Minggu, 23 April 2017

(Mitos) Pertemuan Tokoh Sunda dengan Imam Ali ra

Ini hanya sedikit berbagi saja tentang Islam di Tatar Sunda. Sumbernya masih dari mulut ke mulut; tradisi lisan. Sengaja saya tulis karena ketika ngobrol Islam di Tatar Sunda dalam konteks historis selalu saja dihubungkan dengan informasi tentang pertemuan Imam Ali bin Abi Thalib ra dengan tokoh Sunda. 

Dalam tradisi lisan yang saya dengar ada tokoh Sunda yang disebut: Kean Santang, Boros Ngora, dan Rakyan Sancang. Dengan rangkaian "narasi" yang sama bahwa telah bertemu dan berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib ra. Selanjutnya tokoh Sunda ini menyebarkan agama Islam di masyarakat Tatar Sunda. 

Rakyan Sancang
Kabarnya Rakyan Sancang ini mencari sosok ayah dan menguji kesaktian yang dimilikinya. Ibunya mengatakan jika ingin bertemu ayah harus berangkat menuju Kulon dan ada seseorang yang sakti bernama Ali. Dari perjalanan itu tiba Rakyan tiba di suatu tempat yang sesuai dengan yang disebutkan ibunya. Bertemu seorang kakek renta yang memegang tongkat. Rakyan menanyakan sosok Ali. Kakek itu akan mengantarkannya. Keduanya berjalan. Tiba-tiba kakek teringat dengan tongkat yang tertinggal dan menancap di tempat pertemuan dengan Rakyan.

Sebagai orang sakti, Rakyan menyatakan sanggup mengambilnya. Tiba di tempat tongkat yang menancap, Rakyan berusaha mencabutnya. Namun tidak bisa. Segala kekuatan dikerahkan. Tetap saja tidak tercabut. Tibalah sang kakek datang. Kemudian mencabutnya sambil mengucap bismillahirrahmanirrahim. Tercabut tongkat tersebut. Rakyan kaget dan menanyakan nama sang kakek. Diberitahu bahwa kakek itu adalah Ali, orang yang dicarinya. Dari pertemuan ini Rakyan berguru dan belajar agama Islam.

Setelah cukup ilmu, Rakyan kembali ke Tatar Sunda. Bertemu dengan ayahnya, yang ternyata seorang raja. Selanjutnya meminta izin kepada ayahnya untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Ajaran Islam yang disebarkan Rakyan tidak seperti yang diamalkan di Timur Tengah. Rakyan menyesuaikannya dengan adat istiadat yang (kabarnya) menjadi ajaran Islam Wiwitan; yang memadukan Islam dengan budaya Sunda. Ajaran Wiwitan ini pernah berkembang di Garut bagian selatan.

Demikian kisahnya. Tidak berdasarkan data sejarah, tetapi dari tradisi lisan, yang bersambung turun temurun sehingga layak disebut mitos. Meski tidak ada data historis, tetapi tidak bisa disebut a-historis karena telah menjadi memori kolektif orang Sunda, yang bisa saja memang historis. 

Di kalangan orang-orang Garut, yang pernah saya ajak ngobrol, bahwa Rakyan Sancang disebut putra seorang Raja dari Kerajaan Tarumanagara yang berkuasa antara abad 6-7 Masehi, yang pusat kekuasaannya di daerah Bekasi. 

Jika benar bahwa sosok Rakyan ini nyata dalam sejarah (bukan fiktif) maka secara historis sezaman dengan Imam Ali ra dan besar kemungkinan terjadi pertemuan. Apalagi dalam sejarah, Nusantara sebagai wilayah perdagangan dan pertemuan antar pedagang. Bisa saja ada orang Sunda dari kaum bangsawan melancong ke Tanah Arab, tepatnya di Kufak (Irak) tempat menetap Imam Ali ra saat memegang jabatan khalifah. 

Sekali lagi ini tradisi lisan dan butuh data historis berupa informasi bandingan dari orang-orang Irak atau Arab tentang adanya (informasi) pertemuan orang Sunda dengan Imam Ali ra. Sayangnya, dalam kitab Nahjul Balaghah yang disandarkan kepada Imam Ali ra berupa ucapan, khotbah, dan surat-suratnya, tidak disebutkan tentang pertemuan Imam Ali ra dengan orang Sunda. Bahkan tidak menyebut daerah Nusantara atau Jawi sekali pun, yang pada abad 7 Masehi dikenal sebagai daerah perdagangan dan pusat rempah-rempah. Karena tidak ada data bandingan, maka masih berada dalam tradisi lisan yang bisa jadi memang faktual hanya butuh bukti historis yang melengkapinya.  

Kean Santang
Tentang pertemuan orang Sunda dengan Imam Ali, yang populer adalah Raden Kean Santang putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran abad 16 Masehi. Sedangkan Imam Ali ra hidup abad 7 Masehi. Di sini ada loncatan zaman. Dalam sejarah yang demikian disebut anakronisme. Sejarah bersifat rasional, faktual, sesuai dengan zamannya, dan terbukti dengan data (empiris). Sekali lagi sejarah adalah ranah nyata, bukan khayali. 

Meski secara historis tidak bisa dibuktikan, tetapi secara hermeneutika bisa ditafsirkan bahwa dengan pertemuan Kean Santang dan Imam Ali ra menjadi "tanda" di Tatar Sunda telah masuk agama Islam masa kehidupan Kean Santang. Ajaran agama Islam yang masuk masa itu di Tatar Sunda adalah  "pemahaman" Islam yang memiliki kesamaan dengan yang diamalkan oleh Imam Ali ra. Ini hanya sekadar interpretasi atas memori kolektif yang tersebar di Tatar Sunda. 

Jika saja dahulu orang-orang Sunda memiliki tradisi menulis maka akan sampai kepada kita informasi yang valid dan otentik tentang agama Islam di Tatar Sunda. Sayangnya, kaum Sunda tidak punya tradisi tulis menulis dan saat itu belum sadar pentingnya "mengikat" informasi dalam bentuk tulisan. Karena tidak ada tradisi menulis, sehingga informasi "historis" oleh orang Sunda terdahulu diwariskan dalam bentuk "lisan" yang turun temurun dan kadang antar satu daerah berbeda ceritanya. Meski penyebutan sosok atau tokoh sama, tetapi ada yang beda dari setiap narasi yang dituturkan orang-orang yang sampai kepada kita sekarang ini.  

Boros Ngora
Tentang Boros Ngora ini banyak beredar di Ciamis dan Situ Lengkong dianggap bagian dari "narasi" tradisi lisan tentang Boros Ngora dan masuknya agama Islam di Tatar Sunda. Sama seperti Kean Santang dan Rakyan Karang: bertemu dengan Imam Ali ra. Kemudian berguru dan menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Hanya saja, Boro Ngora ini diberi air zam-zam agar dibuang pada satu tempat dekat hutan; yang kemudian menjadi Situ Lengkong. Situ ini mengelilingi satu pemakaman keramat, yang kabarnya dari keturunan para raja di Tatar Sunda. Ini perlu dikaji secara historis.

Islam di Tatar Sunda
Ini perlu kajian khusus secara antropologi dan sosiologi: mengapa masyarakat Sunda yang memeluk agama Islam bercorak budaya dan tidak bercorak ideologis. Agama Islam yang berkembang di masyarakat Tatar Sunda memiliki corak yang khas budaya dan menjadi bagian dari tradisi setempat sehingga tidak sama dengan corak Islam di Tanah Arab. 

Di beberapa daerah Sunda hingga kini masih terdapat tradisi Rebo Kasan, Nisfu Syaban, asyuro, Rajaban, Maulid Nabi, dan alunan shalawat Ahlu al-Kisa yang memuliakan lima orang suci (dalam mazhab Syiah): Al-Musthafa, Murtadha, Fatimah, Hasan, dan Husein. Bahkan batu akik pun oleh urang Sunda dsebut batu Ali.

Di daerah-daerah pesantren dan kampun bahwa wudhu disebut abdas, yang merupakan bahasa Persia bermakna tangan dan air. Penyebutan harakat untuk syakal Al-Quran menggunakan jabar (fathah), jeer (kasrah), pees (dhamah); yang merupakan penyesuaian dari bahasa Persia: jar, jer, pes.

Dari istilah (harakat/syakal) tersebut sudah memiliki kedekatan dengan budaya Islam Syiah dari Persia. Saya mengira dahulu ada ulama dan penyebar Islam dari Sunda yang sempat belajar kepada ulama Syiah sehingga budaya Islam di Tatar Sunda khas mazhab Syiah. Hanya saja tentang ini belum banyak bisa ditemukan datanya. Mungkin dengan kajian mitologi bisa diungkap. Adakah yang minat?

Masih tentang Islam di Tatar Sunda. Orang-orang Sunda yang beragama Islam dan tinggal di daerah Garut dan Cianjur sudah biasa dalam bayar zakat langsung kepada ajengan atau ulama. Setiap Ramadhan menjelang Lebaran mereka menyerahkan zakat kepada ajengan/ulama di kampungnya. Mereka percaya begitu saja. Ajengan ini kemudian membagikannya untuk fakir miskin dan orang yang berhak dapat zakat.

Tradisi bayar zakat kepada ulama atau ajengan ini, saya temukan pula dalam mazhab Syiah Jafari (Syiah Imamiyah atau Ahlulbait). Setiap Muslim Syiah Jafari membayar khumus dan zakat melalui ulama yang disebut marja taqlid. Ulama marja taqlid ini yang membagikan khumus atau zakat kepada orang-orang yang membutuhkan seperti kaum dhuafa. Dari tradisi yang sama ini, saya kira Tatar Sunda dalam Islam bercorak Syiah. Ini hanya dugaan saja dan boleh digugat.

Riset Historis
Untuk menentukan benar tidaknya dugaan tersebut, tentu perlu riset historis berdasarkan metode penelitian sejarah. Problema dari riset sejarah Islam di Tatar Sunda, khususnya tentang pertemuan tokoh lokal Sunda (Rakyan Sancang, Boros Ngora, atau Kean Santang putra Prabu Siliwangi) dengan Imam Ali ra menjadi persoalan yang pelik jika dibuktikan secara historis.

Ada problem jarak tahun yang beda dan tidak ada manuskrip yang muncul dari zaman tokoh tersebut yang menyebutkan demikian. Karena itu, posisinya masih berada dalam mitos atau legenda. Sumber lisan banyak mengabarkan demikian dan tradisi lisan senantiasa mengalami perubahan meski ada yang utuh pada beberapa peristiwanya atau jalinan ceritanya. Hal ini wajar karena faktor sambung lisan dari generasi biasanya sampai tidak utuh. Inilah yang menjadi problem dalam sumber tradisi lisan: tidak konsisten dalam cerita dari setiap generasinya dan tidak mudah untuk uji validitas dari ceritanya. Tentu ini perlu penelusuran lagi karena bahas sejarah berarti emperis dan faktual.

Memang kini ada disipilin "sejarah lisan", tetapi efektif untuk kajian sejarah kontemporer. Di Afrika dan negara-negara bagian Amerika, "sejarah lisan" dijadikan cara menghimpun informasi masa silam untuk merekonstruksi bentuk-bentuk budaya dan pemikiran orang-orang terdahulu. Tentu ini masuk dalam ranah disiplin ilmu sastra dan cultural studies serta antropologi budaya.

Jika "tradisi lisan" dipaksakan masuk dalam ranah disiplin ilmu sejarah atau kesejarahan maka perlu rombak khazanah paradigma sejarah ilmiah yang sudah terbangun. Ini tentu tidak mudah. Perlu seminar nasional atau internasional di antara kaum sejarawan agar sampai pada kata sepakat bahwa legenda atau mitos masuk pada "subjec mutter" historis dan sejarah lisan bagian dari ilmu sejarah. 

[AHMAD SAHIDIN, alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung]