Ahmad Sahidin adalah nama yang diberikan orangtua. Saya warga Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saya menempuh pendidikan (formal) dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pernah belajar mengaji di masjid dekat rumah. Kedua orangtua saya dari Garut dan keduanya sudah wafat.
Sejak kecil berada dalam lingkungan Islam kultural dan tradisional dengan kebiasaan tahlilan, marhabaan, maulid, dan haul dari kematian seseorang. Saya hanya ikut-ikutan saja bersama teman di masiid. Mungkin Islam saya ini bisa dikatakan Nahdlatul Ulama (NU). Namun, saya tidak bergabung dalam ormasnya. Secara kultur saja saya dapat dikatakan NU. Ketika kuliah kebiasaan (tradisi) Islam di tempat saya, dinyatakan tidak berasal dari Rasulullah saw dan tidak terdapat dalilnya dalam Al-Quran. Begitu kata seorang teman dari Garut dan Cimahi, yang ketika dialog di kelas saat kuliah. Dari teman itu, saya menjadi tahu bahwa ada kelompok yang anti dengan budaya yang bercorak Islam. Anehnya, selama kuliah saya tidak terpengaruh dengan paham yang anti tersebut. Meski sehari-hari bergaul dengan mereka.
Di
kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung (dulu saat
saya kuliah bernama IAIN akronim dari Institut Agama Islam Negeri) saya masuk
kuliah tahun 1999. Saat semester pertama, saya baru mengetahui kalau kuliah
tidak ketat seperti sekolah; dari awal masuk sampai pulang berada dalam kelas
dan lingkungan sekolah dengan jadwal belajar yang cukup padat. Saat kuliah,
dalam sehari hanya tiga mata kuliah. Bahkan ada yang hanya satu mata kuliah.
Karena itu, lebih banyak waktu nganggur. Mulanya saya sering pulang setelah
beres kuliah. Besoknya kembali kuliah. Tanpa membaca buku atau mengerjakan
tugas harian. Dan memang tugas kuliah untuk setiap mata kuliah hanya dua dalam
satu semester, yaitu mandiri dan terstruktur. Dan setiap mata kuliah diakhiri
dengan ujian lisan dan tulisan. Itu juga tergantung dosen, bahkan ada yang
tanpa ujian dan diawal semester selanjutnya sudah tercantum nilai. Karena hanya datang dan pulang saja
ke ruang kuliah, saya diejek oleh seorang teman yang pintar. Dia bilang: “Mad, maneh mah ngan ukur minuhan kelas
hungkul. Diskusi atuh. Maca buku ngarah nambah elmu (Mad, kamu hanya memenuhi ruang kelas saja. Ayo
diskusi. Membaca buku supaya bertambah ilmu).”
Kalimat
dari teman itu terasa menyakitkan. Saya bingung harus apa dan bagaimana? Saya
menyadari bukan lulusan madrasah dan pesantren sehingga tidak mengetahui dalam
ilmu-ilmu agama Islam. Dan saat awal semester dan tahun pertama kuliah lebih
banyak terkait ilmu-ilmu agama Islam seperti ilmu kalam, fikih, ushul fikih,
hadis, ulumul hadis, ulum al-quran, tafsir al-quran, metodologi studi Islam,
akhlak tasawuf, filsafat umum, kewiraan, bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan
bahasa Inggris. Tahun kedua sampai keempat mulai masuk mata kuliah yang terkait
dengan jurusan seperti pengantar ilmu sejarah, antropologi, sosiologi,
sosiologi agama, ilmu politik, historiografi, metode penelitian sejarah,
filsafat ilmu, sejarah peradaban Islam, filsafat sejarah, sejarah kebudayaan
Sunda, dan lainnya.
Pada
tahun kedua kuliah, saya menemukan selebaran yang terpasang pada papan
pengumuman. Tercantum ajakan untuk bergabung dalam diskusi keislaman dan
belajar menulis dari Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) sebuah unit
kegiatan mahasiswa di bawah naungan kampus. Beberapa kawan saya, yang satu
jurusan, pernah mengajak untuk gabung pada organisasi seperti Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Himpunan Mahasiswa Persis (Hima Persis).
Pada HMI, PMII, dan IMM, saya hanya daftar saja. Mencantumkan nama pada form
pendaftaran yang dipajang dekat fakultas. Namun, tidak saya ikuti satu pun.
Saya malah ikut LPIK dan terdaftar sebagai anggota. Setelah menjalani masa
taaruf, saya baru tahu bahwa kegiatan LPIK terkait dengan keilmuan saja. Setiap
pertemuan hanya diskusi buku, membahas artikel/opini pada koran nasional, dan
mengikuti rangkaian paket kajian yang menambah wawasan dan pengetahuan.
Dari LPIK
itu saya mulai bangun dari kemalasan belajar. Saya mulai membaca buku-buku yang
ditugaskan oleh pengurus LPIK agar dibaca kemudian disampaikan saat jadwal yang
sudah ditentukan. Saya dari lingkungan LPIK ini belajar presentasi, belajar
menyampaikan pendapat dan merespons pertanyaan dengan jawaban seadanya. Dari
sana saya merasakan kurang ilmu. Saya merasakan harus banyak pengetahuan dan
wawasan. Kemudian saya setelah kuliah di kelas, tidak pulang malah menghabiskan
waktu di perpustakaan sambil menunggu jadwal kegiatan di LPIK yang dilaksanakan
sore hari sampai maghrib.
Setelah
menjalani proses baca buku dan diskusi di LPIK, saya menjadi berani untuk
dialog dengan mahasiswa lainnya juga dosen-dosen saat di ruang kelas maupun di
luar jam kuliah. Murni soal keilmuan, bukan untuk dapat nilai karena dosen yang
saya kunjungi berasal dari luar jurusan dan fakultas yang saya tempati kuliah.
Dosen yang mengampu filsafat dan teologi yang saya datangi untuk diskusi dan
mendapatkan pencerahan, termasuk dari guru besar pemikiran Islam.
Di luar
ruang kuliah itu saya dapat ilmu dan pemahaman yang berbeda dari setiap
manusia. Di luar ruang kuliah, saya dapat beragam pemikiran, termasuk mengenal
mazhab Syiah yang saat itu buat saya sesuatu yang baru dan memang ada dalam
matakuliah Ilmu Kalam (teologi Islam). Saat itu pada tahun 2001 di UIN Bandung muncul
organisasi Keluarga Mahasiswa Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (KM IJABI)
yang kemudian diketahui sebagai perkumpulan mahasiswa dan mahasiswi yang ingin
mengenal mazhab Ahlulbait. Saya coba gabung dengan bersama teman-teman dari LPIK karena secara umum
gerakannya dalam bidang keilmuan. Bukan sebagai pengurus, tetapi sebagai
peserta kajian. Alhamdulillah dari KM IJABI, saya mengenal filsafat Hikmah
Mutaaliyah, Hikmah Isyraqiyyah, Tasawuf ajaran Ibnu Arabi, dan teologi mazhab
Syiah. Saya masih ingat nama yang memberikan kajiannya adalah Miftah Rakhmat putra
Jalaluddin Rakhmat, Kholid Al-Walid yang kini dosen UIN, dan Dimitri Mahayana
dari ITB.
Sebelum
ada KM IJABI,
saya pernah ke Muthahhari yang
berlokasi di Kiaracondong Bandung untuk mencari referensi di perpustakaannya. Saya hanya minjam dan mengembalikan
buku. Karena saya mahasiswa dan aktivis LPIK, kadang saat ketemu para pengurus IJABI
langsung suka bertanya seputar Syiah atas hasil bacaan dari buku-buku. Dari
interaksi itu, saya simpulkan ternyata IJABI secara kultural sama dengan
keislaman yang saya anut dan jalankan; mirip dengan NU. Hanya beberapa hal yang
beda seperti otoritas agama Islam setelah Rasulullah saw jatuh kepada Keluarga Nabi
(Ahlul Bait) yaitu Ali bin Abu Thalib dan keturunannya. Sedangkan dalam
keyakinan NU bahwa Rasulullah Saw tidak menentukan otoritas (siapa yang harus
diikuti setelah wafatnya) sehingga tentang ajaran agama Islam dirujuk kepada
para sahabat, tabiin, dan ulama-ulama yang piawai dalam keilmuan Islam.
Menjelang
akhir kuliah, tahun 2003, saya mengambil kajian filsafat sejarah untuk skripsi.
Tokoh Islam dari Iran yang saya ambil sebagai skripsi, yaitu Dr Ali Syariati.
Dari bacaan tentang Syariati ini mengenal sedikit tentang Syiah dan mempelajari
khazanah filsafat sejarah menurut ulama atau cendekiawan Muslim. Saat menyusun
skripsi terbetik akan berhenti kuliah karena tidak mampu bayar kuliah untuk
tahun akhir (maklum orangtua hanya kerja sebagai marbot masjid dan jualan
makanan di warung) dan tidak punya uang untuk membeli buku-buku bahan penulisan
skripsi. Namun, seorang kawan
yang kini aktif di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) menyarankan
agar minta bantuan ke instansi yang terkait dengan Syiah yang ada di Jakarta
dan Bandung. Saya pun coba kirim surat pada tiga instansi tersebut. Saya
sampaikan kebutuhan saya. Tidak
satu pun dari instansi tersebut
memberikan bantuan. Hanya ungkapan maaf saja yang tercantum pada surat balasan.
Akhirnya, meski dengan tergopoh-gopoh, saya
beres menyusun skripsi dengan seadanya. Saya membantu
kawan yang sedang selesaikan skripsi dan dari kawan itu saya dapat kertas untuk
print out skripsi. Dari kawan yang saya bantu dibuatkan makalah, saya dapat
makanan dan minuman serta dibolehkan memakai komputer untuk menulis skripsi
saya. Sedangkan untuk bayaran kuliah tiap semester, keluarga memang menjadi andalan. Akhirnya saya pun tuntas kuliah S1.
Beberapa bulan menjelang wisuda, ayah
saya sakit keras dan wafat bulan November 2003, sehingga tidak menghadiri acara wisuda. Akhir tahun 2003, meski sudah bukan mahasiswa lagi, saya
masih sering ke kampus dan mengisi
keseharian di UIN SGD Bandung. Tidak terasa
bedanya antara status mahasiswa dan setelah lulus. Saya masih
sering masuk perpustakaan dan masih diskusi buku di LPIK serta ikut hadir dalam seminar.
Tidak mudah memang menyandang status sarjana. Keluarga
dan tetangga kalau ngobrol tanya soal kerja. Saya coba melamar menjadi guru di
sekolah Muhammadiyah di Bandung dan SMA almamater saya, ternyata ditolak. Saya
coba kirim lamaran ke perusahaan yang buka lowongan, ditolak juga. Sambil
nganggur saya aktif saja di masjid sambil ikut ngajar ngaji. Dari masjid, saya
sering diajak tahlilan dan acara undangan orang untuk doa-doa bersama. Dari
undangan itu saya dapat makanan dan kadang uang. Meski nganggur, tetap saja ada
rezeki. Allah Maha Pemurah dan memang rezeki setiap orang tidak bisa diukur
orang lain. Setiap orang
beda dalam urusan rezeki. Mungkin ditentukan tingkat kesulitan hidup dan
Kemampuan dalam ikhtiar. Meski tanpa ikhtiar, kalau Allah berkehendak maka
rezeki datang dari jalan yang tidak diduga. Meski bukan dari kepintaran dalam
ilmu, hanya dengan nongkrong di masjid maka rezeki tetap saya terima dari
Allah. Karena itu, selama masa nganggur saya menikmati saja dengan banyak baca
buku dan mulai membaca Alquran. *** (ahmad sahidin)