Sabtu, 08 April 2023

Serpihan buku The Road to Muhammad (saw)

Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh

Assalamu’alaikum ya Ahlulbayt Rasulillah

Assalamu’alaina wa ala ibadillahisshalihin 

Tadi subuh saya membuka buku “The Road to Muhammad (saw)” karya Ustadz Jalaluddin Rakhmat. Buku ini diterbitkan Mizan pada 2009, menyusul buku sebelumnya: “The Road to Allah”. Meski judulnya ada kesamaan, tetapi isinya berbeda.

 

Buku pertama mengulas aspek historis dan kemuliaan akhlak Rasulullah saw. Sedangkan yang kedua, lebih bisa disebut tahapan dan gambaran atau pencerahan untuk semakin menuju Allah. Kalau yang pertama mengenalkan nubuwwah beserta kemuliaan Muhammad saw; sedangkan yang kedua berkaitan dengan tauhid dalam makna yang lebih luas lagi karena di dalamnya dikupas pula tentang tasawuf dan tahapan perjalanan menuju Tuhan. 

Saya melihat-lihat daftar isinya. Saya lihat dalam setiap bagian menyajikan tulisan yang berkaitan dengan Rasulullah saw; mulai dari akhlak, peran, dan kupasan ayat Quran yang menerangkan sosok Rasulullah saw. Begitu juga penjelasan perihal bitsah hingga wafat Muhammad saw dan sahabat-sahabat yang dekat dan setia kepada Nabi dikupas dengan baik. 

Kemampuan dalam mengkaji khazanah klasik atau buku-buku sejarah yang berbahasa Arab tampak menjadi kekhasan yang tidak dimiliki Ustadz Jalaluddin Rakhmat. Memang kalau dicari-cari ada orang-orang yang bisa membaca buku-buku kalsik, tetapi yang mampu mengkaji dan menyeleksi bahasan sejarah dengan kajian kritis tampaknya masih disandang oleh ulama Bandung yang kini menjadi Ketua Dewan Syura IJABI. 

Sambil melihat-lihat bagian demi bagian, tiba-tiba mata saya berhenti pada subbagian ‘Wasiat Rasululallah saw kepada Imam Ali’ halaman 329-320. Pada halaman ini terdapat riwayat yang jarang ditemukan dalam buku-buku sejarah Nabi Muhammad saw yang sudah saya baca. 

Ustadz Jalal mengutip dari Tafsir Al-Manar, 6:464. Setelah pulang dari Haji Wada kemudian di dekat mata air atau Ghadir Khum, persimpangan jalan menuju Makkah, Madinah, dan daerah lainnya, Sang Nabi memerintahkan rombongan haji yang berjumlah ribuan untuk berhenti. Di tengah siang hari dengan cuaca panas itu seorang sahabat diperintahkan untuk membuat mimbar dari pelana. Setiap pelana kuda dan unta kemudian ditumpukan sampai menjadi mimbar yang cukup tinggi dan terlihat dari orang yang berada di belakang barisan. 

Setelah menunaikan shalat berjamaah, Sang Nabi kemudian menaiki mimbar buatan tersebut. Beliau khutbah dan meminta kesaksian bahwa dirinya telah menyampaikan ajaran Islam kepada umat Islam. Rasulullah saw juga menyatakan, barang siapa yang menjadikan Allah sebagai yang patut disembah dan ditaati maka umat Islam diwajibkan untuk patuh dan menaati Rasulullah saw. Kemudian Sang Nabi memanggil Imam Ali bin Abi Thalib untuk berdiri di sampingnya dan diangkat tangannya sambil berseru, “man kuntu maula, fa hadza Aliyyun maula.”  Dengan kalimat tersebut Sang Nabi menegaskan bahwa Imam Ali merupakan pelanjut kepemimpinan Islam sekaligus pewaris ajaran Rasulullah saw. 

Beberapa waktu setelah peristiwa Ghadir Khum (18 Dzulhijjah 11 H.), Sang Nabi didatangi seorang yang tidak ikut haji dan hadir dalam pengangkatan Imam Ali sebagai washi dan pemimpin umat Islam. Namanya Al-Haris Nukman Al-Fihri. Setelah menambatkan untanya, Al-Fihri berkata kepada Rasulullah saw. 

“Ya Muhammad, kau perintahkan kami shalat lima waktu, kami terima itu. Kau perintahkan zakat, kami pun menerimanya. Tapi, engkau tidak merasa puas dengan itu semua sampai engkau angkat tangan ibn ‘ammik (anak pamanmu) dank au istimewakan dia di atas kami semua. Lalu, engkau berkata, ‘Siapa yang menjadikan Aku pemimpinnya hendaklah mengambil Ali sebagai pemimpinnya.’ Aku mau tanya, apa ini berasal dari engkau sendiri atau dari Allah Azza wa Jalla?” 

Nabi  bersabda, “Demi Zat yang tidak ada Tuhan selain Dia, ini semua dari Allah Azza wa Jalla.” 

“Ya Allah, jika apa yang diomongkan Muhammad itu benar, hujanilah aku dengan batu dari langit dan timpakan kepadaku azab yang berat,” kata Al-Fihri sambil pergi. 

Sebelum Al-Fihri sampai ke tunggangannya, Allah mendatangkan batu dari langit. Batu itu masuk ke dalam ubun-ubunnya dan keluar dari duburnya. Al-Fihri pun mati. 

Dalam sebuah Dialog Sunnah Syiah yang digelar Anteve dengan nara sumber Ustadz Jalal dan Nabhan Husen, riwayat tersebut dibahas pula oleh Ustadz Jalal. Menurut Ustadz Jalal, riwayat tersebut merupakan asbabun nuzul dari surah Al-Maarij (70) ayat 1-3, yang dibenarkan pula oleh Nabhan Husen. 

Kalau benar riwayat tersebut sebagai asbabun nuzul, berarti surah Al-Maidah ayat 3 bukan termasuk wahyu terakhir. 

Dalam buku “Sejarah Al-Quran” karya M.Hadi Ma’rifat (yang diterbitkan Al-Huda, Jakarta) bahwa yang menyebutkan Al-Maidah ayat 3 sebagai wahyu terakhir dari sejarawan Ibnu Wadhih Yaqubi. Namun, sayangnya tidak disebutkan kapan dan di mana turunnya. Hanya disebutkan turun setelah Ghadir Khum. Meski belum diketahui otentitasnya, pendapat Yaqubi ini hingga sekarang diakui sebagai kebenaran umum oleh umat Islam. 

Dalam buku Sejarah Al-Quran, M.Hadi Ma’rifat menyebutkan ada yang berpendapat bahwa wahyu yang terakhir turun adalah surah Al-Baqarah ayat 281 yang bersumber dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa satu bulan setelah turun ayat tersebut, Sang Nabi meninggal dunia. Jika mengacu penanggalan wafatnya Sang Nabi, yang terjadi pada 28 Shafar 11 Hijriah, maka turunnya ayat 281 surah Al-Baqarah adalah Muharram. *** (ahmadsahidin; tulisan lama)