Senin, 18 Desember 2023

Filsafat Sejarah versi Dr Ali Syariati

Setiap manusia yang pernah mengalami hidup pasti memiliki sejarah. Dengan sejarah itulah kita mengetahui hal-hal yang pernah dilakukan dan yang sedang serta yang akan dilakukan. Karena itu, mereka yang sadar dan mampu menangkap hikmah dari masa lalu akan semakin mawas diri dan tidak terperosok dalam lubang yang sama. 

Dengan itu kemudian manusia akan mengetahui gerak sejarahnya pada masa depan. Mereka yang sadar akan masa depannya yang akan menjadi pemenang karena akan dapat merancang bagaimana jalannya kehidupan masa depan. Bahkan, Islam sangat menganjurkan manusia untuk memandang ke depan; optimis dan menyipakan masa depan dengan lebih baik. Karena itu, gagasan akhir sejarah bukanlah sebuah ungkapan kosong, tetapi memiliki nilai filosofis dan teologis. Kaum Muslim atau mereka yang beragama pasti percaya tentang adanya akhir dari kehidupan manusia di dunia.

Aliran Filsafat Sejarah

Dalam khazanah filsafat sejarah Islam bahwa pembahasan yang berkaitan dengan masa depan manusia, perubahan zaman, dan gerak sejarah, secara umum terbagi dalam tiga aliran. 

Pertama adalah sirkuler. Orang yang berpandangan ini menganggap apa yang dialami sekarang sama dengan yang dialami terdahulu. Bahkan, kemajuan dunia sekarang berulang dari kemajuan terdahulu. Hampir semua kejadian pada dasarnya sama dengan yang terjadi terdahulu sehingga gerak sejarah tidak mengalami perubahan karena hanya mengulang-ulang yang sudah berlalu. Mungkin bisa dicontohkan pada kehidupan manusia: lahir, hidup, dan mati. Proses ini kemudian diulang lagi oleh manusia lainnya. Tidak berhenti, terus begitu. Entah sampai kapan gerak sejarah yang sirkuler itu berhenti. Ibnu Khaldun mungkin termasuk penganut ini karena menyatakan kejayaan sejarah itu berulang; turun kemudian naik. Ketika sudah mencapai puncaknya akan turun. Kemudian tumbuh dan memuncak serta turun lagi. Perulangan sejarah inilah bagi sebagian kalangan sejarawan dinilai bahwa sejarah tidak memiliki orientasi ke depan.   

Kedua adalah linier. Pendapat ini dianut oleh Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa sejarah yang terjadi hari ini akan memengaruhi masa depan. Menurut Azra bahwa pandangan ini berasal dari ajaran Islam bahwa sejarah bersifat progresif ke depan dan erat kaitannya dengan waktu. Sejarah atau peristiwa yang berlaku pada masa lalu tidak akan pernah terjadi lagi pada masa sekarang. Berbeda dengan agama lain, mungkin teori yang berlaku adalah teori sejarah sirkuler atau melingkar. Sekalipun ada kemiripan, tetap saja berbeda. Memang dahulu Islam pernah berjaya di Baghdad atau Cordoba. Ketika kejayaan itu hendak dicapai lagi, tetap saja tidak sama karena kejayaan masa lalu sesuai dengan konteksnya. Karena itu, membaca bagian dan aktor sejarah tidak bisa dilakukan secara literal. Kita tidak dapat meniru persis sama dengan yang telah mereka raih karena lingkungan, situasi, masyarakat, dan kondisi sosial sudah berubah. Sedangkan yang tidak berubah adalah prinsip-prinsip pokok atau nilai-nilai yang menjadi anutan. 

Ketiga adalah gabungan dari keduanya; sirkuler-linier. Pandangan ini—menurut saya—dicetuskan oleh Dr Ali Syariati (1933-1977), seorang cendekiawan yang juga ideolog revolusi Islam Iran. 

Ketika saya melakukan penelitian untuk skripsi (S-1) jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, pada beberapa buku Ali Syariati, saya menemukan konsep sejarah versi Ali Syariati yang berbeda dengan para ilmuwan sejarah atau filsuf sejarah lainnya. Syariati berupaya menyatukan khazanah filsafat sejarah Barat (Hegel dan Marx) dengan khazanah Islam, khususnya teologi Syi’ah dan tafsir Al-Quran. Pembahasan kesejarahan yang memadukan dua khazanah tersebut—apabila dilihat dalam Kamus Filsafat karya Bagus Loren—dapat disebut dengan istilah teologi sejarah. Dengan meminjam istilah itu saya memberi istilah pada pemikiran kesejarahan Ali Syariati dengan istilah teologi sejarah Islam. Tentu ini bukan istilah yang mutlak, sekadar memberi label agar memudahkan dalam memahami pemikiran kesejarahan versi Ali Syariati. 

Pembahasan kesejarahan versi Syariati adalah berkaitan tentang perubahan, gerak, dan sejarah masa depan. Menurut Syariati, perubahan sejarah terjadi karena adanya dialektika dua kutub; yang disimbolkan dengan kekuatan Habil dan Qabil sebagai konflik awal peradaban manusia. Setiap masa atau lingkungan kehidupan masyarakat, bahkan bangsa dan negara, di dalamnya terjadi pertentangan antara kutub benar dan kutub salah. Keduanya berebut pengaruh di masyarakat dan berupaya menjadi pihak yang dominan. Keberadaan kutub yang dominan—baik itu yang benar atau dapat pula yang salah—senantiasa berada dalam kondisi tidak nyaman karena akan selalu muncul masyarakat atau orang-orang yang berupaya menjatuhkan atau mengganti posisi dominan. Mereka yang bergerak di bawah ini disebut devian. 

Menurut Syariati, dialektika ini tidak hanya terjadi pada konteks kekuasaan, tetapi juga pada pemahaman keagamaan, ideologi, pemikiran, ilmu pengetahuan, atau yang menjadi paham kebenaran. Kalau dilihat dari sejarah Barat dan Islam banyak menunjukkan terjadinya dialektika demikian. Pada abad pertengahan di Barat yang mendominasi dan berkuasa atau menjadi paham kebenaran adalah kaum agamawan. Posisi mereka sedikit demi sedikit digoyang oleh kaum ilmuwan hingga kemudian lahir masa pencerahan (aufklarung) dan menjadi paham kebenaran yang dominan. Dalam sejarah politik Islam tercatat kekuasaan Dinasti Umayyah hancur karena sejumlah gerakan-gerakan politik dan keagamaan yang menentang. Penentang itu kemudian menampakkan dalam kekuasaan baru menggantikan penguasa yang lama. Penguasa yang baru itu bernama Dinasti Abbasiyah. Kalau konteks ilmu pengetahuan sekarang, dominasi modernisme diruntuhkan posmodernisme. Mazhab Islam tradisional mulai digeser dengan Islam post-tradisional; atau paham salafiyah dikritisi paham tajdiyah; dan Islam fundamental diserang Islam Liberal. Dialektika dua kutub inilah yang menjadikan sejarah terus-menerus berkembang secara dinamis dan memiliki kekhasan setiap zamannya. 

Selain karena dialektika, Syariati juga mengungkapkan bahwa perubahan sejarah terjadi secara alamiah dan kehendak untuk berubah dalam bentuk hijrah (migrasi) dari satu tempat ke tempat lainnya. Syariati mencontohkan Nabi Muhammad saw yang berhijrah ke Madinah dan beberapa kejayaan penguasa Islam yang membangun peradaban di daerah rantauan. Karena itu, Syariati yakin bahwa hijrah menjadi dasar atau faktor lahirnya perubahan-perubahan dan perkembangan peradaban manusia. Karena itu, dilektika dua kutub dan hijrah oleh Syariati dianggap sebagai faktor-faktor yang menjadi penentu terjadinya perubahan-perubahan dalam sejarah. Perubahan-perubahan sejarah yang terjadi atau dilakukan masyarakat sebenarnya sedang menciptakan sejarah masa depan. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia yang selalu mendamba bahwa hari esok harus lebih baik; sejarah masa depan. 

Dalam upaya menyongsong masa depan atau memprediksi masa akhir sejarah, Syariati memunculkan semacam metode analisis yang disebut dengan istilah “segitiga kerucut” atau “piramida”. Metode ini memandang gerak sejarah berifat lurus sampai akhir sejarah atau sejarah masa depan. Namun, dalam perjalanan menuju masa depan ini diiringi perubahan-perubahan terjadi karena dialektika dua kutub dan hijrah (agar hidup lebih baik). Kemudian proses dinamika sejarah ini akan berakhir pada akhir zaman yang ditandai munculnya Imam Mahdi Al-Muntazhar. Karena itu, Syariati bersikap optimis bahwa dalam upaya menanti kehadiran Imam Mahdi, umat manusia harus menyiapkan tatanan masa depan yang lebih baik. 

Masa Depan

Dengan gagasan sejarah masa depan, Syariati yakin bahwa akhir sejarah akan dipegang Imam Mahdi selaku pemenang dari dialektika sejarah; antara kutub Habil versus Qabil kemudian Imam Mahdi versus Dajjal. Sudah pasti kemenangan Imam Mahdi ini menjadi standar kebenaran terakhir di dunia. Selanjutnya, terbentuklah tatanan dunia baru menjadi pemegang kuasa dunia hingga tiba masa yang ditunggu-tunggu; Kiamat.  

Meskipun yang mencetuskannya seorang Muslim Syiah, tetapi pemikiran Ali Syariati ini berguna untuk membaca atau meneropong masa depan sejarah umat Islam, baik Sunni maupun Syiah. Tentu dengan menggunakan model riset dari Syariati tersebut. Ada yang berani coba?

Terakhir, saya yakin bahwa kaum Muslim sudah dapat melihat segala persoalan dengan penuh kearifan sehingga paradigma sektarian dan dogmatisme agama bukan perkara penting untuk dipersoalkan kembali (karena tantangan global menjadi priorotas utama umat Islam sekarang). Sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw bahwa hikmah bisa datang dari siapa pun dan bersifat lintas zaman. Karena itu, bukan ideologi dan mazhab yang perlu dipertentangkan, tetapi justru harus dilihat seberapa besar kontribusinya bagi umat manusia dan masa depan Islam. *** (Ahmad Sahidin)