Senin, 31 Oktober 2022

Wajah kaum Muslim Indonesia era Kontemporer

Di  Indonesia, “wajah” kaum Muslim era kontemporer setidaknya terbagi dalam tiga model: Islam Fundamental, Islam Liberal, dan Islam Non-Sekterian. 

Model pertama diidentikan dengan kelompok Muslim yang berorientasi ke masa lalu. Isu-isu yang dihembuskan adalah penerapan syariat Islam dan menjadikan negara Islam atau pembebasan umat Islam dari tahayul, khurafat, dan bid`ah. Gerakannya pun biasanya meresahkan masyarakat, bahkan tak jarang dianggap terlibat dalam jaringan teroris dunia. Biasanya mereka ini dikenal saleh, rajin menjalankan ibadah mahdhah, dan ketat dalam aturan-aturan hidup serta senantiasa merujuk pada sumber Islam (al-Quran dan hadits). 

Model kedua (Islam Liberal) dicirikan dengan cendekiawan Muslim yang berorientasi ke masa depan dan berani melakukan penafsiran secara kontekstual dengan tetap mengacu pada sumber-sumber Islam. Kelompok Muslim ini sudah tidak segan lagi mengutip pendapat-pendapat dari para pemikir dan ilmuwan Barat dalam melakukan penafsirannya. Mereka lebih banyak menggunakan daya nalar (rasional) dalam berwacana, tidak menampakkan dalam ibadah, lebih dekat dan bahkan bekerjasama dengan non-Islam ketimbang dengan umat Islam. Wacana dan pemikiran yang diusungnya pun tidak jauh dari masalah perbedaan agama, hubungan lintas agama dan budaya, dan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Quran yang berbeda dan kontroversial.

Islam Liberal dan Islam Fundamental seringkali terjadi konflik dalam wacana keagamaan, politik dan sosial hingga saling hujat dan masing-masing mengaku yang paling benar. Meskipun secara umum Islam terbentuk dalam dua model di atas, tapi jika kita jeli melihat perilaku keagamaan yang ada di masyarakat Muslim Indonesia, terdapat gerakan Islam yang bersifat tersendiri. Mereka tidak mempersoalkan tentang aliran maupun harakah (gerakan) Islam yang ada. Mereka taat dalam ibadah mahdhah dan berorientasi ke akhirat, senang melakukan ritual massal dan doa bersama, serta gemar menghadiri majelis-majelis ilmu yang materinya tidak jauh dari motivasi ibadah dan peningkatan kualitas hidup. Kalangan Muslim seperti ini dapat disebut sebagai model Islam Non-Sekterian. Inilah model Islam ketiga yang ada dalam masyarakat Indonesia kiwari.

Islam apakah ini? Aliran barukah? Bukan! Mereka bukan aliran baru Islam. Itu hanya istilah untuk kaum Muslim yang tidak memiliki kecenderungan dan bukan termasuk fundamental atau liberal. Mereka ini merupakan “Islam massa” yang tidak terorganisir dalam wadah yang resmi dan memiliki orientasi tersendiri dalam menjalankan keislamannya. Mana yang benar dari tiga model Islam kontemporer tersebut? Jawabannya: wallahu a`lam bi ash-shawab. 

Saya sebagai Muslim awam tidak berani menilai ketiganya salah atau benar. Saya yakin di antara ketiganya terdapat kebenaran dan tidak menutup kemungkinan banyak salahnya. Saya melihat ketiganya tidak bisa menghindar dari aksi saling menghujat dengan gelaran dan sebutan-sebutan negatif yang berpotensi merubuhkan bangunan ukhuwah Islamiyah. 

Sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari adanya konflik antar (firqah) Islam di atas sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya pemegang ‘otoritas agama’ yang sah dan diakui secara menyeluruh oleh umat Islam. Juga tidak menyeluruhnya mereka dalam mengkaji dan memahami sumber Islam, terutama pada aspek sejarah, konteks zaman, faktor dan kondisi sosial yang dihadapi saat turunnya risalah Ilahi. 

Fenomena ini bisa dikurangi dengan senantiasa menggali khazanah Islam dan melakukan dialog antar firqah (mazhab). Tentu argumen yang digunakannya adalah dalil-dalil yang benar dan dialognya pun harus ilmiah serta berasal dari sumber asli dan tahan uji saat dikritik. Setidaknya dari upaya itu akan tampak kebenaran dan kebatilan yang terdapat dalam firqah atau mazhab, termasuk organisasi keagamaan yang berkembang di masyarakat. Kebenaran yang dihasilkan itulah yang bisa mendapat sandaran umat Islam dalam merujuk sementara, meskipun nantinya terus mengalami perubahan karena berhadapan konteks ruang dan waktu serta yang  zaman berbeda.       

Umat Islam harus mulai sadar dengan agenda-agenda “musuh Islam” dalam upaya memecahkan ukhuwah Islamiyah dan menjadikan umat Islam berada di bawah kendalinya. Melek politik dan ekonomi global sangat penting untuk dijadikan sebagai agenda program pencerdasan dan pencerahan umat Islam kontemporer. Jika tidak paham dengan fenomena global dan masalah yang terjadi maka umat Islam tidak akan menyadari jika dirinya sedang terancam. Karena itu, umat Islam harus melek terhadap persoalan global dan memahami wacana keislaman kontemporer serta khazanah ilmu-ilmu Islam tradisional. 

Dengan menguasai khazanah ilmu-ilmu Islam klasik dan modern akan terbuka pola pikir dan paradigma sehingga umat Islam tidak resah atau risih mendapati sahabat dan saudaranya itu berbeda mazhab, partai, atau fikih yang diyakininya. Karena itu, sudah saatnya kaum Muslim belajar untuk memahami berbagai tradisi atau ajaran mazhab yang dianut Muslim lainya. Begitu pun sebaliknya. Hanya dengan kegiatan saling mempelajari dan memahami perbedaan masing-masing, perpecahan (konflik) dalam Islam bisa reda dan umat Islam akan lebih siap menghadapi tantangan dan tuntutan dunia global yang lebih besar efeknya bagi kehidupan manusia. Umat Islam sebaiknya tidak hanya fokus dalam urusan internal Islam, tapi juga harus mencoba merajut ukhuwah insaniyah dengan masyarakat agama lainnya dengan melakukan dialog antaragama dan kegiatan sosial kemanusiaan. 

Mari saling menghargai perbedaan dan bersatu menjunjung nilai-nilai untuk kejayaan Islam. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Ali Imran ayat 103, ”Berpegang teguhlah kalian (dalam jama`ah) kepada tali Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” *** (ahmad sahidin)