Jumat, 07 April 2023

Serpihan (buku) The Prophetic Wisdom

IZINKAN saya berbagi dengan Anda. Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Saya tidak bisa memastikan mampu mengungkapnya. Setiap kali membuka lembar demi lembar saya tersentuh, tersentak, dan tersadar. Setiap kali membaca torehan kalimat terasa menyedot pikiran dan mata untuk terus membacanya. Jemari tangan pun tak mau lepas sebelum tuntas.

Ya… buku The Prophetic Wisdom yang membuatku demikian. Buku ini ditulis oleh guruku: Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat. Dari nama belakangnya dapat ditebak kalau Beliau adalah putra ulama dan cendekiawan termashur: Prof.Dr.KH.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. 

Beruntung saya mendapatkan The Prophetic Wisdom ini secara gratis dan langsung diberi tanda tangannya.Saya pernah ingat yang dikatakan Ustadz Jalal bahwa tanda tangan merupakan bagian dari serpihan kehidupan yang menjadi ruh dari setiap karya yang dihasilkan dari tangan tersebut. Dari tanganlah percikan demi percikan ilmu mengalir kepada pembaca buku. Dari tangan pula untaian kata yang sulit diungkap secara lisan meluncur. Hanya melalui tulisan seorang penyair dapat melahirkan sajak-sajak indah. Hanya melalui goresan kuas pelukis dapat melahirkan karya indah. Dengan tangan pula kalam-kudus Allah diabadikan dan dibaca umat manusia. Dan… satu lagi, memang terasa ada bedanya membaca buku yang diberi sentuhan tangan penulisnya (tanda tangan) dengan yang tidak. Ketika membaca lembar demi lembar buku The Prophetic Wisdom, ada saja hal-hal yang tidak saya ketahui dan ada tafsiran yang lebih mendalam dari yang pernah saya baca. Terasa mengalir uraian setiap fragmen kisah yang dikupas olehnya.      

Bagi saya, yang masih awam dalam pengetahuan agama dan kehidupan, buku The Prophetic Wisdom ini sangat luar biasa. Buku ini mengingatkan saya untuk terus mengambil manfaat dari setiap kehidupan yang dilalui manusia di dunia. 

Ustadz Miftah melalui buku The Prophetic Wisdom seakan-akan berpesan bahwa para Nabi Allah yang diceritakan dalam Quran, hadis, atau ceramah-ceramah agama yang disampaikan guru agama sebenarnya hanya perulangan yang terus dituturkan dari zaman ke zaman. Kita harus jujur bahwa sejak kecil amat senang membaca kisah para Nabi. Ketika sekolah dasar pun tetap  asyik diceritakan kisah para Nabi. Masuk SMP dan SMA pun masih senang kalau mendengarkan orang bercerita tentang para Nabi Allah. Bahkan, ketika kuliah pun saya masih berminat untuk membacanya. Bedanya, ketika kuliah saya membacanya dengan sedikit menimbang-nimbang: benarkah demikian kejadiannya? Jangan-jangan tidak seajaib begitu. Dengan kata lain, mulai sedikit kritis. Apalagi saat belajar metodologi sejarah, bacaan sejarah atau kisah menjadi semakin terasa menarik saat pertanyaan demi pertanyaan mengalir meminta jawab. 

Ah… kalau sudah bicara sejarah dalam konteks ilmiah tidak lagi membuat saya takjub. Setiap penulis memiliki perspektif sendiri. Tidak ada yang sama, kadang berbeda. Kalau sudah demikian, saya hanya bisa tersenyum dan berkomentar: rekonstruksi sejarah tidak pernah menghadirkan keaslian, tetapi sekadar tampilan dari realitas masa lampau. Meskipun dengan metodologi yang ketat pun, ya sekadar rekonstruksi versinya sendiri. Memang hanya argumen yang kuat dengan fakta dan sumber yang valid yang dalam sidang sejarah dapat diterima. Kalau sekadar pembelaan atas keyakinan pribadi biasanya tak akan pernah dianggap dalam sidang sejarah. 

Memang akan sulit kalau kita menelusuri kebenarannya. Apalagi kalau menyangkut data sejarah masa lampau pra masehi. Untuk peristiwa masehi awal saja masih simpang siur, apalagi sebelumnya pasti lebih banyak nuansa dongengnya ketimbang kebenarannya. 

Bagi sebagian sejarawan Muslim, Al-Quran memang dianggap sebagai salah satu sumber dari sejarah masa lalu, khususnya berkaitan dengan para Nabi Allah. Kabar yang terdapat dalam Quran memang amat sulit untuk diteliti yang berkaitan dengan para Nabi terdahulu karena jejak arkeologis yang sulit ditemukan. Kasus kapal Nabi Nuh as, baru-baru ini memang sempat dibincangkan para arkeolog dan disinyalir yang berada di daratan Rusia, Keiv, ditemukan bongkahan kayu kuno. Para arkeolog yang mensinyalirnya jejak kayu perahu tersebut terdapat tulisan yang menyebutkan Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Benarkah itu jejak Nabi Nuh as? Darimana mereka dapat menyimpulkannya? 

Kemudian yang paling diingat adalah bangunan Spinx di Mesir dan sejumlah piramidanya yang disebut warisan Firaun. Kemudian sejumlah jejak peradaban Persia dan India. Bagi arkeolog selalu dikaitkan dengan peristiwa masa lalu.

Melacak data historis dengan perangkat metodologi sejarah yang syaratnya harus dipenuhi dengan data-data empiris memang akan sangat melelahkan. Tidak semua orang mampu. Tidak setiap negeri punya minat untuk menggalinya. Karena itu, agama dengan kabar langit sekadar menginformasikan bahwa masa lalu pernah ada dan orang-orang sebelum kita terdahulu pernah menempuh beragam hidup. 

Pola hidup dan keadaan serta bagaimana kehidupannya tidak dapat dipastikan. Biasanya para penafsir Kitab Suci yang rajin menjelaskannya dengan mengambil rujukan dari sana sini seakan-akan benar yang dijelaskannya dengan realitas masa silam yang diungkapnya. Orang-orang yang bergelut dalam studi sejarah biasanya akan sedikit mencibir kerja mereka: bagaimana mungkin orang yang hidup hari ini menjelaskan kehidupan masa lalu. 

Bukti empiris dan saksi sejarah yang memang menjadi kekuatan dalam merekonstruksi sejarah. Kalau sumber primer tersebut tidak memenuhi maka kajiannya bukan lagi sejarah. Mungkin rekaan sejarah. Hal ini yang kemudian menjadi argumen dari sebagian Muslim Liberal bahwa kisah-kisah dalam Quran dikategorikan fiktif untuk sekadar mengambil pelajaran atau hikmah hidup. Lalu, beberapa orang yang tidak setuju menyebut mereka termasuk orang-orang yang mengingkari kebenaran ayat-ayat Allah. Bukankah kisah dan pragmen hidupnya disebutkan dalam Kitab Suci, yang berarti kebenarannya dijamin sampai Kiamat? 

Kalau sudah sampai pada masalah tersebut biasanya umat Islam akan cukup mengatakan hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Biarlah Allah yang membukanya kelak di akhirat. Kalau sudah demikian maka orang akan berhenti menggali dan memikirkannya kemudian menjadi seorang fatalis yang menerima saja. Padahal, Allah memerintahkan untuk memikirkannya. Ah… ini soal lain lagi yang perlu dicermati. 

Dari bacaan buku The Prophetic Wisdom, saya jadi bertanya-tanya. Benarkah demikian kisah-kisahnya? Bukankah itu semua hanya peristiwa masa lampau? Untuk apa semuanya hadir atau muncul dalam kehidupan kita?

Penulis buku The Prophetic Wisdom, Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat menjawab dengan halus bahwa pada setiap fragmen hidup dan jejak peristiwa kehidupan terdapat hikmah. Bukankah ada hikmah dibalik setiap kisah? Kalimat itu yang terus muncul kalau Anda membaca bukunya; yang seakan-akan mengingatkan kita agar becermin dan mengambil nilai dari setiap serpihan hidup yang dialami, termasuk dari para Nabi Allah. 

Terima kasih Ustadz Miftah yang telah berkenan berbagi pencerahan dan hikmah kisah-kisah para Nabi Allah. Saya yakin setiap orang yang membaca akan mendapatkan manfaat dari The Prophetic Wisdom: Kisah-kisah Kearifan Para Nabi. Tidak percaya, baca deh! J 

Bandung: 30 Sya’ban 1432

Ahmad Sahidin, penulis buku Filsafat Sejarah