Minggu, 02 April 2017

Tafsir Masih Sekterian

ENTAH mengapa saya tertarik dengan wacana seputar Al-Quran. Meski para oreintalis Barat mencoba mengAbirkan khazanah dan makna yang terkandung dalam Al-Quran, tapi orang-orang (khususnya sarjana bidang agama) tidak pernah lelah mempersoalkannya.

Saya tidak mempersoalkan tentang kemukjizatan atau keagungan Al-Quran. Akan tetapi, jika seorang Muslim atau para pengkaji Islam masih meragukan Al-Quran, otak dan pikirannya bisa dikatakan tidak sehat. Namun, apabila ada seorang Muslim “awam” yang belum paham maka perlu dicerahkan dengan kajian-kajian dan pemahaman yang mudah. Jika dipaksakan dengan menggunakan pemahaman sarjana dan ulama, bisa pusing tujuh keliling. Setiap orang punya tingkat dan derajat pemahaman yang berbeda. Tapi tiap orang (Muslim) sedikitnya sudakh kenal dengan kitab yang dibawa Nabi akhir zaman tersebut.

Persoalan yang mengganggu adalah pemahamam atas nash dan konflik politik mengakibatkan lahirnya beberapa firqah Islam sekte seperti Khawarij, Sunni, Syi`ah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, Asyariyah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Murabithun, Muwahidun; Pan-Islamisme, Wahabiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Muhammadiyah, Jamiatul Khair, Syarekat Islam, Nahdhatul Ulama (NU), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Hizbut Tahrir, Forum Ulama Umat Islam (FUUI), Jaringan Islam Liberal (JIL), Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), dan lainnya.

Sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari perdebatan itu telah menelan korban yang berakhir dengan darah dan caci-maki yang mencerminkan hilangnya nilai-nilai Islam. Inilah budaya solipsis-apostasisme yang masih melekat. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya pemegang “otoritas-agama” yang  sah dan diakui secara menyeluruh oleh Ummat Islam sejak wafatnya Rasulullah Saw  (tahun 632 Masehi) hingga sekarang. Juga berkaitan dengan tidak komprehensif dan holistiknya mereka dalam mengkaji dan memahami kalamullah wa sunnaturrasulillah. Terutama pada aspek sejarah, asbabul nuzul, konteks zaman, faktor dan kondisi yang dihadapi saat turunnya al-Qur`an dan keluarnya hadits maupun sunnah dari Nabi Muhammad Saw.

Bukankah al-Qur`an turun secara berangsur-angsur? Artinya, ayat-ayat yang diturunkan dari Allah berkaitan dengan konteks sejarah dan sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi saat itu. Bahkan, kodifikasi al-Quran yang seharusnya sesuai kronologis turunnya al-Quran adalah salah satu dari sekian hal yang menimbulkan pertentangan, paradoks dan konflik-konflik teologis. Sejarah mencatat bahwa mushaf al-Quran yang beredar di umat Islam  (yang diawali surat al-fatihah dan diakhiri surat al-anas) adalah disusun atas dasar pengetahuan dan ijtihad (politis) Utsman bin Affan yang saat menjadi khalifah banyak yang menentangnya.

Tidak dipungkiri ketika merujuk pada ayat-ayat Allah tampak paradoks satu sama lain (seperti kutipan ayat yang diambil sekte Qadariyah dan Jabariyah). Andaikata mushaf disusun secara kronologis sesuai dengan asbabul nuzul dan konteks zamannya maka akan terhindar dari perdebatan kontroversial yang tragis dan tak berujung.

Akan tetapi, persoalannya tidak selesai begitu saja. Yang menjadi persoalan kemudian adalah tafsir. Persoalan tafsir harus diakui sangat penting dan tidak selesai seperti membalik telapak tangan. Terbukti sejak pasca wafat Rasulullah hingga sekarang masih tetap kontroversial. Pada konteks ini seorang intelektual muslim asal Pakistan, yaitu almarhum Fazlur Rahman, telah menganjurkan dalam proses penafsiran harus dipahami melalui konteks zaman dan historisitas hadirnya wahyu. Tentu kita harus merujuk pada nash-nash otentik dan kemudian ditafsirkan sesuai konteks sekarang. Jika ini tidak dilakukan maka cerita-cerita penindasan TKW/TKI di Arab Saudi, ketidakberdayaan karena tidak bisa beraktivitas melakukan pekerjaannya dan kemiskinan di Afghanistan dan Pakistan yang disebabkan tidak berfungsinya beberapa anggota tubuh akan kian bertambah di dunia Islam.

Meskipun itu akibat perbuatannya, tetapi bukankah hukuman diberlakukan bertujuan untuk membuat “jera” para pelaku dan yang hendak mengikutinya, tanpa “mematikan” hidup dan kehidupan di pasca hukumannya itu. Karena itu  nash-nash perlu dibaca dan ditafsirkan dalam konteks kemanusiaan, edukatif, dan akhlakul karimah. Bukan yang sebaliknya. Karena itu, dalam memahami nash-nash haruslah sebagaimana (mestinya) “pesan-pesan” dan “nilai-nilai” yang diinginkan oleh yang menurunkan wahyu tersebut. Bisakah?

Harus dipahami dalam penafsiran nash-nash agama banyak tafsir yang lahir dan beragam. Tidak tunggal. Bahkan, dari tafsir itu sendiri kadang melahirkan penafsiran-penafsiran yang beraneka ragam. Sebagaimana diungkapkan Abi Ja`far, ayah Imam Ja`far Ash-Shadiq, bahwa dalam satu ayat Al-Quran memiliki tujuh tafsir dan dalam setiap tafsirnya mengandung beberapa penafsiran lagi.

Jalaluddin Rakhmat dalam buku Tafsir Sufi Al Fatihah menulis, “bahwa Al-Quran mengandung makna lahiriah dan batiniah disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh semua mazhab dalam Islam. Jabir bin Yazid al-Ja'fi berkunjung pada gurunya, Imam Muhammad al-Baqir as. Ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Abi Ja'far a.s sesuatu yang yang berkenaan dengan tafsir. Ia menjawab pertanyaanku. Kemudian, untuk kedua kalinya aku bertanya hal yang sama, dan ia memberikan jawaban yang lain. Aku berkata, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, engkau menjawabku untuk masalah ini dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban sebelum ini’. Imam berkata, ‘Hai Jabir, sesungguhnya Al-Quran ini ada batinnya. Setiap batin ada batinnya lagi. Al-Quran juga ada lahirnya. Setiap lahir ada lahirnya lagi’.” 

Menurut Kang Jalal, yang dikatakan Imam Baqir itu merujuk kepada hadis Nabi Muhammad saw yang terkenal, ‘Ina lil qur-aani dhohron wa bathnan wa libathnihi bathnan ilaa sab’ati abtunin (sesungguhnya Al-Quran itu ada lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya lagi, sampai tujuh batin). Hadis ini terdapat dalam kitab Kanz al-`Ummal (jilid I, hal: 550), Al-Itqan (jilid 2, hal: 486), Furu` al-Kafi (jilid 4, hal: 459), `Ilal al-Syara`i (hal: 606), Ushul al-Kafi  (jilid I, hal: 374), Tafsir al-`Iyyasyi (jilid I, hal: 2,11,12),  al-Khishal (jilid 2, hal: 358), al-Mahasin (hal: 300), Bashaa-ir al-Darajat (hal: 196),  Shahih Bukhari (jilid 4, hal: 227), Shahih Muslim (jilid I, hal: 561) dan lainya.

Persoalan tafsir memang tidak pernah selesai hingga muncul Hari Akhir kehidupan dunia. Selama manusia membaca, menelaah, dan memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama (Islam), akan banyak melahirkan berbagai macam tafsir atau pemahaman agama yang beraneka ragam. Dari perbadaan itu melahirkan kelompok atau mazhab; dan dari mazhab itu akan muncul pecahannya dalam bentuk sekte-sekte kecil yang berpisah karena berbeda dalam memahami pemahaman dari sebuah tafsir atas nash-nash agama—yang dipahami pemuka agama (ulama) sebelumnya. Wajar jika Abdul Karim Soroush mengatakan, pemahaman agama dan ilmu-ilmu agama bersifat tidak sakral dan dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zamannya.

Agama memang tidak pernah usang diperbincangkan manusia. Mengapa? Karena setiap orang memiliki pendapatnya tersendiri. Hadirnya Islam di dunia semakin membuktikan dinamika sejarah dan terlihat ikhtiar manusia untuk selalu menyempurnakan kehidupannya. *** [Ahmad Sahidin, alumni UIN SGD Bandung]