Saya tidak mempersoalkan tentang kemukjizatan
atau keagungan Al-Quran. Akan tetapi, jika seorang Muslim atau para pengkaji
Islam masih meragukan Al-Quran, otak dan pikirannya bisa dikatakan tidak sehat.
Namun, apabila ada seorang Muslim “awam” yang belum paham maka perlu dicerahkan
dengan kajian-kajian dan pemahaman yang mudah. Jika dipaksakan dengan
menggunakan pemahaman sarjana dan ulama, bisa pusing tujuh keliling. Setiap
orang punya tingkat dan derajat pemahaman yang berbeda. Tapi tiap orang
(Muslim) sedikitnya sudakh kenal dengan kitab yang dibawa Nabi akhir zaman
tersebut.
Persoalan yang mengganggu adalah pemahamam
atas nash dan konflik politik mengakibatkan lahirnya beberapa firqah Islam
sekte seperti Khawarij, Sunni, Syi`ah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah,
Asyariyah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Murabithun, Muwahidun; Pan-Islamisme,
Wahabiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Muhammadiyah, Jamiatul Khair, Syarekat
Islam, Nahdhatul Ulama (NU), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Hizbut
Tahrir, Forum Ulama Umat Islam (FUUI), Jaringan Islam Liberal (JIL), Ikatan
Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), dan lainnya.
Sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari
perdebatan itu telah menelan korban yang berakhir dengan darah dan caci-maki
yang mencerminkan hilangnya nilai-nilai Islam. Inilah budaya
solipsis-apostasisme yang masih melekat. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya
pemegang “otoritas-agama” yang sah dan
diakui secara menyeluruh oleh Ummat Islam sejak wafatnya Rasulullah Saw (tahun 632 Masehi) hingga sekarang. Juga
berkaitan dengan tidak komprehensif dan holistiknya mereka dalam mengkaji dan
memahami kalamullah wa sunnaturrasulillah. Terutama pada aspek sejarah, asbabul
nuzul, konteks zaman, faktor dan kondisi yang dihadapi saat turunnya al-Qur`an
dan keluarnya hadits maupun sunnah dari Nabi Muhammad Saw.
Bukankah al-Qur`an turun secara
berangsur-angsur? Artinya, ayat-ayat yang diturunkan dari Allah berkaitan
dengan konteks sejarah dan sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi saat
itu. Bahkan, kodifikasi al-Quran yang seharusnya sesuai kronologis turunnya
al-Quran adalah salah satu dari sekian hal yang menimbulkan pertentangan,
paradoks dan konflik-konflik teologis. Sejarah mencatat bahwa mushaf al-Quran
yang beredar di umat Islam (yang diawali
surat al-fatihah dan diakhiri surat al-anas) adalah disusun atas dasar
pengetahuan dan ijtihad (politis) Utsman bin Affan yang saat menjadi khalifah
banyak yang menentangnya.
Tidak dipungkiri ketika merujuk pada ayat-ayat
Allah tampak paradoks satu sama lain (seperti kutipan ayat yang diambil sekte
Qadariyah dan Jabariyah). Andaikata mushaf disusun secara kronologis sesuai
dengan asbabul nuzul dan konteks zamannya maka akan terhindar dari perdebatan
kontroversial yang tragis dan tak berujung.
Akan tetapi, persoalannya tidak selesai begitu
saja. Yang menjadi persoalan kemudian adalah tafsir. Persoalan tafsir harus
diakui sangat penting dan tidak selesai seperti membalik telapak tangan.
Terbukti sejak pasca wafat Rasulullah hingga sekarang masih tetap
kontroversial. Pada konteks ini seorang intelektual muslim asal Pakistan, yaitu
almarhum Fazlur Rahman, telah menganjurkan dalam proses penafsiran harus
dipahami melalui konteks zaman dan historisitas hadirnya wahyu. Tentu kita
harus merujuk pada nash-nash otentik dan kemudian ditafsirkan sesuai konteks
sekarang. Jika ini tidak dilakukan maka cerita-cerita penindasan TKW/TKI di
Arab Saudi, ketidakberdayaan karena tidak bisa beraktivitas melakukan
pekerjaannya dan kemiskinan di Afghanistan dan Pakistan yang disebabkan tidak
berfungsinya beberapa anggota tubuh akan kian bertambah di dunia Islam.
Meskipun itu akibat perbuatannya, tetapi
bukankah hukuman diberlakukan bertujuan untuk membuat “jera” para pelaku dan
yang hendak mengikutinya, tanpa “mematikan” hidup dan kehidupan di pasca
hukumannya itu. Karena itu nash-nash
perlu dibaca dan ditafsirkan dalam konteks kemanusiaan, edukatif, dan akhlakul
karimah. Bukan yang sebaliknya. Karena itu, dalam memahami nash-nash haruslah
sebagaimana (mestinya) “pesan-pesan” dan “nilai-nilai” yang diinginkan oleh
yang menurunkan wahyu tersebut. Bisakah?
Harus dipahami dalam penafsiran nash-nash
agama banyak tafsir yang lahir dan beragam. Tidak tunggal. Bahkan, dari tafsir
itu sendiri kadang melahirkan penafsiran-penafsiran yang beraneka ragam.
Sebagaimana diungkapkan Abi Ja`far, ayah Imam Ja`far Ash-Shadiq, bahwa dalam
satu ayat Al-Quran memiliki tujuh tafsir dan dalam setiap tafsirnya mengandung
beberapa penafsiran lagi.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Tafsir Sufi Al
Fatihah menulis, “bahwa Al-Quran mengandung makna lahiriah dan batiniah
disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh semua mazhab dalam Islam.
Jabir bin Yazid al-Ja'fi berkunjung pada gurunya, Imam Muhammad al-Baqir as. Ia
berkata, ‘Aku bertanya kepada Abi Ja'far a.s sesuatu yang yang berkenaan dengan
tafsir. Ia menjawab pertanyaanku. Kemudian, untuk kedua kalinya aku bertanya
hal yang sama, dan ia memberikan jawaban yang lain. Aku berkata, ‘Semoga aku
menjadi tebusanmu, engkau menjawabku untuk masalah ini dengan jawaban yang
berbeda dengan jawaban sebelum ini’. Imam berkata, ‘Hai Jabir, sesungguhnya
Al-Quran ini ada batinnya. Setiap batin ada batinnya lagi. Al-Quran juga ada
lahirnya. Setiap lahir ada lahirnya lagi’.”
Menurut Kang Jalal, yang dikatakan Imam Baqir
itu merujuk kepada hadis Nabi Muhammad saw yang terkenal, ‘Ina lil qur-aani
dhohron wa bathnan wa libathnihi bathnan ilaa sab’ati abtunin (sesungguhnya
Al-Quran itu ada lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya lagi,
sampai tujuh batin). Hadis ini terdapat dalam kitab Kanz al-`Ummal (jilid I,
hal: 550), Al-Itqan (jilid 2, hal: 486), Furu` al-Kafi (jilid 4, hal: 459),
`Ilal al-Syara`i (hal: 606), Ushul al-Kafi
(jilid I, hal: 374), Tafsir al-`Iyyasyi (jilid I, hal: 2,11,12), al-Khishal (jilid 2, hal: 358), al-Mahasin
(hal: 300), Bashaa-ir al-Darajat (hal: 196),
Shahih Bukhari (jilid 4, hal: 227), Shahih Muslim (jilid I, hal: 561)
dan lainya.
Persoalan tafsir memang tidak pernah selesai
hingga muncul Hari Akhir kehidupan dunia. Selama manusia membaca, menelaah, dan
memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan agama (Islam), akan banyak melahirkan berbagai macam tafsir
atau pemahaman agama yang beraneka ragam. Dari perbadaan itu melahirkan
kelompok atau mazhab; dan dari mazhab itu akan muncul pecahannya dalam bentuk
sekte-sekte kecil yang berpisah karena berbeda dalam memahami pemahaman dari
sebuah tafsir atas nash-nash agama—yang dipahami pemuka agama (ulama)
sebelumnya. Wajar jika Abdul Karim Soroush mengatakan, pemahaman agama dan
ilmu-ilmu agama bersifat tidak sakral dan dapat dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan zamannya.
Agama memang tidak pernah usang
diperbincangkan manusia. Mengapa? Karena setiap orang memiliki pendapatnya
tersendiri. Hadirnya Islam di dunia semakin membuktikan dinamika sejarah dan
terlihat ikhtiar manusia untuk selalu menyempurnakan kehidupannya. *** [Ahmad
Sahidin, alumni UIN SGD Bandung]