Senin, 22 Juni 2015

Resensi Buku: Kidung Angklung di Tanah Persia

Guru saya, Miftah F.Rakhmat, memberi buku yang ditulisnya, yang berjudul Kidung Angklung. Saya dapatkan buku ini masih berupa dami (naskah para cetak) dan sekira dua bab belum lengkap.

Buku yang belum dicetak itu pernah dibahas bersama di Aula Muthahhari Bandung, dengan narasumber dari Iran dan Kang Jalal (Dr.KH.Jalaluddin Rakhmat).

Alhamdulillah, saya sudah membacanya. Dari sisi bahasa, kalimat yang digunakan dalam buku tersebut mengalir dan renyah ketika dibaca. Maklum buku ini merupakan laporan perjalanan kurang lebih dua pekan di Tanah Persia. Saat itu ada undangan festival budaya Indonesia-Iran yang di antaranya diwakili oleh tim seni dari Muthahhari Bandung. 

Tentu saja ada beberapa tim seni yang mewakili daerah, yang dibawa oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia. Misinya jelas budaya dan mengenalkan khazanah budaya Indonesia. Kebetulan dari Muthahhari, Jawa Barat, yang coba dikenalkan adalah angklung.

Karena merupakan buku perjalanan, pastinya berisi tentang perjalanan dan kisah menjalani kegiatan di sana. Meski dari segi perambahan kawasan Iran atau Tanah Persia sudah pernah ditulis oleh Dina Y.Sulaeman dalam buku berjudul, Pelangi di Persia: Menyusuri Eksostisme Iran, tetapi ada yang menarik.

Di antara yang menarik dari buku yang ditulis guru saya itu adalah unsur emosi yang masuk dalam catatannya. Silakan baca (kalau sudah terbit). Hampir di setiap bab ada sentuhan emosi dalam menuangkan kata-katanya seakan-akan kita sendiri ada dalam peristiwa yang dituliskan. 

Saya kira ini bentuk keandalan memindahkan kejadian nyata dalam bentuk kalimat dan kata. Saya sendiri kagum dengan kemampuan guru saya dalam menuliskannya. Bisa detail dan runtut serta enak dibaca. Setiap bab terdapat pencerahan berkaitan dengan tempat dan suasana yang dihadapi. Bahkan, hikmah dan pelajaran-pelajaran agama pun masuk dalam kalimat dan menjadi satu bagian dari cerita perjalanan di Tanah Persia.

Hal lainnya, yang menarik di dalamnya ada informasi masa muda guru saya yang saat itu nyantri di Suriah dan Iran. Sungguh menambah informasi karena guru saya memasukan aktivitas selama di pesantren, kontrakan, dan kunjungan pada makam-makam ulama, serta interaksi dengan pengikut Muslim Syiah pun diuraikannya dengan baik. 

Masalah tudingan terhadap Mazhab Syiah, khususnya al-Quran yang dianggap memiliki Kitab Suci sendiri oleh orang-orang yang tidak mengetahui, dikisahkan dengan santai dalam bukunya. Ketika seorang pegawai  Indonesia yang sehari-hari tinggal di Iran di KBRI, ternyata masih punya kecurigaan bahwa Syiah punya Quran yang berbeda dengan Sunni. Guru saya menjelaskan kepadanya.

Sekali lagi, buku Kidung Angklung ini menambah khazanah kebudayaan Islam. Orang Indonesia yang ingin mengetahui Iran dari orang Indonesia yang lama hidup di Iran, bisa membaca buku ini. [ahmad sahidin]