Dalam studi ilmu-ilmu Islam (Dirasah Islamiyyah) bahwa ilmu kalam (teologi) kemudian filsafat dan tasawuf (irfan), sering disebut sebagai khazanah pemikiran Islam. Harus diakui bahwa khazanah ilmu-ilmu Islam tidak sepenuhnya murni produk nalar Islam (wahyu), tetapi ada sentuhan budaya lokal sehingga sangat beragam coraknya. Entah itu berasal dari pengamatan langsung dari fakta, telaah teks, atau yang hadir langsung saat melakukan riyadhah spiritual. Jika hal itu dilakukan seorang Muslim maka hasilnya bisa disebut khazanah pemikiran Islam. Dalam setiap zamannya produk tersebut senantiasa beda dan beragam. Dalam sejarah Islam banyak bentuk pemikiran yang lahir, bahkan menjadi institusi agama atau sekte tersendiri, seperti firqah teologi, tarekat sufi, dan organisasi keagamaan.
Ragam Pemikiran
Secara general bentuk pemikiran Islam
bisa dibagi dalam tiga: tradisional, modern, dan kontemporer. Pemikiran
tradisional Islam yang lahir dari rahim sejarah, yang pertama adalah corak
nalar-dialektik (jadali) yang diwakili teologi Syiah, Khawarij, Murjiah,
Jabariyah, Qadariyah, Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah, dan lainnya.
Kalangan ini mempersoalkan tentang ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir,
kufur, imamah, khalifah, makhluk tidaknya Al-Quran, eksistensi Tuhan, dan
perbuatan-perbuatan manusia.
Kedua adalah yang bercorak
nalar-demonstratif (burhani) yang diwakili para filsuf seperti Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan lainnya. Tema
yang dibahasnya adalah Tuhan, alam, manusia, nubuwwah, peranan akal dan hati,
politik, ekonomi, estetika, etika, dan lainya.
Ketiga adalah yang bercorak
nalar-intuitif (irfani) yang diwakili oleh para sufi seperti Ibnu Arabi,
Suhrawardi Al-Maqtul, Abdul Karim Al-Jilli, Abu Yazid Al-Busthami, Abu Mansur
Al-Hallaj, Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Yusuf
Al-Maqasari, Hasan Mustapa, dan lainnya. Tema yang dibahas tentang jalan atau
cara menuju Tuhan, kesatuan eksistensi antara manusia dan Tuhan, mengungkap
kebenaran (mukasyafah), tujuan hidup, sikap dan perilaku ibadah yang hakiki,
masalah kebangkitan di akhirat, dan lainnya.
Keempat adalah bentuk pemikiran
teosofi (hikmah) yang menggabungkan sumber dan metode (nalar intelektual)
sebelumnya, yang biasanya disebut hikmah muta`aliyah. Pemikiran ini dicetuskan
oleh Mulla Shadra dan dikembangkan oleh Mulla Muhsin Faidh Al-Kasyani, Syaikh
Abdurrazak Lahiji, Mulla Sabziwari, Allamah Muhammad Husein Thabathabai`,
Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini, Ayatullah Murtadha Muthahhari, Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi, dan Mehdi Haeri Yazdi. Selain mengkritik
pemikiran-pemikiran Islam sebelumnya, mereka juga membahas persoalan baru dari
filsafat dan realitas sosial, seperti eksistensialisme, integrasi (ilmu),
ekologi, politik, wacana universalitas, dialog antaragama, masa depan manusia,
dan lainnya.
Untuk pemikiran Islam modern dapat
dilacak dari awal abad modern yang ditandai dengan munculnya gerakan pembaruan
Islam (tajdiyah). Pemikiran Islam modern ini dibagi dalam dua model: ekstrem
dan progres. Untuk gerakan tajdiyah ekstrem dapat dilihat dari gerakan kaum
revivalis Islam pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh
gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika
Barat, dan lainnya. Melalui pemikiran-pemikirannya, mereka yang termasuk kaum
Muslim revivalis ini berupaya memurnikan ajaran Islam dari tradisi-tradisi dan
ajaran yang bukan berasal dari Islam, khususnya tradisi keagamaan masyarakat
lokal dan praktik-praktik ibadah kaum sufi yang dinilainya sebagai bid`ah dan
menjerumuskan umat Islam dalam kemusyrikan.
Dengan semangat tauhid, mereka
berupaya mengembalikan pemahman Islam kepada sumbernya: Al-Quran dan Sunnah.
Dalam gerakannya mereka sampai melakukan tindakan yang keras, radikal, dengan
menghancurkan pusara dan makam para wali, bahkan menganggap sesat pada yang
berbeda pemahaman agama. Sehingga kehadirannya mendapat perlawanan dari umat
Islam sendiri, bahkan tak jarang terjadi konflik fisik. Dengan slogan kembali
ke Al-Quran dan Sunnah, mereka menginginkan Islam kembali ke zaman Nabi
Muhammad saw yang dinilainya lebih otentik.
Untuk memuluskan gerakannya, Muhammad
bin Abdul Wahab beserta pengikutnya bergabung dengan Abdul Azis bin Sa’ud
mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1924, sehingga Wahabiyah menjadi mazhab
resmi Arab Saudi hingga sekarang. Gerakan tajdiyah ekstrem ini berpengaruh ke
Indonesia dalam melahirkan organisasi keagamaan Muhammadiyah dan Persatuan
Islam. Sedangkan pemikiran tajdiyah progres dapat dilihat dari muncul kaum
modernis Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad
Iqbal, Muhammad Abduh, Ali Syari`ati, Imam Khomeini, Muhammad Natsir, dan
lainnya. Kaum modernis ini masih juga berada dalam semangat pembaruan, tapi
lebih mengutamakan pada rasionalisasi agama, mengembangkan pendidikan modern,
merealisasikan nilai-nilai Islam yang humanis, dan berorientasi ke masa depan.
Sementara pemikiran Islam kontemporer, setidaknya diwakili para cendekiawan Muslim yang melakukan sintesis progresif dari pemikiran rasional-modern dengan tradisi khazanah pemikiran Islam tradisional. Contohnya adalah Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Farid Essack, Jalaluddin Rakhmat, dan Abdul Karim Souroush. Corak pemikiran Islam kontemporer ini lebih berupaya melakukan rekonstruksi wacana keislaman, mendamaikan konflik antar mazhab seperti Sunni dan Syiah dengan melakukan dialog antarmazhab, menafsirkan nash-nash Islam sesuai dengan konteks zaman dalam berbagai isu yang lebih relevan dengan persoalan umat Islam kontemporer, terutama kerukunan antar umat beragama dan wacana pluralisme.
Konteks Indonesia
Pemikiran Islam Indonesia kontemporer
setidaknya terbagi dalam tiga model: Islam Fundamental, Islam Liberal, dan
Islam Non-Sekterian. Model pertama diidentikan dengan kelompok Muslim yang
berorientasi ke masa lalu. Isu-isu yang dihembuskan adalah penerapan syariat Islam
dan menjadikan negara Islam atau pembebasan umat Islam dari tahayul, khurafat,
dan bid`ah. Gerakannya pun biasanya meresahkan masyarakat, bahkan tidak jarang
dianggap terlibat dalam jaringan teroris dunia. Biasanya mereka ini dikenal
saleh, rajin menjalankan ibadah mahdhah, dan ketat dalam aturan-aturan hidup
serta senantiasa merujuk pada sumber Islam (Al-Quran dan hadits). Model kedua
(Islam Liberal) dicirikan dengan cendekiawan Muslim yang berorientasi ke masa
depan dan berani melakukan penafsiran secara kontekstual dengan tetap mengacu
pada sumber-sumber Islam. Kelompok Muslim ini sudah tidak segan lagi mengutip
pendapat-pendapat dari para pemikir dan ilmuwan Barat dalam melakukan
penafsirannya. Mereka lebih banyak menggunakan daya nalar (rasional) dalam
berwacana, tidak menampakkan dalam ibadah, lebih dekat dan bahkan bekerjasama
dengan non-Islam ketimbang dengan umat Islam. Wacana dan pemikiran yang
diusungnya pun tidak jauh dari masalah perbedaan agama, hubungan lintas agama
dan budaya, dan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Quran yang berbeda dan
kontroversial.
Islam
Liberal dan Islam Fundamental seringkali terjadi konflik dalam wacana
politik-sosial dan pemikiran keagamaan hingga saling hujat dan masing-masing
mengaku yang paling benar. Meskipun secara umum Islam terbentuk dalam dua model
di atas, tapi bila kita jeli melihat perilaku keagamaan yang ada di masyarakat
Muslim Indonesia, terdapat gerakan Islam yang bersifat tersendiri. Mereka tidak
mempersoalkan tentang aliran maupun harakah (gerakan) Islam yang ada. Mereka
taat dalam ibadah mahdhah dan berorientasi ke akhirat, senang melakukan ritual
massal dan doa bersama, serta gemar menghadiri majelis-majelis ilmu yang
materinya tidak jauh dari motivasi ibadah dan peningkatan kualitas hidup.
Kalangan Muslim seperti ini dapat disebut sebagai model Islam Non-Sekterian.
Islam apakah ini? Aliran barukah? Bukan! Mereka bukan aliran baru Islam. Itu
hanya istilah untuk kaum Muslim yang tidak memiliki kecenderungan dan bukan
termasuk fundamental atau liberal.
Mereka adalah kaum “Islam massa” yang
tidak terorganisir dalam wadah yang resmi dan memiliki orientasi tersendiri
dalam menjalankan keislamannya. Mana yang benar dari tiga model Islam
kontemporer tersebut? Jawabannya: wallahu a`lam bi ash-shawab. Saya yakin di
antara ketiganya terdapat kebenaran dan tidak menutup kemungkinan banyak
salahnya. Ketiganya tidak bisa menghindar dari perdebatan (ikhtilaf), baik pada level intelektual maupun kaum awam yang kadang
merasa lebih cerdas daripada kaum intelektual Muslim.
Yang perlu disikapi terkait dengan ikhtilaf adalah gerakan dakwah dari kaum Syiah terhadap kaum Sunni; dan kaum Sunni terhadap kaum Syiah. Di antara keduanya terdapat kaum Wahabi yang memusuhi kedua mazhab Islam tersebut. Tidak dipungkiri ada yang moderat dan yang eskstrem. Ada yang hanya menjadikan mazhab sebagai urusan personal sehingga tidak perlu dideklarasikan depan publik. Namun, ada pula yang merasa penting untuk ditampilkan secara publik sehingga terjadi aksi hujat dengan gelaran dan sebutan-sebutan negatif yang berpotensi merubuhkan bangunan ukhuwah Islamiyah. Dalam setiap agama, kaum ekstrem senantiasa ada. Dalam agama Islam pun ada, bahkan pada setiap mazhab-mazhab Islam pun dipastikan ada yang esktrem. Ini yang perlu disikapi dan dipahami kemudian dicari penangkalnya supaya tidak menjadi besar dan menjadi virus di masyarakat.
Khulashah
Sejarah telah membuktikan bahwa
dampak dari adanya konflik antar (firqah) Islam sangat jauh dari nilai-nilai
Islam. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya pemegang ‘otoritas agama’ yang sah
dan diakui secara menyeluruh oleh umat Islam. Juga tidak menyeluruhnya mereka
dalam mengkaji dan memahami sumber Islam, terutama pada aspek sejarah, konteks
zaman, faktor dan kondisi sosial yang dihadapi saat turunnya risalah Ilahi.
Fenomena ini bisa dikurangi dengan senantiasa menggali khazanah Islam dan melakukan dialog antar firqah (mazhab). Tentu argumen yang digunakannya adalah dalil-dalil yang benar dan dialognya pun harus ilmiah serta berasal dari sumber asli dan tahan uji saat dikritik. Sehingga dari upaya itu akan tampak kebenaran dan kebatilan, sehingga umat Islam mendapat rujukan sementara, meskipun nantinya terus mengalami perubahan karena berhadapan dengan konteks ruang dan waktu serta yang zaman berbeda.
Sudah saatnya kaum Muslim belajar untuk memahami berbagai tradisi atau ajaran mazhab yang dianut Muslim lainya; dan begitu pun sebaliknya. Hanya dengan kegiatan saling mempelajari dan memahami perbedaan masing-masing, perpecahan (konflik) dalam Islam bisa reda dan umat Islam akan lebih siap menghadapi tantangan dan tuntutan dunia global yang lebih besar efeknya bagi kehidupan manusia. Umat Islam sebaiknya tidak hanya fokus dalam urusan internal Islam, tapi juga harus mencoba merajut ukhuwah insaniyah dengan masyarakat agama lainnya, salah satunya dengan melakukan dialog antaragama. *** (ahmad sahidin)