Minggu, 17 Desember 2023

Imam Hasan, Teladan Perdamaian

SETELAH Perang Shiffin, sang khalifah yang memegang kekuasaan Daulah Umayyah punya kebiasaan menyampaikan tausiyah singkat atau kultum tiap menjelang shalat dzuhur di masjid umum. Selain menyampaikan doktrin-doktrin Islam, juga digunakan sebagai alat untuk mencaci-maki dan menghina atau menghujat keluarga Nabi Muhammad saw. Sudah bukan lagi rahasia jika keluarga Imam Ali bin Abu Thalib dianggap sebagai penentang.

Setelah wafat Imam Ali, masyarakat Islam meyakini Imam Hasan putra Imam Ali sebagai khalifah rasyidin yang keempat. Namun karena desakan situasi politik yang tidak memihak dan teror terus menimpa umat Islam dari penguasa Daulah Umayyah, khususnya Muawiyah bin Abu Sufyan maka Imam Hasan berdamai kemudian menyerahkan pemerintahannya kepada Muawiyah.

Selama memerintah, penguasa Daulah Umayyah tidak berhenti menyakiti keluarga Imam Ali beserta pengikutnya. Dapat dipahami tindakan tersebut untuk menghambat jalur-jalur pemberontakan terhadap Daulah Umayyah. Karena itu, setiap kali ada yang tidak sepakat atau dianggap berpotensi merongrong kekuasaan maka dengan segera diamankan sampai berakhir dengan kematian.

Selain dari itu, yang biasanya dilakukan adalah menyampaikan hal-hal yang kurang terhadap orang-orang yang dianggap dapat merongrong kekuasaan. Dalam ini termasuk kepada Imam Hasan putra Imam Ali dalam majelis di masjid-masjid. Meski dikecam, tetapi Imam Hasan tidak marah atau balik menghujat malah mendengarkan sambil menunggu waktu shalat berjamaah.

Setelah selesai kultum dan dikumandangkan iqamat; khalifah yang memberi kultum itu menjadi imam shalat. Makmumnya adalah para tentara DaulahUmayyah dan masyarakat, termasuk Imam Hasan. Kultum itu tiap hari dilakukan oleh penguasa Umayyah dan tiap hari juga Imam Hasan menyimaknya.

Suatu hari Imam Hasan terlambat datang. Sang penguasa yang memberi kultum clengak-clenguk ke barisan belakang jamaah shalat dzuhur. Kultum pun terus berlangsung. Lebih dari tujuh menit, penguasa itu menyampaikan tausiyah. Sambil menyampaikan petuah-petuah politisnya, penguasa itu tak sadar mengeluarkan kata-kata, “ke mana putra Ali, belum datang juga. Apa sudah pindah masjid karena saya caci maki dan jelek-jelekkan terus”.

Kata-kata itu tedengar oleh jamaah. Jamaah saling berpandangan. Sebagian ada yang tampak geram sambil memanggut-manggutkan kepalanya. Lebih dari satu jam, muncullah cucu terkasih Rasulullah saw itu dari arah belakang. Saat terlihat datang, salah seorang prajurit langsung bilang pada khalifah, “Tuan, orang yang ditunggu sudah hadir”.

“Oh,” kata khalifah dengan wajah ceria. Khalifah pun menyampaikan cacian dan makian serta hujatannya pada keluarga Rasulullah saw tersebut. Setelah itu dikumandangkan iqamah dan melaksanakan shalat dzuhur berjamaah, termasuk yang dicaci pun turut serta menjadi makmum.

Namun, kesabaran Imam Hasan tidak berbalas kebaikan atau kesadaran. Kian hari malah tambah bengis. Terutama pada mereka yang dekat dengan keturunan Rasulullah saw. Mereka yang dekat dengan Imam Hasan diancam dan yang membandel disiksa dan dipenjarakan. Banyak yang telah menjadi korban. Namun penguasa tampaknya tidak merasa cukup puas dengan tindakan keji dan zalim yang ditimpakan pada keturunan Rasulullah dan pengikutnya. Setelah dipisahkan dari umat dan dikecam, Imam Hasan pun dibunuh dengan cara diracun.

Sungguh mulia akhlak yang dimiliki Imam Hasan bin Abu Thalib ini. Meski dicaci dan dimaki dihadapan publik, tetap saja masih ikut serta dalam barisan shalat jamaah. Bahkan, saat dibunuh dengan racun pun tiada sepatah pun kata kecaman terlontar pada musuhnya. Sebuah pelajaran akhlak yang luhur yang tidak dimiliki oleh kaum Muslim setelahnya.

Sosok Imam Hasan bin Abu Thalib bisa dikatakan sebagai tokoh penganjur persatuan dan kesatuan umat Islam. Cacian dan makian, bagi seorang Muslim yang kaffah dan pecinta perdamaian, tidak membuatnya ikut-ikutan mencaci kembali atau membalasnya. Tapi justru dengan membiarkannya, telah menjadi bukti bahwa kita tak perlu mengikuti atau meniru perbuatan jelek itu.

Demi mempertahankan keberadaan Islam dan agar umat Islam tidak berpecah serta tidak ditindas, Imam Hasan merelakan dirinya untuk diperlakukan tidak horrmat dihadapan publik. Inilah sebuah nilai keislaman yang sangat langka dan perlu penafsiran yang mendalam. Sebab sikap dan tindakan cucu Rasulullah saw ini sudah masuk wilayah amalan batin: sabar.

Cacian dan makian bagi Imam Hasan bin Abu Thalib merupakan bagian dari riyadhah untuk meningkatkan kualitas iman sekaligus sebuah upaya tazkiyatun nafs. Sikap Imam Hasan ini dikemudian hari menjadi salah satu bentuk praktik kaum sufi; yang dikenal dengan istilah malamatiyah. Istilah ini diambil dari kata ‘malamah’, yang secara bahasa berarti ‘celaan’. Kaum malamatiyah adalah orang-orang yang dengan sengaja menjalani kehidupan hina dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritualnya. Pendiri ajaran ini adalah Hamdun al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, yang berasal dari Naisyapur di Khurasan. Pengikutnya meyakini bahwa al-Qashshar secara batiniah hidup dalam kebersatuan dengan Allah; dan secara lahiriah bertindak seolah-olah terpisah dari Tuhan.

Praktik malamatiyah merupakan sebuah tradisi untuk menurunkan derajat kita agar diri ini tidak menjadi sombong; karena yang berhak untuk sombong dan mengaku mulia dan besar hanyalah Allah. Sebuah kisah mengenai praktik sufi ini diceritakan bahwa seorang sufi yang duduk di masjid merasa gembira ketika ia diseret oleh petugas masjid. Atau berterimakasih ketika diberi makan bersama anjing. Memang sebuah irasionalitas: keimanan yang di luar kategori orang-orang biasa.

Di negeri kita ini ada yang berpendapat bahwa tiga orang anggota Jamaah Islamiyah yang dieksekusi mati sebagai orang yang termasuk mempraktikan malamatiyah: rela dikorbankan demi sebuah tujuan yang diyakininya mulia. Sebuah kesalahankah? Saya tidak tahu perihal itu: hanya saja perbuatan itu belum saya temukan rujukannya. Karena sepengetahuan saya makna ‘jihad’ tidaklah demikian: lebih luas, konstruktif, dan tidak merugikan orang lain. Tindakan eksekusi mati tersebut bagi saya sangat bertentangan dengan prinsip fitrah dan hak asasi manusia. Peristiwanya mengingatkan saya pada kasus eksekusi mati Saddam Hussein. Kematiannya karena dikehendaki sang adikuasa dunia.

Saya yakin bahwa semua kejadian “musibah” di negeri ini tak ada yang mengetahui dibalik semua itu. Lagi-lagi terorisme menjadi alasannya. Jika benar ada terorisme, itu saya kira muncul karena adanya ketidakadilan dan kekecewaan yang diekspresikan dalam semangat ‘jihad’ yang sempit. Namun, peristiwanya sudah terjadi dan nasi sudah jadi bubur.  *** (ahmad sahidin)