Senin, 04 Desember 2023

Islam dalam Studi Pemikiran Ali Syariati

Cendekiawan Muslim Indonesia dan para mahasiswa yang aktif di organisasi pergerakan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sudah tidak asing lagi dengan sosok intelektual Ali Syariati.

Begitu pun dengan lembaga kajian Islam dan yayasan di Indonesia seperti Yayasan Muthahhari, Yayasan Al-Jawad, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia, Pesantren Al-Hadi, Yayasan Pesantren Islam, Yayasan Al-Islah, Yayasan Al-Muntazar, Yayasan Fatimiyah, Ikatan Pecinta Ahlul Bait Indonesia, Islamic Cultural Center Jakarta, Yayasan Rausyanfikr, dan lainnya, pernah menyebarkan pemikiran Ali Syariati dalam bentuk buku dan buletin serta dibahas dalam diskusi-diskusi ilmiah.

Apresiasi positif muncul dari intelektual dan akademisi seperti Jalaluddin Rakhmat, M. Amin Rais, Dawam Rahardjo, Haidar Bagir, Afif Muhammad, Mochtar Pabottinggi, Azyumardi Azra, M. Deden Ridwan, dan lainnya. Ali Syariati bagi mereka ibarat angin segar dari Islam saat kaum akademisi Indonesia merujuk pada Barat, khususnya dalam pemikiran Islam dan gerakan sosial.

Siapa itu Ali Syariati? Dan bagaimana pemikirannya dalam khazanah pemikiran Islam? 

Apabila melihat dari buku-bukunya, riwayat hidup Ali Syariati secara ringkas dapat dibagi pada tiga periode. Periode pertama dimulai sejak lahir sampai menjelang studi di Perancis. Ali Syari’ati lahir pada 24 November 1933, dari keluarga terhormat di desa Mazinan, Provinsi Khurasan, Iran. 

Ayahnya bernama Muhammad Taqi Syari’ati, seorang guru dan mujahid pendiri markas Nasyr Ar-Haqa’iq Al-Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad, Iran. Ali Syari’ati sering menghabiskan waktu di perpustakaan ayahnya dengan membaca buku dari malam hingga menjelang shubuh. Masa remajanya tidak seperti remaja lain yang menghabiskan waktu dengan bermain.

Pada 1941, Ali Syari’ati memasuki pendidikan formal tingkat pertama pada sekolah swasta Ibn Yamin. Ia dikenal pendiam dan tak mau diatur. Ia tak pernah membaca buku-buku yang diwajibkan sekolah, malah membaca “Les Miserables” karya Victor Hugo dan lebih menyukai buku-buku sastra, filsafat dan mistisme. Bahkan minatnya terhadap filsafat timbul dari sebaris kalimat Maurice Maeterlinck yang berbunyi: “Bila kita meniup mati lilin, kemanakah perginya api itu?”

Ketika Ali Syari’ati membaca karya-karya Maurice Maeterlinck, Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan Saddeq-e Hedayat, keyakinan keagamaannya terguncang. Keyakinan akan eksistensi Tuhan berubah menjadi kegelisahan. Pandanagn bahwa ada eksistensi tanpa Tuhan membuat dirinya mengalami krisis keimanan, dan merasa ‘buntu’ dijalan filsafat. Akhirnya, di suatu malam ia berfikir untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Namun niatan itu tak terjadi, karena ia menemukan makna dan ketenangan dalam syair-syair Matsnawi Jalaludin Rumi.

Pada 1950-1952, Ali Syari’ati masuk pendidikan guru di Masyhad. Ia pun terlibat dalam demonstrasi pro-Mosaddeq, dan bergabung dengan Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan. Pada tahun 1956-1958, Ali Syari’ati mengalami krisis yang kedua. Yakni proses menemukan jati diri yang mempertanyakan tentang “siapa saya ini”.

Kemudian pada 28 Februari 1954, Ali Syari’ati dan Mr. Falsafi (kawannya yang sama-sama aktivis) dikurung selama tujuh belas hari atas tuduhan melakukan agitasi. Pada 1955, Ali Syari’ati menjadi mahasiswa fakultas Sastra Universitas Masyhad. Pada saat perkuliahan ia lebih unggul dalam filsafat dan sastra. Tahun 1957, Ali Syari’ati beserta ayahnya dipenjarakan selama sebulan di Qezel Qal’eh. Kemudian pada 15 Juli 1958, Ali Syari’ati menikahi Pulan-e Syari’at Razavi, mahasiswi Universitas Masyhad. Setelah meraih gelar BA (Bachelor of Art), Ali Syari’ati melanjutkan studinya di Universitas Sorbone-Perancis, tahun 1959.

Periode kedua adalah masa pertumbuhan dan pematangan intelektual Ali Syari’ati. Di Perancis ia banyak berkenalan dengan karya-karya Henry Bergson, Jack Berque, Albert Camus, A.H.D. Chandell, Franz Fanon, George Gurwitsch, Louis Massignon, Jean Paul Sartre dan Jacques Schwartz. Bahkan Ali Syari’ati terlibat dalam pergolakan Revolusi Al-Jazair, yang bersamaan dengan masa-masa munculnya gerakan nasionalis dan gerakan keagamaan di Iran. Di Perancis, Syari’ati beserta Bazargan dan Ayatullah Taliqani membantu gerakan pembebasan Iran dengan menerbitkan sebuah jurnal Free Iran yang beredar luas di Eropa. Terlihatlah keselarasan antara kelompok intelektual Iran di luar negeri dan kelompok perjuangan di Iran. Kemudian pada 1964, Ali Syari’ati menyelesaikan studi dengan menggondol dua gelar doktor dalam bidang sejarah agama dan sosiologi.

Periode ketiga adalah ketika Ali Syari’ati kembali ke Iran. Namun kedatangannya disambut dengan penjara selama enam bulan. Setelah itu, ia mengajar di beberapa sekolah menengah dan di akademi pertanian tanpa boleh menjadi pembimbing bagi para mahasiswa. Namun, popularitasnya pada kalangan mahasiswa beserta gagasan-gagasannya yang inovatif membawanya pada dua konflik, dengan ulama konservatif dan dengan para administrator pro-monarki Syah di Universitas Masyhad.

Di Institute Husyaniah Irsyad, Ali Syari’ati memberikan ceramah-ceramah pembaharuan pemikiran Islam. Karena dianggap membahayakan pemerintah, maka pada tahun 1972, Institute Husyaniah Irsyad ditutup oleh pemerintahan Muhammad Reza Pahlevi dan melakukan penahanan terhadap beberapa aktivis, termasuk Ali Syari’ati. Akhirnya, pada 1975-1977 menjadi tahanan rumah dan bulan Mei 1977 diasingkan ke Inggris. Sebulan kemudian, yaitu pada 19 Juni 1977 Ali Syari’ati wafat secara misterius. Para pendukungnya menuduh SAVAK (polisi rahasia Syah) berada di balik kematiannya. Ia dimakamkan di Damaskus, Syiria.

Meskipun para pendukungnya menuduh SAVAK sebagai yang paling bertanggung jawab atas kematiannya, tetapi rezim Syah Pahlevi menerbitkan obituari Syari’ati dengan nada simpati dan menawarkan pemakaman semi resmi atas jenazahnya. Bahkan, pemerintah Republik Islam Iran mengabadikannya lewat penerbitan perangko, menetapkan jalan dengan namanya, mencetak ulang buku-bukunya, pamphlet dan beberapa artikel yang menyanjungnya sebagai perumus jawaban Islam terhadap Barat.

Sebagai seorang intelektual, Ali Syariati telah berkontrubusi dalam khazanah pemikiran dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, khususnya yang tertuang dalam tulisan.

Beberapa karya Ali Syari’ati yang diterjemahkan dan beredar di Indonesia, yaitu Khilafah Wa Al-Wilayah Fi Qur’an Wa Al-Sunnah; Al-Wahyu Wa Al-Nubuwwah; Ali Syahid Al-Risalah; Maw’ud Al-Umam; Fa’idah Wa Iqtida’ Al-Din; Al-Iqtishad Al-Islami; Al-Tafsir Al-Jadid; Al-Madzhab Al-Wasith; Al-Husain Warisu Adam; Al-Tasyayyu’ Al-‘Alawi Wa Al-Tasyayyu’ Al-Shafawi; Salman Al-Farisi; Al-Syahadah; Mas’uliyat Al-Tasyayyu’; Al-‘Ilm Wa Al-Madaris Al-Jadidah; Al-Hadharah Wa Al-Tajdid; Al-Insan Al-Gharib ‘an Nafsih; ‘Ilm Al-Ijtima’ Hawl Al-Syirk; Al-Mutsaqqaf Wa Mas’uliyyatuh Fi Al-Mujtama; Al-Wujudiyah Wa Al-Firagh Al-Fikri, dan lainnya. Syariati pun pernah menulis puisi panjang dan bersifat reflektif dan diterjemah oleh Afif Muhammad dengan judul Satu yang Di Ikuti Oleh Nol-nol yang Tiada Habis-habisnya.[1]

Kontribusi Syariati juga tercatat dalam sejarah revolusi Islam Iran. Setidaknya ada dua peranan penting Syariati dalam revolusi Islam Iran. Pertama, pada gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikirannya yang revolusioner dan berpengaruh dikalangan muda Iran yang sedang merasakan tekanan politik di bawah rezim Syah Iran, khususnya pada 1965-1977. Kedua, pada politik praktis yang berkenaan dengan organisasi atau kelompok yang “bersinggungan” dengannya dalam perjuangan revolusi Islam Iran seperti kelompok Mujahidin Khalq dan Gerakan Pembebasan Iran (LMI) serta beberapa tokoh nasionalis-Iran.

Syariati melalui Institute Husainiyah Irsyad merumuskan pergerakan politik dan memberikan pencerahan bagi kaum muda Iran. Berbeda dengan Ayatullah Murtadha Muthahhari, Ali Syari’ati lebih menggunakan terminologi Barat dalam mengkritisi Barat sehingga rasa minder generasi Muslim hilang dan gantinya semangat untuk melawan rezim Pahlevi. Mungkin inilah yang membedakan Syariati dengan para mullah (ulama Iran) yang lebih menggunakan Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah serta fatwa Imam Syiah sebagai bantahannya. Syari’ati melalui kuliah dan ceramah umum memikat kalangan sekuler, kalangan kiri, dan lebih-lebih pada kalangan muda Iran yang anti-tradisionalisme dan kaum modernisme yang kebarat-baratan.

Ali Syariati dalam konsep kepemimpinan merasa kurang setuju dengan Ayatullah Khomeini yang memberikan otoritas penuh kepada ulama dalam kepemimpinan Islam Iran modern (wilayah faqih). Syari’ati berpendapat bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh kaum intelektual yang tercerahkan (rausyan fekr). Kalangan intelektual adalah eksponen nyata dari Islam rasional dan dinamis serta orang biasa atau yang bukan mullah juga dapat memahami ajaran Islam lebih baik dan berperilaku lebih Islami. Syari’ati berkeyakinan bahwa pemerintahan di bawah rausyan fekr diperlukan setelah revolusi. Namun konsep Syariati tersebut tidak berpengaruh di masyarakat Iran sebab kepemimpinan tertinggi pascarevolusi Islam Iran yang muncul wilayah al-faqih cetusan Ayatullah Khomeini.

Dalam bidang sosiologi, Syari’ati lebih cenderung tertatik berbicara pada realitas yang ada dan bukan yang abstrak. Karena itu, pandangannya lebih terfokus pada nilai-nilai, cara-cara bersikap, struktur, dan kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Semua konsep sosiologi hanyalah cara atau alat untuk menganalisa nilai-nilai dan hubungan-hubungan tertentu yang ada dan menjadi fenomena kemasyarakatan. Pandangannya itu muncul karena Syariati secara tidak langsung dipengaruhi konsep tauhid dan umat versi teologi Syiah. Syariati sendiri dalam membicarakan sosiologi tidak lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan tauhid dan semangat melakukan perubahan. Misalnya, dalam buku Paradigma Kaum Tertindas menulis:

“Tauhid bagaikan turun dari langit dan sambil meninggalkan lingkaran-lingkaran diskusi, penafsiran dan perdebatan filosofis, teologis dan ilmiah. Ia masuk ke dalam urusan masyarakat. Di dalamnya tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial mengenai hubungan kelas, orientasi perseorangan, hubungan antara perseorangan dan masyarakat, berbagai dimensi struktur sosial, superstruktur sosial, lembaga-lembaga sosial, keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, hak milik, etika sosial, pertanggungjawaban perseorangan maupun masyarakat.

“Dalam pengertian umum aspek Tauhid ini bisa disebut sebagai basis ideologis, sebagai semen perekat intelektual bagi masyarakat yang berorientasi Tauhid, suatu masyarakat yang berdasarkan struktur material dan ekonomis bebas dari kontradiksi dan suatu struktur intelektual dan kepercayaan yang bebas dari kontradiksi.

“Sebagaimana halnya pandangan hidup Tauhid menafsirkan eksistensi dalam pengertian kesatuan, demikian pula tafsirnya mengenai masyarakat manusia.”[2]  

Tauhid yang dipahami Syariati berbeda dengan wihdatul wujud versi Ibnu Arabi yang berfahamkan kesatuan atas keragaman yang ada sebagai penampakan Tuhan. Tauhid yang dimaksudkan Syari’ati adalah Tauhidul Wujud. Sebuah konsep pengesaan wujud Tuhan, bahwa tiada sesuatu dzat yang wajib ada kecuali dzat Tuhan. Tauhid menurut Syari’ati bukan sekedar prinsip bersama dengan prinsip pokok Islam yang lain seperti iman kepada Allah, al-Qur’an dan hari akhir, tetapi menjadi landasan dari semua prinsip-prinsip yang ada di dalam ajaran Islam, dan bahkan bermakna sebagai dasar kehidupan manusiawi dan pusat transendensi.

Ada pun pemikiran di bidang antropologi, Syari’ati merujuk pada awal mula kejadian adam yang berasal dari lempung (tanah) dan ruh Tuhan. Lempung adalah simbol kerendahan, sedangkan ruh Tuhan adalah simbol dari gerakan kea rah kemuliaan tanpa batas. Syari’ati berpendapat bahwa manusia pada dasarnya senantiasa berdiri diantara ketinggian derajatnya dan kerendahan derajatnya. Karena itu, wajar jika manusia terkadang berbuat baik dan kadang berbuat sebaliknya. Pemikiran inilah yang disebutnya sebagai antropologi filosofis. Sebuah pemikiran yang berkelanjutan dengan persoalan esensi dan eksistensi manusia, hakikat dan nilai manusia, dan manifestasi dari sifat kemanusiaan. Menurut Syariati, apabila nilai-nilai dan hakikat tersebut diaktualisasikan dengan berbagai bentuk ekspresi maka akan muncul beberapa cara pandang, cara berpikir, dan cara bersikap yang ada dalam kehidupan masyarakat. Peradaban dunia, menurutnya, adalah salah satu contoh bagaimana manusia yang berpotensi telah mewujudkan eksistensinya dengan menciptakan dan mengembangkan kreativitasnya di setiap zamannya.

Lain halnya dalam pemikiran keagamaan. Menurut Syariati, untuk menjadi seorang Muslim yang kaffah ada metode dasar yang perlu dijalankan. Pertama, mempelajari al-Quran sebagai himpunan ide dan produk yang dikenal dengan nama Islam. Kedua, mempelajari sejarah Islam dari seluruh perkembangan awal risalah Muhammad hingga hari ini. Selain itu ia pun mengusulkan lima tipologi dalam mengkaji Islam atau agama lainnya. Pertama, mempelajari Allah (Tuhan). Kedua, mengenal kitab al-Qur’an (kitab suci). Ketiga, mengenal Nabi atau Muhammad (utusan Tuhan). Keempat, mempelajari konteks atau kondisi awal kehadiran Nabi Islam dan bagaimana penghayatannya (sejarah lahirnya agama). Kelima, mempelajari tokoh-tokoh yang dihasilkan Islam (pengaruh terhadap masyarakat).

Dengan metode itulah Syari’ati berpandangan bahwa agama Islam, dalam hal ini Syi’ah, adalah ideologi revolusioner yang dirujuk dari Abu Dzar dan Imam Husain bin Ali sebagai simbol ketidaktundukan pada kemapanan dan anti kezaliman kemudian melakukan resistensi dengan apa yang disebutnya sebagai “Islam protes”. Makna “protes” ini menurut Syari’ati bahwa Islam harus dinamis dan progresif serta harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan akan penafsiran Islam secara menyeluruh sehingga pembaruan secara sosial politik terwujud. Karena itu, Syari’ati meyakini bahwa “Islam sejati” adalah yang berani menolak dekadensi dan kemapanan dalam masyarakat.

Sosok Ali Syari’ati tidak hanya dipuji, tetapi juga dikritik beberapa cendekiawan, seperti Mochtar Pabottinggi berpendapat bahwa Ali Syari’ati, lewat karya-karyanya, telah memperlakukan Islam sebagai “sosok ideal” dan telah menyembunyikan sosok sejarahnya dari hal-hal nista, serta telah memperlakukan agama ataupun paham lain sebagai “semu” karena tidak memiliki sosok ideal. Dengan begitu, menurut Pabottinggi, Syari’ati telah ditelan oleh internalisasinya sendiri sehingga terjebak dalam sikap eksklusivisme dan menutup kebenaran-kebenaran yang terdapat pada paham-paham lain. Begitu juga menurut salah seorang muridnya, Abdul Karim Soroush. Soroush berpendapat bahwa Syari’ati dalam tradisi keagamaan berusaha menjadikan Islam sebagai “madat” yang menenangkan, sekaligus mengupayakan adanya ideologisasi agama di dalam masyarakat. Pemikiran inilah yang menjadikan agama Islam menjadi “gemuk” kemudian akan membengkak dengan berbagai justifikasi agama untuk tetap bersikap revolusioner.[3]

Memang tidak ada pemikiran yang sempurna di dunia. Meskipun pemikiran Ali Syariati memiliki kelemahan, harus disadari bahwa ia pada masa revolusi Islam Iran ingin menunjukkan superioritas ideologi Islam di atas paham-paham Barat sehingga sikap dan pemikirannya bisa dikatakan relevan di zamannya. Tidak ada pemikiran manusia, baik itu filsuf atau Nabi, yang menelurkan gagasan perubahan atau menyampaikan pencerahannya tidak berdasarkan konteks sosial, politik, dan budaya yang melingkupi keberadaannya.

Dalam hal ini, harus diakui bahwa pemikiran Syari’ati telah cukup berpengaruh bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan bahwa ketika orang-orang Indonesia banyak yang tertarik pada teori kritis (mazhab frankfurt) dan neo-marxian, sebagian orang menemukan hal yang sama pada pemikiran Syari’ati, bahkan menjadi pemikiran alternatif. *** (ahmad sahidin)


[1] Puisi tersebut dimuat dalam buku Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1995).
[2] Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2001) hal. 29-30.
[3] Lihat Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama (Bandung: Mizan. 2002) hal.116.