PADA 18 Dzulhijjah, setelah melaksanakan haji terakhir (hajj al-wada`) Nabi Muhammad saw pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah bersama 120 ribu kaum Muslim dan berdiam pada satu tempat bernama Ghadir Khum (kini dekat dengan Juhfah).
Rasulullah saw berkhutbah, menyampaikan pujian kepada Allah. Sang
Nabi memberitahukan bahwa hidupnya tidak lama lagi, menyampaikan akhirat
sebagai akhir tujuan dari perjalanan hidup manusia, dan berpesan kepada umat
Islam agar senantiasa merujuk pada Al-Quran dan Itrah Ahlulbait Rasulullah saw.
Di tengah khutbah, Sang Nabi menggandeng suami putrinya, Imam Ali bin Abi
Thalib, sambil bersabda: “Dengarlah!
Aku adalah penghulu surga dan aku akan menjadi saksi atas kalian maka
barhati-hatilah kalian memperlakukan dua hal yang sangat berharga itu
sepeninggalku. Janganlah kalian mendahului mereka karena kalian akan binasa.
Jangan pula engkau jauh dari mereka karena kalian akan binasa!
“Hai, kaum Muslim! Tahukah kalian bahwa aku memiliki hak atas kalian lebih daripada diri kalian sendiri?”
Orang-orang berseru: “Ya, Rasulullah.” Lalu Rasul mengulangi: “Hai, kaum Muslim? Bukankah aku memiliki hak atas kaum beriman lebih daripada diri mereka sendiri?”
Mereka berkata lagi: “Ya, Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saw berkata: “Hai Kaum Muslim! Sesungguhnya, Allah adalah Tuhanku dan aku adalah Maula semua orang-orang beriman.”
Rasulullah saw mengangkat tangan
Imam A1i sambil berseru: “Barangsiapa mengangkatku sebagai Maula maka Ali
adalah Maulanya pula (ia mengulang sampai tiga kali). Ya, Allah! Cintailah
orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah
orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang yang menyelamatkannya
dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mana pun ia berpaling! (artinya,
jadikan ia pusat kebenaran).
“Ali adalah
putra Abu Thalib, saudaraku, washi-ku, dan penggantiku
(khalifah) dan pemimpin sesudahku. Kedudukannya bagiku bagaikan kedudukan Harun
bagi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Ia adalah pemimpin kalian
setelah Allah dan utusan-Nya.
“Hai, kaum
Muslim! Sesungguhnya, Allah telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian.
Ketaatan kepadanya wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar,
orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan penduduk kota dan kaum
pengembara, orang-orang Arab dari orang-orang bukan Arab, para majikan dan
budak, orang-orang tua dan muda, besar dan kecil, juga putih dan hitam.
“Perintahnya
harus kalian taati. Kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban
bagi setiap orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang
tidak mematuhinya dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya. Orang-orang
yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang beriman. Wilayahnya
(keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang Mahakuasa dan Mahatinggi
wajibkan.
“Hai kaum
Muslim, pelajarilah Al-Quran! Terapkanlah ayat-ayat yang jelas maknanya bagi
kalian dan janganlah kalian mengira-ngira ayat-ayat yang bermakna ganda!
Karena, Demi Allah, tiada seorang pun yang dapat menjelaskan ayat-ayat secara
benar akan makna serta peringatannya kecuali aku dan lelaki ini (Ali), yang
telah aku angkat tangannya ini di hadapan diriku sendiri.
Riwayat hadits Ghadir Khum ini terdapat dalam Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, jilid V,
h.209. Ibnu Katsir meriwayatkan sanad hadits Ghadir Khum itu baik dan kuat (jayyid
qawi) dan menunjukkan pula sanad lain yang dinyatakan shahih oleh
Al-Adzahabi. Bahkan, menurut muhadits At-Tirmidzi; riwayat Ghadir Khum
memiliki sanad yang baik dan orang-orang yang ada di dalamnya tsiqah dan
haditsnya termasuk shahih. Juga terdapat pada kitab tafsir Asy-Syaukani,
jilid 5, h.189, dan kitab tafsir Alusi, jilid 28, h.37.
Begitu juga pada kitab 'Abaqâtul 'Anwâr dalam sebelas jilid besar yang ditulis dalam bahasa Persia oleh Mir Hamid Husain Al-Musawi (wafat 1306) dari India, ditulis nama-nama perawi hadits Ghadir Khum secara lengkap.
Bahkan, Allamah Mir Hamid Husain telah mempersembahkan tiga jilid besar (yang terdiri dari 1080 halaman) tentang isnad, tawatur, dan makna hadits Ghadir Khum. Versi ringkasnya dari kitab ini ditulis dalam terjemahan bahasa Arab diberi judul Nafahatul Azhar fi Khulasati 'Abaqatil Anwar oleh Sayyid Ali Milani yang telah diterbitkan dalam 12 jilid dan empat jilid (dengan ketikan dan cetakan modern) mengurai masalah hadits Ghadir Khum.
Juga pada Kitab Al-Ghadir dalam sebelas jilid dalam bahasa Arab disusun oleh Abdul Husain Ahmad Al-Amini (wafat 1970) di Irak. 'Allamah Amini telah memberikan rujukan penuh dari nama-nama 110 sahabat Nabi saw dan nama-nama 84 tabi'in (murid-murid para sahabat) yang menceritakan hadits Al-Ghadir. Ia juga memberikan secara kronologis nama-nama sejarawan, ahli hadits, mufassir, dan pujangga yang telah menukil hadits Al-Ghadir tersebut sejak awal hingga abad keempat belas.
Almarhum Sayyid 'Abdul 'Aziz At-Thabathaba'i menyebutkan adanya kemungkinan tidak hanya satu hadits yang telah dinukil dari sedemikian banyak jumlah sahabat sebagaimana yang dapat kita lihat (120) dari hadis Al-Ghadir tersebut. Namun, membandingkan jumlah itu dengan total jumlah yang hadir ketika peristiwa Ghadir Khum terjadi, ia mengatakan jumlah 120 penukil hadits tersebut hanyalah sepuluh persen dari jumlah sahabat yang hadir ketika itu. Ia memberikan judul pada tulisannya "Hadits Ghadir: Ruwatuhu Kathiruna lil-Ghayah Qaliluna lil-Ghaya.” (Penjelasan lengkapnya lihat Jurnal Al-Huda edisi 14, volume V, nomor 14, 2008, h.35).
Namun disayangkan, para sahabat tidak menikuti hadits tersebut. Mereka malah berseteru dan mengangkat Abu Bakar dalam forum terbatas di Balai Saqifah yang tanpa melibatkan kalangan keluarga Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat setianya. Umar bin Khaththab sendiri menyebut peristiwa Saqifah itu tergesa-gesa. (Lihat Ibnu Al-Atsîr, Târîkh al-Kâmil, jilid 2, h.157; Syaikh Muhammad Al-Hasan, Dalâ’il Shidq, jilid 3, h.21, Ibnu Hisyâm, as-Sîrah an-Nabawiyah, jilid 2, h. 427; Thabarî, Târîkh al-Mulûk wa al-Umam, jilid 2, h. 199-201; Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 2, h. 22-29; Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wan Nihâyah, jilid 5, h.245-247; Shahîh Bukhârî pada bab “Hukum Rajam pada orang Hamil Karena Perzinaan”, jilid 10, h. 44; dan Musnad Ahmad, jilid 1, h.56.) *** (ahmadsahidin)