sampai tinggi? Jawabannya (adalah) ijazah dan tanda lulus sekolah. Kemudian dapat angka atau abjad yang menunjukkan ia telah lulus dan meraih nilai dari pelajaran (disiplin ilmu) yang didapatkannya.
Padahal nilai tersebut tidak sepenuhnya didapatkan dari
kinerja belajar (seorang murid atau mahasiswa), tetapi ada unsur
"kasihan" dari sang guru atau dosen (pengajar).
Mungkin kalau dihitung sejak sekolah dasar sampai perguruan
tinggi lebih dari duapuluh lima disiplin ilmu yang dipelajari dan didapatkan,
baik teori maupun praktek. Adakah manfaat yang didapatkan saat Anda lulus dan
tidak lagi sekolah? Adakah membantu Anda dalam urusan perekonomian keluarga dan
Anda sendiri? Saya kira tidak seratus persen keberhasilan dan kesuksesan
ditunjang oleh pendidikan. Tentu ada faktor lain yang tidak terkait dengan
sekolah atau pendidikan.
Apa yang sebenarnya didapatkan dari sekolah dan pendidikan
yang berjenjang dari dasar hingga tinggi? Kalau dihitung lagi malah lebih
banyak pengeluaran ketimbang yang didapatkan dari kegiatan tersebut. Biar
bagaimana pun, kalau direnungkan pasti ada manfaat yang didapat dari sekolah dan
jenjang pendidikan yang ditempuh dari dasar sampai tinggi.
Pendidikan merupakan fondasi pembangunan manusia. Cerdas,
kreatif dan mandiri dalam berkehidupan. Kemudian memberi manfaat untuk orang
banyak. Itu yang saya ketahui tentang pendidikan. Tiga yang utama dalam
pendidikan yaitu baca, tulis, hitung.
Meski sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi dijejali
ilmu-ilmu yang aneka macam pengetahuan dan keterampilan, dalam menjalani hidup
di dunia nyata sehari-hari hanya "baca tulis hitung" yang amat terpakai.
Selain itu, aneka pengetahuan yang didapatkan menguap saja
dari ingatan. Dan jika ingin ingat lagi dengan aneka ilmu pengetahuan tersebut
maka bisa dilakukan dengan membaca. Namun terkadang saat sudah masuk dunia
kerja maka aktivitas pada keilmuan menjadi berkurang. Akhirnya lupa dengan
disiplin ilmu yang pernah dipelajarinya.
Mungkin yang masih mengendap adalah "baca tulis
hitung" dan pelajaran praktek ibadah (agama) karena dilakukan setiap hari
dan berlaku sampai akhir hayat. Sayangnya ilmu agama diabaikan dalam
belajarnya. Dianggap cukup dari guru di sekolah dan ustad saat pengajian di
masjid atau lihat medsos saja. Padahal, selama hayat masih dikandung badan maka
wajib untuk belajar (terutama agama sebagai bekal menuju akhirat). Itu pun bagi
yang memiliki kesadaran nurani dan merasa butuh dengan agama. Kalau dicermati
sejak lahir, masa remaja, dewasa dan nikah kemudian urusan kematian, ternyata
ilmu agama terpakai dan berguna pada semua momentum tersebut.
Misalnya saat ada yang sakit dan tahlilan saudara/keluarga
yang meninggal dunia pasti yang dipakai adalah ilmu agama, yaitu membaca
Alquran dan doa-doa. Jadi, membaca sangat perlu dan penting. Tidak hanya untuk
urusan beragama, tetapi juga menunjang pada hidup kita.
Sebenarnya, apa sih yang dibaca? Yakni tulisan berupa huruf
dan angka. Dari yang dibaca itu kita dapat informasi dan pengetahuan. Dan masa
sekarang ini membaca serius untuk buku-buku cetak sudah amat jarang saya
lihat di masyarakat.
Mungkin bisa survey ke perpustakaan daerah dan nasional.
Jumlah setiap harinya masih puluhan yang datang. Dari puluhan itu yang membaca
dan meminjam buku untuk dibaca, mungkin lebih sedikit lagi. Itu pun hanya
mahasiswa dan pelajar yang ke perpustakaan ketika ada tugas. Di luar itu, pasti
amat jarang meluangkan waktu untuk membaca buku.
Ya, tradisi membaca belum menjadi kebutuhan. Masih dianggap
beban dan dianggap tidak bermanfaat. Atau hanya membuang-buang waktu
saja.
Sebetulnya saat buka medsos pun pasti baca. Hanya bukan yang
terkait dengan keilmuan (kecuali untuk pelajar dan mahasiswa). Umumnya baca
berita dan tulisan pendek, yang kadang kurang bergizi saat dibaca. Bahkan, yang
amat jarang dilakukan adalah membaca buku atau menikmati bacaan yang bergizi
untuk nutrisi otak. Membaca status media sosial mungkin hampir setiap hari saat
buka media sosial pasti dibaca yang diposting orang lain. Meski sekilas.
Nah, bagaimana dengan baca buku? Ini persoalan berat bagi
masyarakat Indonesia. Juga di sekolah. Membaca dianggap beban oleh murid-murid
generasi milenial dan generasi "z". Di antara para pengajar pun
sering saya temukan enggan membaca buku atau jurnal mengenai keilmuan yang
diajarkannya. Cukup buku paket dari Kemendikbud. Sumber informasi dari Google
hanya sesekali dilihat kalau sedang terdesak mencari yang tidak diketahui. Itu
pun sesekali.
Jika saya perhatikan, sekarang ini pendidikan melalui online
sekira 60-80 persen berbasis membaca dan menyimak. Kalau murid sejak awal tidak
dibiasakan membaca maka akan repot saat diberi tugas yang harus diawali membaca
dulu. Repot juga saat harus menyimak tayangan (vidio atau slide) pelajaran
kalau tak biasa dalam literasi.
Jadi, yang harus terus digencarkan adalah gerakan membaca
buku kemudian memahami yang dibaca. Selanjutnya mengkomunikasikan hasil yang
didapatkan dari sumber pengetahuan yang dibaca. Syukur kalau kemudian dari
aktivitas membaca tersebut muncul gagasan yang melahirkan kreativitas dan
penemuan bidang teknologi atau bidang kesehatan yang bermanfaat untuk orang
banyak.
Saya kira benar bahwa iqro sebagai wahyu pertama
bagi umat Islam. Karena dengan iqro berarti menghimpun pengetahuan, berarti
menyimpan pada memori otak, berarti mengetahui mana yang benar dan baik. Dengan
iqro manusia akan jauh lebih baik dari yang tidak iqro dari sisi kemanusiaan.
Dengan melakukan iqro akan terus berupaya menyempurna dan terus melakukan
perbaikan diri, perbaikan kinerja, dan meningkatkan kemampuan diri. Itu pun
bagi yang sadar.
Alhamdulillah di tengah pandemi ini saya coba kembali
membiasakan untuk iqro. Dalam satu pekan saya paksakan untuk baca buku minimal
satu judul. Buku yang dibaca tentu yang menarik minat secara personal. Buku
yang ada di rak buku yang dibeli sejak kuliah. Karena banyak yang belum
terbaca. Dan itu menjadi tanggung jawab personal agar tidak sekadar pajangan,
maka dibaca saja bukunya.
Saya baca buku sekira dua sampai empat hari sampai tuntas
untuk buku dengan jumlah halaman di atas dua ratus. Kemudian selesai membaca,
saya renungkan: pengetahuan apa saja yang saya dapatkan dari buku tersebut.
Setelah itu saya tuliskan dengan kalimat dan kata-kata sendiri mengenai
pengetahuan yang saya ketahui dari buku yang sudah dibaca. Selanjutnya saya
posting pada media sosial (online). Saya bagikan yang saya dapatkan dari buku
yang dibaca agar orang yang membaca tulisan di medsos pun mengetahui dan semoga
tertarik untuk mengkaji lebih lanjut.
Manfaatkah yang saya lakukan tersebut? Bagaimana menurut
Anda? Terima kasih sudah membaca tulisan ini. *** (ahmad sahidin)