Senin, 20 Juli 2020

Resensi buku Madrasah Ruhaniah

BUKU kali ini, yang saya baca adalah karya Al-Ustadz Jalaluddin Rakhmat yang biasa disapa Kang Jalal atau Ustadz Jalal. Saya membacanya mulai awal sampai tuntas. Cukup lama saya membacanya. Biasanya buku setebal dua ratusan halaman dalam waktu kurang dari empat hari selesai. Namun, untuk buku ini saya sengaja tunda-tunda agar setiap hari dapat dibaca dan mengendapkan dahulu pada otak saya. Halaman demi halaman setia hari dibuka dan terus membuka halaman demi halaman buku, hingga akhirnya selesai juga. 

Meski kini bukan bulan Ramadhan, tetapi esensi buku Kang Jalal ini sangat relevan. Setidaknya untuk menumbuhkan empati dan ibadah soal dari setiap orang-orang Islam. Tidak percaya, baca bukunya.

Saya lanjutkan resensinya. Secara umum buku Madrasah Ruhaniah ini terbagi dalam empat bab. Bab pertama berjudul Takhalli: Bersihkan Jiwa sambut Puasa; bab dua berjudul Tahalli: Hiasan Insan di Bulan Ramadhan; bab tiga berjudul Makna Batiniah Hari-hari Ramadhan; dan bab empat berjudul Tajali: Khalifah Tuhan di Muka Bumi. 

Buku karya guru saya tersebut berisi ceramah yang berkaitan dengan puasa dan uraian hikmah puasa perhari sampai akhir ramadhan. Dilengkapi juga dengan khutbah Rasulullah saw dan doa-doa harian dari hari pertama sampai terakhir. 

Apa yang dihasilkan dari baca buku tersebut? Saya menjadi tahu bahwa yang penting dalam Ramadhan bukan sekadar puasa, tetapi ibadah sosial dan pelayanan yang baik bagi orang lain, khususnya selama bulan Ramadhan. 

Dalam buku Madrasah Ruhaniah, Kang Jalal dengan indah mengisahkan cerita seorang ibu kaya yang menghabiskan waktu Ramadhan bukan dengan baca quran atau tarawih, tetapi dengan membagi-bagikan makanan untuk kaum mustadh’afin (khidmat). 

Guru saya juga mengutip sebuah riwayat bahwa Nabi Musa as berbincang dengan Allah. Allah Yang Mahasuci bertanya, “Hai Musa, banyak sekali ibadahmu, yang mana untuk-Ku?” 

Nabi Musa as terkejut. Kemudian dengan cepat menjawab, “Shalatku, hajiku, kurbanku, doa, dan zikirku.” 

Allah berkata, “Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku?” Nabi Musa as bingung dan berkata, “Tunjukkan pada hambamu yang lemah ini, mana ibadahku untuk-Mu!” 

Allah berkata, “Berkhidmatlah kepada hamba-hamba-Ku!” 

Dalam riwayat tersebut jelas bahwa setiap ibadah ritual yang kita lakukan pahalanya akan kembali kepada kita kelak di akhirat. Pahala baca quran, doa, tarawih, shalat, dan zikir kembalinya kepada kita. Ibadah lailatul qadar yang semalan suntuk dilakukan jelas pahalanya buat yang melaksanakannya. Semua amal tersebut jelas bukan untuk Allah, tetapi kepentingannya untuk kita. Lalu, ibadah yang mana untuk Allah?      

Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw bersabda bahwa Allah berfirman,”Semua makhluk adalah keluarga-Ku. Makhluk yang paling Aku cintai adalah yang paling penyayang pada makhluk yang lain, yang paling sungguh-sungguh dalam memenuhi keperluannya” (halalaman 14).

Terakhir, yang saya pahami dari buku karya Kang Jalal itu secara general ingin menegaskan ibadah ritual seperti puasa ramadhan kalah dari sisi nilai dibandingkan dengan ibadah sosial. Dan memang saat ini, masa pandemi maka ibadah sosial dan sikap empatik pada orang-orang yang terkena dampak dari Covid19 mestinya menjadi ladang amal bagi umat Islam yang aghniya. 

Saya sendiri hanya bisa mengusap dada. Hanya bisa mengeluhkan saja dengan pandemi. Sebab saat orang yang terkena dampak Covid19 kesusahan secara ekonomi, murid di pelosok desa kesulitan dalam belajar karena tak punya HP, karena tak cukup beli kuota, karena lain hal sehingga hanya bisa mengulang yang sudah dicatat. Membaca buku paket tanpa arahan dari guru. Saya hanya bisa merasakan. Maaf, belum ada pergerakan untuk bantu. Maaf, saya hanya bisa keluhkan saja dan doa. Belum bisa bantu mereka.

Semoga para aghniya tergerak untuk membantu orang yang terkena dampak, terutama para murid dan santri yang memerlukan akses pada internet untuk lanjutkan pembelajaran masa covid19 ini.  *** (ahmad sahidin)