Almarhum Ustadz Jalal (Jalaluddin Rakhmat) dalam pengajian di Masjid
Al-Munawwarah (7 Oktober 2012) menyampaikan pengalamannya saat mengunjungi
sebuah panti asuhan di kota Bandung. Dalam kunjungannya bersama teman, Ustadz Jalal
di tempat itu melihat perawat dan pengasuh yang memperlakukan anak-anak asuh
yatim dan piatu tanpa sentuhan kasih sayang.
Dengan wajah kurang bersahabat, anak-anak yang sedang bermain dengan
ceria segera diteriaki untuk duduk rapi. Seluruh anak pun terdiam dan duduk
rapi. Tidak ada yang bicara atau bisik-bisik. Suasananya tegang mirip upacara
bendera. Kemudian sang pengasuh itu menyuruh anak-anaknya untuk mendengarkan
yang akan disampaikan perawatnya. Selesai menginformasikan tentang kehadiran
Ustadz Jalal kemudian disuruh untuk membaca surah Al-Fathihah. Mereka
membacanya dengan nada yang masih tegang dan tidak terlihat wajah keceriaan
anak.
“Tidak ada wajah ceria pada mata mereka. Saya lihat kesedihan dan
harapan untuk dapat kebahagiaan. Berharap mereka diambil untuk dijadikan
sebagai anak asuh. Saya merasa kasihan pada anak-anak tersebut.Mereka dirawat
tanpa kasih sayang. Hanya sekadar diberi makan dan minum.
Jiwa anak dan dunia
cerianya hilang dari mereka,” ujar Ustadz Jalal berkisah.
Al-Zaitun
Pengalaman yang hampir sama pernah diceritakan Ustadz Miftah (Usmif) putra Ustadz Jalal. Usmif berkisah bahwa Ustadz Jalal suatu hari pernah
menemani Pak Sudarmono, mantan wakil presiden masa orde baru, berkunjung ke Ma’had
Al-Zaitun di Indramayu, Jawa Barat.
Setiba di pesantren, terlihat santri-santri berseliweran. Berbagai
aktivitas dijalani civitas akademika Ma’had Al-Zaitun. Sampai depan aula besar
dikumpulkan seluruh santri. Mereka berkumpul. Terdiam. Tidak ada suara sedikit
pun. Tidak ada suara bisik-bisik dari para santri. Mereka semua mengikuti
perintah dari pengurus pesantren untuk mendengarkan petuah dari pimpinan sekaligus
sambutan dari Pak Sudarmono.
Selesai acara dan dalam perjalanan pulang, Pak Sudarmono bertanya
kepada Ustadz Jalal, “Bagaimana menurut Pak Jalal tentang santri Al-Zaitun?”
“Bagus,” jawab Ustadz Jalal. Pak Sudarmono kembali bertanya, “Kalau Pak
Jalal punya cucu, mau tidak disekolahkan di Al-Zaitun?”
Ustadz Jalal menjawab, “Tidak.”
Menurut Usmif bahwa Ustadz Jalal menjelaskan setiap anak
punya hak untuk menikmati dunianya. Berkaitan dengan keceriaan anak seharusnya
dinikmati saat masih anak-anak. Tidak dihilangkan dengan aturan semi militer
dan peraturan orang-orang dewasa. Dunia anak harus disesusaikan dengan
dunianya. Bahkan, dalam belajar harus ada penyesuaian dengan dunia anak.
Belajar dengan ceria dan menyenangkan lebih efektif dan cepat masuk dalam hati
serta mudah dipahami oleh anak. *** (ahmad sahidin)