Senin, 24 April 2017

Isra Mikraj dan Mundinglaya Dikusumah

Saat kuliah di jurusan sejarah dan peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya pernah punya minat untuk mengkaji khazanah sastra dan budaya Sunda. Dikarenakan faktor biaya dan sumber yang sulit diakses karena harus cari naskah sampai ke Belanda, akhirnya saya tidak menggelutinya.

Ketika membaca dongeng-dongeng Sunda, saya menemukan cerita yang hampir sama dengan riwayat Isra Mikraj dalam dongeng yang berkembang di Tatar Sunda: Mundinglaya Dikusumah.

Ceritanya bermula dari keinginan Mundinglaya di Kusumah untuk memberikan pengabdian pada ibunya, Padmawati, yang sekaligus memberikan pencerahan pada masyarakat yang mengalami dis-loyalitas pada kerajaan. Karena itulah Mundinglaya melakukan tapa hingga sampai pada titik wujud sejati, yaitu Sang Hyang Tunggal.

Sebelum sampai kepadanya, ia harus melewati, berdialog, berkelahi dan bahkan mengalahkan para penjaga tiap-tiap mandala hingga sampai ke mandala agung. Adapun mandala yang dilewatinya yaitu: mandala awak (alam dunia); mandala kasungka (alam tempat menimbang amal baik dan jahat); mandala karma (alam tempat tinggalnya orang-orang jahat); mandala rasa (alam tempat tinggalnya orang–orang baik); mandala seba (alam tempat tinggalnya orang-orang suci); mandala suda (tempat berdiamnya jiwa-jiwa yang patuh); mandala jati (tempat tinggalnya jiwa-jiwa yang penuh kasih-sayang/kedamaian); mandala samar (tempat bernaungnya segala keabadian); dan yang terakhir mandala agung, yaitu tempat segala petunjuk dan asal-muasal dari semua ciptaan di alam semesta dan tempat bernaungnya Sang Hyang Tunggal. Di mandala inilah Mundinglaya mendapat lalayang sasaka domas, atau semacam piagam yang dibawanya kembali turun ke mandala awak (dunia).

Menurut Jakob Sumardjo dalam tulisannya berjudul ‘Perjalanan Mundinglaya’ yang dimuat HU Pikiran Rakyat, Bandung, 13 Januari 2001, bahwa cerita Mundinglaya yang naik ke langit ini jika dikaji dalam sastra: mungkin bisa dikatakan metafora untuk perjanjian yang dilakukan antara Kerajaan Sunda Pajajaran yang diwakili para mantriraja Guru Gantangan (Surawisesa) dengan pihak Portugis ketika berada di Malaka yang saat itu gubernurnya bernama Jenderal Alfonso yang diwakilkan oleh Hendrick de Lamo bertemu di Sunda Kelapa.

Mereka membuat perjanjian persahabatan pada 21 Agustus 1522, yang ditulis rangkap dan dipegang masing-masing. Dalam perjanjiannya itu berisi: kedua belah pihak akan sama-sama menghadang kekuatan Islam (Pasai, Demak, Mataram) yang waktu itu sedang gencar melakukan ekspansi; Pajajaran memperbolehkan Portugis mendirikan benteng di Sunda Kelapa; setiap tahun Pajajaran akan menyerahkan rempah-rempah yang diperlukan yang ditukarkan dengan senjata dan barang-barang yang dibutuhkan dari Portugis. Surat perjanjian inilah yang disebut Lalayang Sasaka Domas [baca buku Prof Soekanto, dalam buku Djakarta 420 Tahun, dan Dr. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia bagian 3 (Jogyakarta : Kanisius, cetakan 2003) hal. 54].

Bagi saya, dongeng Mundinglaya merupakan kreativitas manusia Sunda (yang selalu dikonstruksi oleh struktur sadar dan struktur tidak sadar).

Untuk memahami dongeng tersebut, dalam cultural studies bahwa setiap budaya ada unsur-unsur elementer dalam setiap “teks” budaya yang disebutnya dengan mitem. Dalam setiap budaya mempunyai mitem tertentu yang keberadaannya berkaitan dengan relasi-relasi, oposisi-oposisi, dan unsur-unsur elementer lainnya.

Kita tahu bahwa kisah yang sama dengan Mundinglaya adalah kisah Isra Mikraj Nabi Muhammad saw yang sampai naik ke langit tujuh dan bertemu Allah. Dari pertemuan Nabi Muhammad saw dengan Allah itu membawa risalah agama berupa ibadah shalat.

Counter Culture
Meski ada kemiripan antara dongeng Mundinglaya dengan Isra Mikraj, tetapi berbeda secara lokalitas dan penggunaan istilah pun beda. Bahkan sebuah cerita dari dua agama yang beda: agama lokal dan agama non-lokal.

Saya mengira bahwa kehadiran dongeng Mundinglaya yang berkembang di Sunda dengan legitimasi mistis telah menunjukkan mimikri sekaligus counter culture atas hadirnya budaya baru yang mendominasi pada saat itu.

Bukankah penguasa di masa lalu adalah penentu identitas (agama) masyarakatnya? Jika ini benar-benar telah terjadi maka kehadiran mitos Mundinglaya adalah resistensi yang ingin mengembalikan loyalitas dan kekuatan identitas Sunda yang telah dipinggirkan.

Saya yakin bahwa dengan hadirnya teks-budaya tersebut telah menjadi tanda (sign) penegas tentang keberadaannya sebagai kreasi dari masyarakat Sunda (tertentu) yang merasa tertekan atas realitas yang tak diinginkannya. Jadi teks-budaya di atas adalah realitas yang disampaikan dengan “bahasa” dan mitem-Mundinglaya-nya adalah simpul hubungan mitis-teologisnya.

Inilah yang dikatakan bahwa teks-budaya adalah ujaran dan bahasa yang pemaknaannya diambil dari relasi-relasi sistem yang ada dibaliknya. Sehingga wajar bila kehadirannya sering dianggap mengacu pada teks-budaya yang lain hingga terbukalah sistem bahasa yang berada di belakangnya.

Dalam hal ini teks-budaya dapat dikatakan cerminan dari zaman yang di dalamnya berisi tentang budaya, agama dan juga totalitas pikiran dan perasaan yang tertuang dalam bentuk simbol (kata, idiom, bunyi, huruf) dan bahkan mengandung unsur-unsur politik identitas dan kekuasaan. Di sini kiranya patut ditanyakan: adakah sebuah penggiringan “sejarah/budaya” untuk kepentingan tertentu?

Pertanyaan inilah yang mendorong untuk mempertanyakan sekaligus melakukan pengkajian ulang terhadap semua idiom, istilah, huruf, kata dan lainnya. Kenapa? Bukankah politik sering diartikan sebagai hubungan yang menang dan yang kalah? Atau sebuah interaksi antara yang berkuasa dan yang dikuasai. 

Dibalik bahasa, politik senantiasa menyertai di dalamnya sehingga seseorang akan digiring pada “sesuatu” yang dipengaruhinya dan tidak aneh bila sekarang ada yang mengusung dan mengibar-ngibarkan “bendera-bendera” lokal agar dapat tampil di atas panggung sejarah; sebagai bentuk perwujudan dari “kesadaran identitas” yang telah hilang.

Mungkin Anda pernah mendengar kalahnya Kean Santang (simbol jago Sunda) ketika berhadapan dengan Sayidina Ali (simbol jago Islam). Kemudian Kean Santang tunduk, berguru, dan masuk agama Islam. 

Sejak itu kemudian Kean Santang menjadi “misionaris” yang mengejar-ngejar Prabu Siliwangi (ayahnya) agar masuk agama baru: Islam. Namun, sayang dalam dongeng turun temurun bahwa Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam malah memilih tilem (menghilang tanpa jejak). 

Secara historis yang punya peran dalam Islamisasi di Tatar Sunda, selain Kean Santang, adalah Rarasantang. Ia melalui putranya: Sunan Gunung Jati, kemudian menyebarkan Islam. Bahkan mengajak kakeknya, Prabu Siliwangi. Kabarnya, sang kakek yang sakti mandraguna tak bisa mengalahkan cucunya sehingga kabur tanpa jejak meninggalkan keraton. Termasuk jejak keraton pun dihilangkan olehnya. Benarkah? Entahlah, namanya juga dongeng.

Tentu ini kajian cultural studies, yang semestinya menjadi riset akademik yang profesional. Adakah yang berani melakukannya? *** (ahmad sahidin)