Kamis, 04 Juni 2015

Memahami Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih

Satu bulan kemarin saya membaca buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih. Buku karya Jalaluddin Rakhmat ini tidak membosankan ketika dibaca. Meskipun membaca secara keseluruhan, buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih ini tidak menjelimet. Mungkin karena ditulis oleh ahli komunikasi. Juga karena penulisnya piawai menggunakan istilah dan bahasa yang mudah dicerna oleh orang awam. Karena itu, saya selaku orang awam dalam agama mnerasa mudah memahami isi gagasannya.

Melihat dari judulnya saja orang mungkin sudah bisa paham kalau urusan akhlak merupakan hal utama dan tidak menimbulkan perselisihan. Perselisihan timbul ketika setiap orang mempertanyakan dan menguji kembali dasar-dasar sumber yang digunakan dalam penulisan buku atau pemikiran seseorang. Apalagi kalau dikaji berdasarkan filsafat dan metodologi ilmu-ilmu modern maka akan ketahuan “bolong-bolong” atau kekurangannya.

Namun, kajian ini akan terasa berat bagi orang-orang awam seperti saya sehingga kajian kritis khusus buat mereka sudah ahli. Wajar kalau ada seorang ustdaz di Jakarta, pelajar Indonesia di Qom (Iran), dan dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang tidak sependapat dengan gagasan dahulukan akhlak dari Ustadz Jalal.

Kepada para pengritik atau yang tidak sependapat dengan gagasan dahulukan akhlak versi Jalaluddin Rakhmat, biasanya saya sarankan untuk membaca langsung bukunya. Namun hingga kini saya belum menemukan catatan kritik mereka yang tertuang dalam bentuk buku atau makalah ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Saya sangat berharap ada yang berani melakukan kritik terhadap (pemikiran) dari buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih.

Menurut saya, pemikiran manusia tidak sakral. Meski pun mengambil rujukan dari Quran dan Hadis, selama hasil rumusan pemikiran atau interpretasi seorang manusia biasa tidak bebas dari kesalahan.

Saya membaca buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih tidak tuntas. Hanya sekadar tamat, tidak mendalami atau menyelami isi pemikiran atau gagasan Ustadz Jalal secara mendalam dan analitik. Maklum saya termasuk orang kurang dari urusan analisis karena bukan seorang ahli dalam ilmu-ilmu Islam atau filsafat. Biarlah itu menjadi orang-orang yang ahli atau ustadz yang mahir dalam bidangnya.

Dari buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih, saya menduga bahwa pokok gagasan dari Ustadz Jalal terdapat pada halaman 141-143 tentang dahulukan akhlak dan halaman 57-91 tentang karakteristik paradigma akhlak.

Dalam buku ini, Ustadz Jalal merujuk pada Quran menyebutkan bahwa keimanan ditunjukkan dengan akhlak yang baik dan kekafiran juga ditandai dengan akhlak yang buruk seperti tidak setia, pengkhianat, pendusta, keras kepala, dan maksiat.

Kang Jalal juga mengutip hadis dari Rasulullah saw bahwa ciri orang yang tidak beriman adalah suka mengganggu tetangga, tidak memperhatikan saudara dan membiarkan tetangganya kelaparan, dan tidak memegang amanah.

Menurut Kang Jalal, Rasulullah saw tidak  menggunakan ukuran fiqih untuk menakar keimanan seseorang. Tetapi keimanan diukur berdasarkan akhlak yang baik dan kemuliaan seseorang didasarkan pada akhlak. Misalnya dalam hadis: barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir—disusul dengan ciri-ciri akhlak—hendaknya memuliakan tamu, menghormati tetangga, berbicara yang benar atau diam, dan sebagainya. Jadi, akhlak itu ukuran seseorang dalam beragama.

[Ahmad Sahidin]