Satu bulan kemarin saya membaca buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih. Buku karya Jalaluddin Rakhmat ini
tidak membosankan ketika dibaca. Meskipun membaca secara keseluruhan, buku
Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih ini tidak menjelimet. Mungkin karena
ditulis oleh ahli komunikasi. Juga karena penulisnya piawai menggunakan istilah
dan bahasa yang mudah dicerna oleh orang awam. Karena itu, saya selaku orang
awam dalam agama mnerasa mudah memahami isi gagasannya.
Melihat dari judulnya saja orang mungkin sudah bisa paham kalau
urusan akhlak merupakan hal utama dan tidak menimbulkan perselisihan. Perselisihan timbul ketika setiap orang mempertanyakan dan menguji
kembali dasar-dasar sumber yang digunakan dalam penulisan buku atau pemikiran
seseorang. Apalagi kalau dikaji berdasarkan filsafat dan metodologi ilmu-ilmu
modern maka akan ketahuan “bolong-bolong” atau kekurangannya.
Namun, kajian ini akan terasa berat bagi orang-orang awam seperti
saya sehingga kajian kritis khusus buat mereka sudah ahli. Wajar kalau ada
seorang ustdaz di Jakarta, pelajar Indonesia di Qom (Iran), dan dosen di UIN
Sunan Gunung Djati Bandung yang tidak sependapat dengan gagasan dahulukan
akhlak dari Ustadz Jalal.
Kepada para pengritik atau yang tidak sependapat dengan gagasan
dahulukan akhlak versi Jalaluddin Rakhmat, biasanya saya sarankan untuk membaca
langsung bukunya. Namun hingga kini saya belum menemukan catatan kritik mereka
yang tertuang dalam bentuk buku atau makalah ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Saya sangat berharap ada yang berani melakukan kritik
terhadap (pemikiran) dari buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih.
Menurut saya, pemikiran manusia tidak sakral. Meski pun mengambil
rujukan dari Quran dan Hadis, selama hasil rumusan pemikiran atau interpretasi
seorang manusia biasa tidak bebas dari kesalahan.
Saya membaca buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih tidak tuntas.
Hanya sekadar tamat, tidak mendalami atau menyelami isi pemikiran atau gagasan
Ustadz Jalal secara mendalam dan analitik. Maklum saya termasuk orang kurang
dari urusan analisis karena bukan seorang ahli dalam ilmu-ilmu Islam atau
filsafat. Biarlah itu menjadi orang-orang yang ahli atau ustadz yang mahir
dalam bidangnya.
Dari buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih, saya menduga bahwa pokok
gagasan dari Ustadz Jalal terdapat pada halaman 141-143 tentang dahulukan
akhlak dan halaman 57-91 tentang karakteristik paradigma akhlak.
Dalam buku ini, Ustadz Jalal merujuk pada Quran menyebutkan bahwa
keimanan ditunjukkan dengan akhlak yang baik dan kekafiran juga ditandai dengan
akhlak yang buruk seperti tidak setia, pengkhianat, pendusta, keras kepala, dan
maksiat.
Kang Jalal juga mengutip hadis dari Rasulullah saw bahwa ciri
orang yang tidak beriman adalah suka mengganggu tetangga, tidak memperhatikan
saudara dan membiarkan tetangganya kelaparan, dan tidak memegang amanah.
Menurut Kang Jalal, Rasulullah saw tidak menggunakan ukuran
fiqih untuk menakar keimanan seseorang. Tetapi keimanan diukur berdasarkan
akhlak yang baik dan kemuliaan seseorang didasarkan pada akhlak. Misalnya dalam hadis: barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir—disusul dengan ciri-ciri akhlak—hendaknya memuliakan tamu, menghormati
tetangga, berbicara yang benar atau diam, dan sebagainya. Jadi, akhlak itu ukuran seseorang dalam beragama.
[Ahmad Sahidin]