“KITA saling panggil apa ya?” tanya istri saya waktu awal nikah. Saya jawab, “Anti panggil Aa saja dan Aa memanggil Neng ke Anti.”
Istri pun mengangguk. Panggilan Aa dan Neng terus melekat hingga usia satu tahun menikah. Memasuki awal tahun kedua pernikahan, saya dan istri sempat bersilaturahim kepada teman saya di kampus UIN Sunan Gunung Djati. Teman saya itu baru menikah dan memanggil istrinya dengan panggilan ‘Bunda’ dan istrinya memanggilnya ‘Ayah’.
“Wah, belum punya bayi tapi panggilannnya udah gitu,”
celetuk istri. Saya tersenyum. Sepulang dari teman saya dan istri kembali
membincangkan soal panggilan. Dari perbincangan itu muncul ide untuk mengganti
panggilan kita berdua. Istri saya bilang kita harus beda dengan yang ada dalam
keluarga kita.
“Panggilan ayah dan ibu, mamah dan bapak, ummi dan abi,
kan sudah oleh kakak kita. Jadi, apa?”
“Sudah saja kita pakai panggilan di Sunda: Abah dan
Ambu.”
“Seperti panggilan mertua Kabayan.”
“Hehehe… bukan. Kata ‘Abah’ sangat dekat dengan istilah
‘Abu’ dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab, biasanya memanggil ayah dengan
‘Aba’. Nah, orang-orang pesantren dulu, di tanah Sunda dan Batavia menggunakan
pangilan itu menjadi Abah. Sedangkan Ambu berasal dari Ummu. Karena lidah orang
Sunda sangat sulit bilang Ummu dan tidak enak dalam mengucapkan. Enknya bilang Ambu
untuk menyebut ibu.”
“Benarkah?” tanya istri.
“Kalau kita baca sejarah bahwa istilah tersebut muncul
dari proses Islamisasi ke Nusantara, khususnya di Sunda. Sejarawan Azyumardi
Azra pernah menerangkan bahwa bahasa Melayu dan Indonesia banyak dipengaruhi
bahasa Arab dan Persia. Misalnya, kata ‘kursi’ berasal dari bahasa Arab.
Fenomena ini disebut ‘islamicate’-- istilah Marshall G.S.Hodgson-- untuk
menyebutkan budaya yang bercorak Islam. Jadi, Abah dan Ambu atau Abi dan Ummi
juga bercorak Islam. Keduanya berasal dari satu akar.”
“Jadi, panggil Abah-Ambu?” tanya istri.
“Ya.”
Lalu, kami pun saling memanggil dengan panggilan itu.
Pengaruh Bahasa
Arab dalam Kehidupan Sosial Keagamaan di Indonesia
Ada dua orang yang menulis tugas akhirnya tentang
pengaruh bahasa asing terhadap Bahasa Indonesia. Namanya Hanifullah Syukri dan
Anas Sasmita yang menyelesaikan pendidikan master di Program Pascasarjana UI
dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang keduanya tentang pengaruh bahasa Arab
dalam kehidupan sosial keagamaan di Indonesia.
Dari hasil penelitiannya itu, Sasmita menyimpulkan bahwa
bahasa Arab merupakan alat komunikasi masyarakat baik kepada sesamanya maupun
kepada Tuhan. Ia menemukan sedikitnya 850 kata yang berasal dari bahasa Arab
dan tidak kurang dari 184 kata yang menjadi kata serapan dalam bahasa
Indonesia. Dari sejumlah itu, kata yang dipergunakan dalam kontek syiar Islam
atau dakwah Islam tidak kurang dari 793 kata. Karena itu, bahasa Arab mempunyai
sumbangan yang besar nilainya dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
Syukri dalam tesisnya menyimpulkan, orang Arab ketika
datang menjadi penyebar agama dengan jalur perdagangan banyak menggunakan
bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Mereka beranggapan dengan begitu mereka
lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain. Mereka juga tidak berkeberatan
bahasa mereka diadaptasi menjadi bahasa setempat. Ini terbukti pada kata
sekaten yang diambil dari kata dalam bahasa Arab syahadatain. Kata sekaten kini
menjadi bahasa umum di Yogyakarta.
Pengaruh bahasa Arab dan Islam sangat kentara juga pada
khazanah kebudayaan dan bahasa Sunda. Bahasa Sunda yang pada masa awalnya
dipengaruhi struktur bahasa Sansekerta dari India. Khazanah bahasa Sunda
bertambah setelah masyarakat Sunda menganut agama Islam dan menegakkan
kekuasaannya di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16 Masehi. Beberapa
kosakata bahasa Arab yang masuk dalam perbendaharaan bahasa Sunda seperti
duniya, niyat, selam (Islam), tinja (istinja), masigit, salat, abdi, korsi, dan
sebagainya. Begitu pun dalam tradisi menulis atau huruf (aksara) yang digunakan
dalam menulis oleh masyarakat terdahulu menggunakan aksara Arab pegon.
Kemudian seiring dengan berkembangnya masyarakat dan
perebutan kekuasaan antar kerajaan serta masuknya kolonialisme asing, penggunaan
aksara dalam menulis dan idom-idiom berubah atau menyesuaikan dengan keadaan
zaman.
Nah, berbagai istilah yang disebutkan di atas, termasuk Abah Ambu dapat disebut bentuk pengayaan bahasa. Karena itu, tidak mengapa jika masyarakat Indonesia memilih istilah Abah Ambu atau Ummi-Abi karena itu menambah khazanah bahasa Indonesia. *** (ahmad sahidin, alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung).