Sabtu, 29 Januari 2022

Majelis Tasawuf

SAYA masih ingat ketika kecil mengaji di masjid yang berdekatan dengan rumah. Meski saya masih duduk di sekolah dasar, tetapi Ajengan yang berasal dari Garut, Jawa Barat, yang mengisi pengajian di masjid itu tidak melarang saya mengikuti pengajian kitab Minhajul Abidin karya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali.

Belakangan saat kuliah, saya menjadi tahu kalau yang diajarkannya itu tasawuf. Begitu juga saat nyantri di Pesantren Daarut Tauhiid Bandung, Aa Gym sering mengulas kitab Al-Hikam karya Imam Atha`illah dalam forum Kamis sore setiap pekannya. 

Dalam khazanah tasawuf, Al-Hikam ini termasuk kitab tasawuf amaliyah. Forum kamis tersebut dihadiri jamaah dari berbagai latar belakang profesi dan beragam usia. Dan kini kajian tasawuf yang berkaitan dengan amaliyah atau yang bersifat praktis banyak disajikan dalam majelis ilmu. Misalnya di Pesantren Al-Quran Babussalam Bandung, ada majelis yang dipandu langsung oleh KH Muchtar Adam. Dari kajian yang saya ikuti di Babussalam, tasawuf yang bersifat prakis atau yang berkaitan dengan tingkah laku yang baik atau tazkiyatun nafs, bertujuan untuk membuat seseorang menjadi saleh secara individu dan sosial.

Kini khazanah tasawuf mudah dibaca. Buku-buku tentang tasawuf sudah beredar secara luas dan dikemas dengan bagus dan menarik. Misalnya "Buku Saku Tasawuf" karya Haidar Bagir, "Introduction to sufism" karya William Chitick, "Sufi dari Zaman ke Zaman" karya Abu Al-Wafa Al-Ghanimi Taftazani, dan buku-buku Jalaluddin Rakhmat pun banyak mengulas perihal sufistik.

Memang tentang asal usul tasawuf masih diperdebatkan. Sebagian ulama, khususnya Salafiyah dan Wahabiyah berpendapat: tasawuf bukan dari ajaran Islam karena kata tasawuf tidak tercantum dalam al-Quran dan Sunnah. Namun, bagi para ulama terdahulu yang cerdas dan saleh, termasuk ilmuwan William Chittick, bahwa nilai-nilai tasawuf sudah terwujud dalam keseharian Rasulullah saw dan menantunya, Ali bin Abu Thalib karamallahu wajhah.

Hanya saja istilah tasawuf baru berkembang saat Dinasti Umayyah dan Abbabsiyah muncul. Setidaknya bisa dilihat dari sejarah, saat terjadinya konflik berdarah antara kubu Islam vs "musuh Islam" masa kepemimpinan Ali bin Abu Thalib, ada segelintir sahabat nabi yang memilih diam ketimbang ikut bertikai. Mereka kemudian uzlah dan memokuskan ibadah tanpa masuk dalam dua kubu yang bertikai itulah yang dikatakan sebagai perintis awal tradisi sufi (tasawuf). Mereka adalah Abdullah bin Umar dan Saad bin Abi Waqqash. Keduanya tidak memilih masuk dalam konflik berdarah, malah berkonsentrasi dengan melakukan uzlah. Mungkin dua orang ini bisa dikatakan perintis tradisi uzlah dalam sejarah tasawuf Islam.

Saya sendiri belum memahami mengapa keduanya memilih sikap tidak memihak? Apakah karena yang berkonflik itu sama-sama Muslim? Bukahkah kualitas ke-Muslim-an itu berbeda-beda? Bukankah pada setiap Muslim juga terdapat kesalahan? Karena saya belum mengetahui jawabannya, saya abaikan saja untuk sekarang ini (semoga saja ada yang sudi memberitahu saya).  Saya yakin bukan hanya Abdullah dan Saad saja, tetapi juga ada masyarakat lainnya yang termasuk dalam kelompok tersebut.

Sejarah mencatat bahwa masa Khulafa Ar-Rasyidun dan setelahnya memang tampak yang benar dan yang salah (haqq wa bathil). Siapa yang kembali ke tradisi jahiliah dan siapa yang tetap memegang Islam. Mereka yang memegang Islam diperdaya, dihina, dan disiksa. Saking ketakukan atas tindakan zalimnya, sebagian umat Islam memilih menurut ketimbang menentangnya. 

Ada juga yang memilih untuk memencilkan diri dengan memokuskan diri pada keilmuan dan ibadah. Jika ketahuan ada yang menolak atau menyampaikan sesuatu yang tidak disenangi penguasa, biasanya berakhir ditiang gantungan dan penjara. Sebaliknya, mereka yang menyampaikan sesuai dengan selera penguasa mendapatkan hadiah dan diangkat menjadi pejabat negara. Sungguh, masa yang memilukan sejarah. Masa yang tidak boleh terulangi lagi.

Oh, iya. Bagi sebagian kaum Muslim, tasawuf dianggap bid`ah. Bahkan, para sufi dicap orang yang anti-sosial karena hanya terfokus dalam ibadah. Wajar jika kemudian muncul anggapan bahwa kaum sufi adalah mereka yang sudah tidak tertarik lagi dengan urusan dunia karena energinya sudah diarahkan semata-semata untuk akhirat, khususnya Allah. Mereka rela pergi meninggalkan keluarga dan tanggungan keluarganya hanya karena memedulikan ibadah. Ibadah dan ibadah, biasanya yang terbetik dalam hati dan pikirannya. Urusan dunia dan pernak-perniknya, bukan hal yang utama sehingga boleh ditinggalkan. Benarkah demikian?

Jika melihat perilaku para sufi sangatlah jauh dari hal tersebut. Imam Ali Zainal Abidin putra Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam kehidupannnya tidak lepas dari beraktivitas dalam urusan perkebunan dan niaga. Begitu pula Imam Ja`far Ash-Shadiq tidak meninggalkan aktivitas mengajar dan mengelola sebuah perniagaan. Sarri As-Saqati  dikenal sebagai pedagang dan Abu Mansur Al-Hallaj berprofesi sebagai pemintal benang dan pembuat baju. Rabiah Al-Adawiyah bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Begitu juga para sufi lainnya.

Memang tidak dipungkiri bahwa dalam salah satu momen atau hari tertentu seorang sufi memiliki waktu khusus untuk bermunajat atau memokuskan ibadah kepada Allah. Waktu khusus inilah yang kadang digeneralisir oleh mereka yang berpikiran dangkal sehingga yang dimunculkan hal-hal yang melulu ibadah. Bahkan, dibuat-buat seakan bertolak belakang dengan ajaran Islam. Misalnya, Ibnu Arabi yang memiliki pemikiran wihdatul wujud dianggap menyebarluaskan ajaran sesat dan tidak bertauhid.

Jika dikaji secara mendalam, justru pemikiran Ibnu Arabi tersebut merupakan bentuk tafsiran atas wujud Allah yang kekuasaannya melingkupi semua alam dan makhluk. Wujud Allah merupakan satu-satunya wujud yang hakiki karena semua wujud yang terdapat pada alam semesta ini berasal dari-Nya. Jadi, pada hakikatnya semua wujud itu satu: Allah. Kemudian ada juga Syaikh Siti Jenar dari Jawa yang dianggap sesat karena meyakini kesatuan makhluk dengan Khaliq (Manunggaling Kawula Gusti). Dan banyak lagi unsur dalam tasawuf yang menarik dikaji kemudian direnungkan oleh kita.

Insya Allah setiap kali belajar maka berkah ilmu akan melimpahi jiwa dan akal kita. Mari kita belajar khazanah ilmu-ilmu Islam, di antaranya memahami ilmu tasawuf dan menikmati riyadhah (praktek amaliyah) kaum sufi seperti dzikir dan shalawat. *** (Ahmad Sahidin)