Begitu pun dengan lembaga kajian Islam dan yayasan di Indonesia seperti Yayasan Muthahhari, Yayasan Al-Jawad, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia, Pesantren Al-Hadi, Yayasan Pesantren Islam, Yayasan Al-Islah, Yayasan Al-Muntazar, Yayasan Fatimiyah, Ikatan Pecinta Ahlul Bait Indonesia, Islamic Cultural Center Jakarta, Yayasan Rausyanfikr, dan lainnya, pernah menyebarkan pemikiran Ali Syariati dalam bentuk buku dan buletin serta dibahas dalam diskusi-diskusi ilmiah.
Apresiasi positif muncul dari intelektual dan akademisi seperti Jalaluddin Rakhmat, M. Amin Rais, Dawam Rahardjo, Haidar Bagir, Afif Muhammad, Mochtar Pabottinggi, Azyumardi Azra, M. Deden Ridwan, dan lainnya. Ali Syariati bagi mereka ibarat angin segar dari Islam saat kaum akademisi Indonesia merujuk pada Barat, khususnya dalam pemikiran Islam dan gerakan sosial.
Siapa itu Ali Syariati? Dan bagaimana pemikirannya dalam khazanah pemikiran Islam?
Apabila melihat dari buku-bukunya, riwayat hidup Ali Syariati secara ringkas dapat dibagi pada tiga periode. Periode pertama dimulai sejak lahir sampai menjelang studi di Perancis. Ali Syari’ati lahir pada 24 November 1933, dari keluarga terhormat di desa Mazinan, Provinsi Khurasan, Iran.
Ayahnya bernama Muhammad Taqi Syari’ati, seorang guru dan mujahid pendiri markas Nasyr Ar-Haqa’iq Al-Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad, Iran. Ali Syari’ati sering menghabiskan waktu di perpustakaan ayahnya dengan membaca buku dari malam hingga menjelang shubuh. Masa remajanya tidak seperti remaja lain yang menghabiskan waktu dengan bermain.
Apabila melihat dari buku-bukunya, riwayat hidup Ali Syariati secara ringkas dapat dibagi pada tiga periode. Periode pertama dimulai sejak lahir sampai menjelang studi di Perancis. Ali Syari’ati lahir pada 24 November 1933, dari keluarga terhormat di desa Mazinan, Provinsi Khurasan, Iran.
Ayahnya bernama Muhammad Taqi Syari’ati, seorang guru dan mujahid pendiri markas Nasyr Ar-Haqa’iq Al-Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-kebenaran Islam) di Masyhad, Iran. Ali Syari’ati sering menghabiskan waktu di perpustakaan ayahnya dengan membaca buku dari malam hingga menjelang shubuh. Masa remajanya tidak seperti remaja lain yang menghabiskan waktu dengan bermain.
Pada 1941, Ali
Syari’ati memasuki pendidikan formal tingkat pertama pada sekolah swasta Ibn
Yamin. Ia dikenal pendiam dan tak mau diatur. Ia tak pernah membaca buku-buku
yang diwajibkan sekolah, malah membaca “Les Miserables” karya Victor Hugo dan
lebih menyukai buku-buku sastra, filsafat dan mistisme. Bahkan minatnya
terhadap filsafat timbul dari sebaris kalimat Maurice Maeterlinck yang
berbunyi: “Bila kita meniup mati lilin, kemanakah perginya api itu?”
Ketika Ali
Syari’ati membaca karya-karya Maurice Maeterlinck, Arthur Schopenhauer, Franz
Kafka, dan Saddeq-e Hedayat, keyakinan keagamaannya terguncang. Keyakinan akan
eksistensi Tuhan berubah menjadi kegelisahan. Pandanagn bahwa ada eksistensi
tanpa Tuhan membuat dirinya mengalami krisis keimanan, dan merasa ‘buntu’
dijalan filsafat. Akhirnya, di suatu malam ia berfikir untuk mengakhiri hidup
dengan bunuh diri. Namun niatan itu tak terjadi, karena ia menemukan makna dan
ketenangan dalam syair-syair Matsnawi Jalaludin Rumi.
Pada 1950-1952, Ali
Syari’ati masuk pendidikan guru di Masyhad. Ia pun terlibat dalam demonstrasi
pro-Mosaddeq, dan bergabung dengan Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan. Pada tahun
1956-1958, Ali Syari’ati mengalami krisis yang kedua. Yakni proses menemukan
jati diri yang mempertanyakan tentang “siapa saya ini”.
Kemudian pada 28
Februari 1954, Ali Syari’ati dan Mr. Falsafi (kawannya yang sama-sama aktivis)
dikurung selama tujuh belas hari atas tuduhan melakukan agitasi. Pada 1955, Ali
Syari’ati menjadi mahasiswa fakultas Sastra Universitas Masyhad. Pada saat
perkuliahan ia lebih unggul dalam filsafat dan sastra. Tahun 1957, Ali
Syari’ati beserta ayahnya dipenjarakan selama sebulan di Qezel Qal’eh. Kemudian
pada 15 Juli 1958, Ali Syari’ati menikahi Pulan-e Syari’at Razavi, mahasiswi
Universitas Masyhad. Setelah meraih gelar BA (Bachelor of Art), Ali Syari’ati
melanjutkan studinya di Universitas Sorbone-Perancis, tahun 1959.
Periode kedua
adalah masa pertumbuhan dan pematangan intelektual Ali Syari’ati. Di Perancis
ia banyak berkenalan dengan karya-karya Henry Bergson, Jack Berque, Albert
Camus, A.H.D. Chandell, Franz Fanon, George Gurwitsch, Louis Massignon, Jean
Paul Sartre dan Jacques Schwartz. Bahkan Ali Syari’ati terlibat dalam
pergolakan Revolusi Al-Jazair, yang bersamaan dengan masa-masa munculnya
gerakan nasionalis dan gerakan keagamaan di Iran. Di Perancis, Syari’ati
beserta Bazargan dan Ayatullah Taliqani membantu gerakan pembebasan Iran dengan
menerbitkan sebuah jurnal Free Iran yang beredar luas di Eropa. Terlihatlah
keselarasan antara kelompok intelektual Iran di luar negeri dan kelompok
perjuangan di Iran. Kemudian pada 1964, Ali Syari’ati menyelesaikan studi
dengan menggondol dua gelar doktor dalam bidang sejarah agama dan sosiologi.
Periode ketiga
adalah ketika Ali Syari’ati kembali ke Iran. Namun kedatangannya disambut
dengan penjara selama enam bulan. Setelah itu, ia mengajar di beberapa sekolah
menengah dan di akademi pertanian tanpa boleh menjadi pembimbing bagi para
mahasiswa. Namun, popularitasnya pada kalangan mahasiswa beserta
gagasan-gagasannya yang inovatif membawanya pada dua konflik, dengan ulama
konservatif dan dengan para administrator pro-monarki Syah di Universitas
Masyhad.
Di Institute
Husyaniah Irsyad, Ali Syari’ati memberikan ceramah-ceramah pembaharuan
pemikiran Islam. Karena dianggap membahayakan pemerintah, maka pada tahun 1972,
Institute Husyaniah Irsyad ditutup oleh pemerintahan Muhammad Reza Pahlevi dan
melakukan penahanan terhadap beberapa aktivis, termasuk Ali Syari’ati.
Akhirnya, pada 1975-1977 menjadi tahanan rumah dan bulan Mei 1977 diasingkan ke
Inggris. Sebulan kemudian, yaitu pada 19 Juni 1977 Ali Syari’ati wafat secara
misterius. Para pendukungnya menuduh SAVAK (polisi rahasia Syah) berada di
balik kematiannya. Ia dimakamkan di Damaskus, Syiria.
Meskipun para
pendukungnya menuduh SAVAK sebagai yang paling bertanggung jawab atas
kematiannya, tetapi rezim Syah Pahlevi menerbitkan obituari Syari’ati dengan
nada simpati dan menawarkan pemakaman semi resmi atas jenazahnya. Bahkan,
pemerintah Republik Islam Iran mengabadikannya lewat penerbitan perangko,
menetapkan jalan dengan namanya, mencetak ulang buku-bukunya, pamphlet dan
beberapa artikel yang menyanjungnya sebagai perumus jawaban Islam terhadap
Barat.
Sebagai seorang
intelektual, Ali Syariati telah berkontrubusi dalam khazanah pemikiran dan
perkembangan ilmu-ilmu keislaman, khususnya yang tertuang dalam tulisan.
Beberapa karya Ali
Syari’ati yang diterjemahkan dan beredar di Indonesia, yaitu Khilafah Wa
Al-Wilayah Fi Qur’an Wa Al-Sunnah; Al-Wahyu Wa Al-Nubuwwah; Ali Syahid
Al-Risalah; Maw’ud Al-Umam; Fa’idah Wa Iqtida’ Al-Din; Al-Iqtishad Al-Islami;
Al-Tafsir Al-Jadid; Al-Madzhab Al-Wasith; Al-Husain Warisu Adam; Al-Tasyayyu’
Al-‘Alawi Wa Al-Tasyayyu’ Al-Shafawi; Salman Al-Farisi; Al-Syahadah; Mas’uliyat
Al-Tasyayyu’; Al-‘Ilm Wa Al-Madaris Al-Jadidah; Al-Hadharah Wa Al-Tajdid;
Al-Insan Al-Gharib ‘an Nafsih; ‘Ilm Al-Ijtima’ Hawl Al-Syirk; Al-Mutsaqqaf Wa
Mas’uliyyatuh Fi Al-Mujtama; Al-Wujudiyah Wa Al-Firagh Al-Fikri, dan
lainnya. Syariati pun pernah menulis puisi panjang dan bersifat reflektif dan
diterjemah oleh Afif Muhammad dengan judul Satu yang Di Ikuti Oleh Nol-nol
yang Tiada Habis-habisnya.[1]
Kontribusi Syariati
juga tercatat dalam sejarah revolusi Islam Iran. Setidaknya ada dua peranan
penting Syariati dalam revolusi Islam Iran. Pertama, pada
gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikirannya yang revolusioner dan berpengaruh
dikalangan muda Iran yang sedang merasakan tekanan politik di bawah rezim Syah
Iran, khususnya pada 1965-1977. Kedua, pada politik praktis yang
berkenaan dengan organisasi atau kelompok yang “bersinggungan” dengannya dalam
perjuangan revolusi Islam Iran seperti kelompok Mujahidin Khalq dan Gerakan
Pembebasan Iran (LMI) serta beberapa tokoh nasionalis-Iran.
Syariati melalui
Institute Husainiyah Irsyad merumuskan pergerakan politik dan memberikan
pencerahan bagi kaum muda Iran. Berbeda dengan Ayatullah Murtadha Muthahhari,
Ali Syari’ati lebih menggunakan terminologi Barat dalam mengkritisi Barat
sehingga rasa minder generasi Muslim hilang dan gantinya semangat untuk melawan
rezim Pahlevi. Mungkin inilah yang membedakan Syariati dengan para mullah
(ulama Iran) yang lebih menggunakan Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah serta fatwa
Imam Syiah sebagai bantahannya. Syari’ati melalui kuliah dan ceramah umum
memikat kalangan sekuler, kalangan kiri, dan lebih-lebih pada kalangan muda
Iran yang anti-tradisionalisme dan kaum modernisme yang kebarat-baratan.
Ali Syariati dalam
konsep kepemimpinan merasa kurang setuju dengan Ayatullah Khomeini yang
memberikan otoritas penuh kepada ulama dalam kepemimpinan Islam Iran modern (wilayah
faqih). Syari’ati berpendapat bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh kaum
intelektual yang tercerahkan (rausyan fekr). Kalangan intelektual adalah
eksponen nyata dari Islam rasional dan dinamis serta orang biasa atau yang
bukan mullah juga dapat memahami ajaran Islam lebih baik dan berperilaku
lebih Islami. Syari’ati berkeyakinan bahwa pemerintahan di bawah rausyan fekr
diperlukan setelah revolusi. Namun konsep Syariati tersebut tidak berpengaruh
di masyarakat Iran sebab kepemimpinan tertinggi pascarevolusi Islam Iran yang
muncul wilayah al-faqih cetusan Ayatullah Khomeini.
Dalam bidang
sosiologi, Syari’ati lebih cenderung tertatik berbicara pada realitas yang ada
dan bukan yang abstrak. Karena itu, pandangannya lebih terfokus pada
nilai-nilai, cara-cara bersikap, struktur, dan kepercayaan yang ada di dalam
masyarakat. Semua konsep sosiologi hanyalah cara atau alat untuk menganalisa
nilai-nilai dan hubungan-hubungan tertentu yang ada dan menjadi fenomena
kemasyarakatan. Pandangannya itu muncul karena Syariati secara tidak langsung
dipengaruhi konsep tauhid dan umat versi teologi Syiah. Syariati sendiri dalam
membicarakan sosiologi tidak lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan tauhid
dan semangat melakukan perubahan. Misalnya, dalam buku Paradigma Kaum
Tertindas menulis:
“Tauhid bagaikan
turun dari langit dan sambil meninggalkan lingkaran-lingkaran diskusi,
penafsiran dan perdebatan filosofis, teologis dan ilmiah. Ia masuk ke dalam
urusan masyarakat. Di dalamnya tercakup berbagai masalah yang menyangkut
hubungan sosial mengenai hubungan kelas, orientasi perseorangan, hubungan
antara perseorangan dan masyarakat, berbagai dimensi struktur sosial,
superstruktur sosial, lembaga-lembaga sosial, keluarga, politik, kebudayaan,
ekonomi, hak milik, etika sosial, pertanggungjawaban perseorangan maupun
masyarakat.
“Dalam pengertian
umum aspek Tauhid ini bisa disebut sebagai basis ideologis, sebagai semen
perekat intelektual bagi masyarakat yang berorientasi Tauhid, suatu masyarakat
yang berdasarkan struktur material dan ekonomis bebas dari kontradiksi dan
suatu struktur intelektual dan kepercayaan yang bebas dari kontradiksi.
“Sebagaimana halnya
pandangan hidup Tauhid menafsirkan eksistensi dalam pengertian kesatuan,
demikian pula tafsirnya mengenai masyarakat manusia.”[2]
Tauhid yang
dipahami Syariati berbeda dengan wihdatul wujud versi Ibnu Arabi yang
berfahamkan kesatuan atas keragaman yang ada sebagai penampakan Tuhan. Tauhid
yang dimaksudkan Syari’ati adalah Tauhidul Wujud. Sebuah konsep pengesaan wujud
Tuhan, bahwa tiada sesuatu dzat yang wajib ada kecuali dzat Tuhan.
Tauhid menurut Syari’ati bukan sekedar prinsip bersama dengan prinsip pokok
Islam yang lain seperti iman kepada Allah, al-Qur’an dan hari akhir, tetapi
menjadi landasan dari semua prinsip-prinsip yang ada di dalam ajaran Islam, dan
bahkan bermakna sebagai dasar kehidupan manusiawi dan pusat transendensi.
Ada pun pemikiran
di bidang antropologi, Syari’ati merujuk pada awal mula kejadian adam yang
berasal dari lempung (tanah) dan ruh Tuhan. Lempung adalah simbol kerendahan,
sedangkan ruh Tuhan adalah simbol dari gerakan kea rah kemuliaan tanpa batas.
Syari’ati berpendapat bahwa manusia pada dasarnya senantiasa berdiri diantara
ketinggian derajatnya dan kerendahan derajatnya. Karena itu, wajar jika manusia
terkadang berbuat baik dan kadang berbuat sebaliknya. Pemikiran inilah yang
disebutnya sebagai antropologi filosofis. Sebuah pemikiran yang berkelanjutan
dengan persoalan esensi dan eksistensi manusia, hakikat dan nilai manusia, dan
manifestasi dari sifat kemanusiaan. Menurut Syariati, apabila nilai-nilai dan
hakikat tersebut diaktualisasikan dengan berbagai bentuk ekspresi maka akan
muncul beberapa cara pandang, cara berpikir, dan cara bersikap yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Peradaban dunia, menurutnya, adalah salah satu contoh
bagaimana manusia yang berpotensi telah mewujudkan eksistensinya dengan
menciptakan dan mengembangkan kreativitasnya di setiap zamannya.
Lain halnya dalam
pemikiran keagamaan. Menurut Syariati, untuk menjadi seorang Muslim yang kaffah
ada metode dasar yang perlu dijalankan. Pertama, mempelajari al-Quran
sebagai himpunan ide dan produk yang dikenal dengan nama Islam. Kedua,
mempelajari sejarah Islam dari seluruh perkembangan awal risalah Muhammad
hingga hari ini. Selain itu ia pun mengusulkan lima tipologi dalam mengkaji
Islam atau agama lainnya. Pertama, mempelajari Allah (Tuhan). Kedua, mengenal
kitab al-Qur’an (kitab suci). Ketiga, mengenal Nabi atau Muhammad (utusan
Tuhan). Keempat, mempelajari konteks atau kondisi awal kehadiran Nabi Islam dan
bagaimana penghayatannya (sejarah lahirnya agama). Kelima, mempelajari
tokoh-tokoh yang dihasilkan Islam (pengaruh terhadap masyarakat).
Dengan metode
itulah Syari’ati berpandangan bahwa agama Islam, dalam hal ini Syi’ah, adalah
ideologi revolusioner yang dirujuk dari Abu Dzar dan Imam Husain bin Ali
sebagai simbol ketidaktundukan pada kemapanan dan anti kezaliman kemudian
melakukan resistensi dengan apa yang disebutnya sebagai “Islam protes”. Makna
“protes” ini menurut Syari’ati bahwa Islam harus dinamis dan progresif serta
harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan akan penafsiran Islam secara
menyeluruh sehingga pembaruan secara sosial politik terwujud. Karena itu,
Syari’ati meyakini bahwa “Islam sejati” adalah yang berani menolak dekadensi dan
kemapanan dalam masyarakat.
Sosok Ali Syari’ati
tidak hanya dipuji, tetapi juga dikritik beberapa cendekiawan, seperti Mochtar
Pabottinggi berpendapat bahwa Ali Syari’ati, lewat karya-karyanya, telah
memperlakukan Islam sebagai “sosok ideal” dan telah menyembunyikan sosok
sejarahnya dari hal-hal nista, serta telah memperlakukan agama ataupun paham
lain sebagai “semu” karena tidak memiliki sosok ideal. Dengan begitu, menurut
Pabottinggi, Syari’ati telah ditelan oleh internalisasinya sendiri sehingga
terjebak dalam sikap eksklusivisme dan menutup kebenaran-kebenaran yang
terdapat pada paham-paham lain. Begitu juga menurut salah seorang muridnya,
Abdul Karim Soroush. Soroush berpendapat bahwa Syari’ati dalam tradisi
keagamaan berusaha menjadikan Islam sebagai “madat” yang menenangkan, sekaligus
mengupayakan adanya ideologisasi agama di dalam masyarakat. Pemikiran inilah
yang menjadikan agama Islam menjadi “gemuk” kemudian akan membengkak dengan
berbagai justifikasi agama untuk tetap bersikap revolusioner.[3]
Memang tidak ada
pemikiran yang sempurna di dunia. Meskipun pemikiran Ali Syariati memiliki
kelemahan, harus disadari bahwa ia pada masa revolusi Islam Iran ingin
menunjukkan superioritas ideologi Islam di atas paham-paham Barat sehingga
sikap dan pemikirannya bisa dikatakan relevan di zamannya. Tidak ada pemikiran
manusia, baik itu filsuf atau Nabi, yang menelurkan gagasan perubahan atau
menyampaikan pencerahannya tidak berdasarkan konteks sosial, politik, dan
budaya yang melingkupi keberadaannya.
Dalam hal ini,
harus diakui bahwa pemikiran Syari’ati telah cukup berpengaruh bagi
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Jalaluddin Rakhmat menjelaskan bahwa
ketika orang-orang Indonesia banyak yang tertarik pada teori kritis (mazhab
frankfurt) dan neo-marxian, sebagian orang menemukan hal yang sama pada pemikiran Syari’ati, bahkan menjadi pemikiran alternatif. *** (ahmad sahidin)