Sabtu, 04 Juli 2020

apa yang didapatkan dari sekolah dan lembaga pendidikan yang ditempuh dari tingkat dasar sampai tinggi?

Salamun 'alaikum. Wilujeng wayah kieu. Semoga pembaca berada dalam keberkahan dan sehat lahir batin. Ini sekadar obrolan saja. Mungkin ada manfaat, juga bisa tidak guna. 

Bagi saya tak menjadi soal manfaat atau tidak. Ini sekadar "pelepasan" yang dicurahkan melalui tulisan. Karena ini yang baru dapat saya lakukan. Lainnya belum dapat saya lakukan.

Saya awali dengan pertanyaan: apa yang didapatkan dari sekolah dan lembaga pendidikan yang ditempuh dari tingkat dasar sampai tinggi? Jawabannya (adalah) ijazah dan tanda lulus sekolah. Kemudian dapat angka atau abjad yang menunjukkan ia telah lulus dan meraih nilai dari pelajaran (disiplin ilmu) yang didapatkannya. 

Padahal nilai tersebut tidak sepenuhnya didapatkan dari kinerja belajar (seorang murid atau mahasiswa), tetapi ada unsur "kasihan" dari sang guru atau dosen (pengajar). 

Mungkin kalau dihitung sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi lebih dari duapuluh lima disiplin ilmu yang dipelajari dan didapatkan, baik teori maupun praktek. Adakah manfaat yang didapatkan saat Anda lulus dan tidak lagi sekolah? Adakah membantu Anda dalam urusan perekonomian keluarga dan Anda sendiri? Saya kira tidak seratus persen keberhasilan dan kesuksesan ditunjang oleh pendidikan. Tentu ada faktor lain yang tidak terkait dengan sekolah atau pendidikan.

Apa yang sebenarnya didapatkan dari sekolah dan pendidikan yang berjenjang dari dasar hingga tinggi? Kalau dihitung lagi malah lebih banyak pengeluaran ketimbang yang didapatkan dari kegiatan tersebut. Biar bagaimana pun, kalau direnungkan pasti ada manfaat yang didapat dari sekolah dan jenjang pendidikan yang ditempuh dari dasar sampai tinggi.

Pendidikan merupakan fondasi pembangunan manusia. Cerdas, kreatif dan mandiri dalam berkehidupan. Kemudian memberi manfaat untuk orang banyak. Itu yang saya ketahui tentang pendidikan. Tiga yang utama dalam pendidikan yaitu baca, tulis, hitung. 

Meski sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi dijejali ilmu-ilmu yang aneka macam pengetahuan dan keterampilan, dalam menjalani hidup di dunia nyata sehari-hari hanya "baca tulis hitung" yang amat terpakai. 

Selain itu, aneka pengetahuan yang didapatkan menguap saja dari ingatan. Dan jika ingin ingat lagi dengan aneka ilmu pengetahuan tersebut maka bisa dilakukan dengan membaca. Namun terkadang saat sudah masuk dunia kerja maka aktivitas pada keilmuan menjadi berkurang. Akhirnya lupa dengan disiplin ilmu yang pernah dipelajarinya. 

Mungkin yang masih mengendap adalah "baca tulis hitung" dan pelajaran praktek ibadah (agama) karena dilakukan setiap hari dan berlaku sampai akhir hayat. Sayangnya ilmu agama diabaikan dalam belajarnya. Dianggap cukup dari guru di sekolah dan ustad saat pengajian di masjid atau lihat medsos saja. Padahal, selama hayat masih dikandung badan maka wajib untuk belajar (terutama agama sebagai bekal menuju akhirat). Itu pun bagi yang memiliki kesadaran nurani dan merasa butuh dengan agama. Kalau dicermati sejak lahir, masa remaja, dewasa dan nikah kemudian urusan kematian, ternyata ilmu agama terpakai dan berguna pada semua momentum tersebut.

Misalnya saat ada yang sakit dan tahlilan saudara/keluarga yang meninggal dunia pasti yang dipakai adalah ilmu agama, yaitu membaca Alquran dan doa-doa. Jadi, membaca sangat perlu dan penting. Tidak hanya untuk urusan beragama, tetapi juga menunjang pada hidup kita.

Sebenarnya, apa sih yang dibaca? Yakni tulisan berupa huruf dan angka. Dari yang dibaca itu kita dapat informasi dan pengetahuan. Dan masa sekarang ini membaca serius untuk buku-buku cetak sudah amat jarang saya lihat di masyarakat. 

Mungkin bisa survey ke perpustakaan daerah dan nasional. Jumlah setiap harinya masih puluhan yang datang. Dari puluhan itu yang membaca dan meminjam buku untuk dibaca, mungkin lebih sedikit lagi. Itu pun hanya mahasiswa dan pelajar yang ke perpustakaan ketika ada tugas. Di luar itu, pasti amat jarang meluangkan waktu untuk membaca buku.

Ya, tradisi membaca belum menjadi kebutuhan. Masih dianggap beban dan dianggap tidak bermanfaat. Atau hanya membuang-buang waktu saja. 

Sebetulnya saat buka medsos pun pasti baca. Hanya bukan yang terkait dengan keilmuan (kecuali untuk pelajar dan mahasiswa). Umumnya baca berita dan tulisan pendek, yang kadang kurang bergizi saat dibaca. Bahkan, yang amat jarang dilakukan adalah membaca buku atau menikmati bacaan yang bergizi untuk nutrisi otak. Membaca status media sosial mungkin hampir setiap hari saat buka media sosial pasti dibaca yang diposting orang lain. Meski sekilas.

Nah, bagaimana dengan baca buku? Ini persoalan berat bagi masyarakat Indonesia. Juga di sekolah. Membaca dianggap beban oleh murid-murid generasi milenial dan generasi "z". Di antara para pengajar pun sering saya temukan enggan membaca buku atau jurnal mengenai keilmuan yang diajarkannya. Cukup buku paket dari Kemendikbud. Sumber informasi dari Google hanya sesekali dilihat kalau sedang terdesak mencari yang tidak diketahui. Itu pun sesekali.

Jika saya perhatikan, sekarang ini pendidikan melalui online sekira 60-80 persen berbasis membaca dan menyimak. Kalau murid sejak awal tidak dibiasakan membaca maka akan repot saat diberi tugas yang harus diawali membaca dulu. Repot juga saat harus menyimak tayangan (vidio atau slide) pelajaran kalau tak biasa dalam literasi. 

Jadi, yang harus terus digencarkan adalah gerakan membaca buku kemudian memahami yang dibaca. Selanjutnya mengkomunikasikan hasil yang didapatkan dari sumber pengetahuan yang dibaca. Syukur kalau kemudian dari aktivitas membaca tersebut muncul gagasan yang melahirkan kreativitas dan penemuan bidang teknologi atau bidang kesehatan yang bermanfaat untuk orang banyak.

Saya kira benar bahwa iqro sebagai wahyu pertama bagi umat Islam. Karena dengan iqro berarti menghimpun pengetahuan, berarti menyimpan pada memori otak, berarti mengetahui mana yang benar dan baik. Dengan iqro manusia akan jauh lebih baik dari yang tidak iqro dari sisi kemanusiaan. Dengan melakukan iqro akan terus berupaya menyempurna dan terus melakukan perbaikan diri, perbaikan kinerja, dan meningkatkan kemampuan diri. Itu pun bagi yang sadar.

Alhamdulillah di tengah pandemi ini saya coba kembali membiasakan untuk iqro. Dalam satu pekan saya paksakan untuk baca buku minimal satu judul. Buku yang dibaca tentu yang menarik minat secara personal. Buku yang ada di rak buku yang dibeli sejak kuliah. Karena banyak yang belum terbaca. Dan itu menjadi tanggung jawab personal agar tidak sekadar pajangan, maka dibaca saja bukunya.

Saya baca buku sekira dua sampai empat hari sampai tuntas untuk buku dengan jumlah halaman di atas dua ratus. Kemudian selesai membaca, saya renungkan: pengetahuan apa saja yang saya dapatkan dari buku tersebut. Setelah itu saya tuliskan dengan kalimat dan kata-kata sendiri mengenai pengetahuan yang saya ketahui dari buku yang sudah dibaca. Selanjutnya saya posting pada media sosial (online). Saya bagikan yang saya dapatkan dari buku yang dibaca agar orang yang membaca tulisan di medsos pun mengetahui dan semoga tertarik untuk mengkaji lebih lanjut. 

Manfaatkah yang saya lakukan tersebut? Bagaimana menurut Anda? Terima kasih sudah membaca tulisan ini. *** (ahmad sahidin)