Judul : The Prophetic Wisdom:
Kisah-kisah Kearifan Para Nabi
Penulis : Miftah Fauzi Rakhmat
Penerbit : Mizania (Bandung)
Terbit : Juni 2011/Rajab 1432
Tebal : 211+xvi (halaman)
BUKANKAH ada hikmah di balik setiap kisah? Begitulah ujung kalimat
yang muncul setiap kali mengakhiri uraian panjang pada kisah-kisah Nabi
yang dikupas dalam buku The Prophetic Wisdom: Kisah-kisah Kearifan Para
Nabi.
Memang kalau dilihat dari judul buku ini bukan sesuatu yang baru.
Namun, kupasan dan sajian hikmah yang diungkap oleh Ustadz Miftah Fauzi
Rakhmat dalam buku ini terbilang baru dan menyegarkan. Ada hal-hal yang
tidak diperkirakan dalam mengambil hikmah dari setiap perjalanan hidup
para Nabi Allah.
Sejuk, mengalir, dan mendalam adalah kesan yang saya dapatkan
selama membacanya. Apalagi penulisnya mumpuni dalam tasawuf dan filsafat
Islam maka sajian buku ini menambah rasa renyah dan nikmat saat
menelusuri lembar demi lembar. Tidak terasa, buku yang saya dapatkan langsung dari
penulisnya ini, kurang dari sepekan tuntas dibaca. Biasanya saya tidak
secepat ini dalam membaca buku yang berkaitan dengan agama. Masalah diksi dan
istilah serta kejelimetan penulis dalam menggunakan bahasa yang kadang
membuat saya enggan untuk menyelesaikan baca hingga tuntas. Pada buku ini
kendala tersebut tidak saya dapatkan.
Memang, ada yang kurang—mungkin diabaikan karena mengejar
konten—yaitu sumber bacaan atau referensi yang hanya muncul pada footnote.
Meski buku ini sebuah refleksi, alangkah baiknya kalau buku-buku yang menjadi
sumber bacaan dimuat dalam daftar pustaka. Kemudian yang terasa
mengganggu berkaitan dengan tidak adanya subbab; padahal dalam satu babnya
pembahasan terbagi dalam beberapa kisah yang disertai hikmahnya.
Selintas kalau melihat fisiknya, buah pena Ustadz Miftah ini
terbilang langka. Kover bukunya sederhana, tapi mengandung filosofi yang
musti ditafsirkan. Lintasan putih mirip kumparan yang menyedot ke dalam
lingkaran merah. Lintasan putih bergelombang ini kalau boleh ditafsirkan—kemungkinan—adalah fragmen-fragmen kisah hidup umat
manusia sepanjang sejarah. Sedangkan bulatan merah adalah hikmah (wisdom)
atau
kearifan yang muncul dari fragmen-fragmen kehidupan umat manusia.
Jadi, kearifan dapat diketahui dari lintasan-lintasan berbagai peristiwa
yang pernah dijalani di dunia oleh para pendahulu. Umat manusia yang
hidup pada masa sekarang ini cukup merenungkan dan mengaitkannya dengan
kondisi yang sedang dialaminya.
Adakah kesamaannya dengan fragmen-fragmen hidup
yang dialami orang-orang terdahulu yang berhasil mengambil hikmah?
Pertanyaan inilah yang tampaknya dijawab oleh Ustadz Miftah dalam
fragmen-fragmen dari setiap kisah para Nabi Allah: Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh,
Ibrahim, Luth, Ismail, dan Ayub.
Sejarah manusia dari sejak Nabi Adam as hingga kini ini
bergerak menuju kesempurnaan. Perbaikan demi perbaikan, penyempurnaan dari yang
belum tuntas, dan daya cipta karya manusia semakin hari tumbuh
berkembang untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Setiap zaman pasti memiliki
kekhasan masing-masing, tetapi hikmah dan nilai-nilai yang menaunginya
terdapat kesamaan. Hikmah dari setiap zaman inilah yang kadang sulit untuk
direguk karena keterbatasan kemampuan kita dalam memahami teks dan konteks
atask kisahdemi kisah terdahulu. Akhirnya, kita berani mengabaikan
amanat Ilahi karena nurani dan kesadaran yang terdapat dalam diri (fitrah)
tidak muncul.
Banyak faktor yang membuat kesadaran dan nurani manusia tidak
tergugah, di antaranya kecenderungan pada materi, sombong, iri, dan rakus. Adam
dan Hawa jatuh karena rakus. Sudah diberi keleluasaan hidup di surga, tetap
tertarik untuk melanggar karena potensi rakusnya digoda Iblis sehingga
muncul dan diturunkan ke bumi. Iblis diusir Tuhan karena sombong; merasa
dirinya mulia daripada makhluk lainnya. Kabil membunuh Habil karena iri. Juga
orang-orang jahat yang dalam sejarah bernasib naas tidak jauh dari rakus, iri,
dan
sombong. Seruan dakwah para Nabi Allah dinilai tidak bermanfaat.
Seruan Nabi Allah dianggap sekadar igauan anak kemarin sore yang tidak
mengandung pelajaran dan petunjuk dalam menambah kekayaan dan keuntungan
materi.
Kebahagiaan diukur dengan materi, bukan pada nikmat dan anugerah
hidup yang sudah diberikan Tuhan dengan cuma-cuma. Ingkar atas nikmat Allah
yang kemudian membuat Tuhan menunjukkan kekuatan-Nya dengan berbagai
azab dan musibah yang mengakibatkan musnahnya sebuah kehidupan. Tengok
kisah Nabi Luth as yang berhadapan dengan kaum Sodom; atau umat Nabi Nuh as
yang ditenggelamkan dalam sebuah banjir besar.
Memang tidak semua Nabi Allah berhadapan dengan orang-orang zalim
atau musuh-musuh yang jahat. Nabi Ayub as, Nabi Ibrahim as, dan Nabi Nuh
as berhadapan dengan keluarganya. Dalam fragmen ini, Tuhan memberikan pelajaran bahwa yang menjadi halangan menuju Allah bukan
masyarakat dan penguasa, tetapi justru dari keluarganya. Manusia yang teguh
dengan keyakinan jelas akan memilih Tuhan ketimbang anak dan istrinya.
Banyak sisi lain dari fragmen-fragmen para Nabi Allah yang dikupas oleh Usmif
dengan bernas dan dihubungkan dengan kondisi kehidupan manusia modern.
Hampir
setiap bagian kehidupan yang kita jalani masuk dalam kupasannya.
Melalui kisah-kisah para Nabi Allah, Usmif menyindir dan menyadarkan
betapa berharganya hidup di bawah naungan Ilahi; betapa tersesatnya
manusia kalau tidak mengambil jalan agama dan mengarahkan hidupnya bukan kepada
Allah.
Agar tidak tersesat dan tidak salah memilih jalan hidup atau
terulangnya peristiwa kelam masyarakat terdahulu, Usmif dalam buku ini dengan
bahasa yang halus menyeru—pembaca—untuk berpegang teguh pada tauhid,
nubuwwah, dan ‘amalusshaleh. Seorang manusia yang meyakini Tuhan sebagai Yang
Maha Esa pasti beriman dan menerima sepenuh hati kehadiran Sang Nabi
beserta risalahnya. Orang yang menerima Sang Nabi pasti dalam melaksanakan aktivitasnya tidak keluar dari tuntunan dan risalah yang berasal
dari Sanga Nabi yang juga dari Tuhan. Merekalah yang pantas berada dalam
bahtera keselamatan (safinatun najah) bersama nakoda Ilahi hingga tiba di
sebuah pelabuhan akhir (akhirat) dengan selamat.
Adakah bahtera tersebut? Siapakah nakoda yang dimaksud? Telusuri
lembar demi lembar dalam The Prophetic Wisdom. Insya Allah, dengan
membacanya akan membuat pikiran Anda semakin terbuka dan menambah kesadaran dalam beragama. *** (Ahmad Sahidin)