Guru saya, Miftah F.Rakhmat,
memberi buku yang ditulisnya, yang berjudul Kidung Angklung. Saya dapatkan buku ini masih berupa dami (naskah para cetak) dan
sekira dua bab belum lengkap.
Buku yang belum dicetak
itu pernah dibahas bersama di Aula Muthahhari Bandung, dengan narasumber dari
Iran dan Kang Jalal (Dr.KH.Jalaluddin Rakhmat).
Alhamdulillah, saya
sudah membacanya. Dari sisi bahasa, kalimat yang digunakan dalam buku tersebut
mengalir dan renyah ketika dibaca. Maklum buku ini merupakan laporan perjalanan
kurang lebih dua pekan di Tanah Persia. Saat itu ada undangan festival budaya
Indonesia-Iran yang di antaranya diwakili oleh tim seni dari Muthahhari
Bandung.
Tentu saja ada beberapa tim seni yang mewakili daerah, yang dibawa oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia. Misinya jelas budaya dan mengenalkan khazanah budaya Indonesia. Kebetulan dari Muthahhari, Jawa Barat, yang coba dikenalkan adalah angklung.
Tentu saja ada beberapa tim seni yang mewakili daerah, yang dibawa oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia. Misinya jelas budaya dan mengenalkan khazanah budaya Indonesia. Kebetulan dari Muthahhari, Jawa Barat, yang coba dikenalkan adalah angklung.
Karena merupakan buku
perjalanan, pastinya berisi tentang perjalanan dan kisah menjalani kegiatan di
sana. Meski dari segi perambahan kawasan Iran atau Tanah Persia sudah pernah
ditulis oleh Dina Y.Sulaeman dalam buku berjudul, Pelangi di Persia: Menyusuri
Eksostisme Iran, tetapi ada yang menarik.
Di antara yang menarik
dari buku yang ditulis guru saya itu adalah unsur emosi yang masuk dalam
catatannya. Silakan baca (kalau sudah terbit). Hampir di setiap bab ada
sentuhan emosi dalam menuangkan kata-katanya seakan-akan kita sendiri ada dalam
peristiwa yang dituliskan.
Saya kira ini bentuk keandalan memindahkan kejadian nyata dalam bentuk kalimat dan kata. Saya sendiri kagum dengan kemampuan guru saya dalam menuliskannya. Bisa detail dan runtut serta enak dibaca. Setiap bab terdapat pencerahan berkaitan dengan tempat dan suasana yang dihadapi. Bahkan, hikmah dan pelajaran-pelajaran agama pun masuk dalam kalimat dan menjadi satu bagian dari cerita perjalanan di Tanah Persia.
Saya kira ini bentuk keandalan memindahkan kejadian nyata dalam bentuk kalimat dan kata. Saya sendiri kagum dengan kemampuan guru saya dalam menuliskannya. Bisa detail dan runtut serta enak dibaca. Setiap bab terdapat pencerahan berkaitan dengan tempat dan suasana yang dihadapi. Bahkan, hikmah dan pelajaran-pelajaran agama pun masuk dalam kalimat dan menjadi satu bagian dari cerita perjalanan di Tanah Persia.
Hal lainnya, yang
menarik di dalamnya ada informasi masa muda guru saya yang saat itu nyantri di
Suriah dan Iran. Sungguh menambah informasi karena guru saya memasukan
aktivitas selama di pesantren, kontrakan, dan kunjungan pada makam-makam ulama, serta interaksi dengan pengikut Muslim Syiah pun diuraikannya dengan baik.
Masalah tudingan terhadap Mazhab Syiah, khususnya al-Quran yang dianggap
memiliki Kitab Suci sendiri oleh orang-orang yang tidak mengetahui, dikisahkan
dengan santai dalam bukunya. Ketika seorang pegawai Indonesia
yang sehari-hari tinggal di Iran di KBRI, ternyata masih punya kecurigaan bahwa Syiah
punya Quran yang berbeda dengan Sunni. Guru saya menjelaskan kepadanya.
Sekali lagi, buku Kidung Angklung ini menambah
khazanah kebudayaan Islam. Orang Indonesia yang ingin mengetahui Iran dari orang
Indonesia yang lama hidup di Iran, bisa membaca buku ini. [ahmad sahidin]