SAYA masih ingat ketika kecil mengaji di masjid yang berdekatan dengan rumah. Meski saya masih duduk di sekolah dasar, tetapi Ajengan yang berasal dari Garut, Jawa Barat, yang mengisi pengajian di masjid itu tidak melarang saya mengikuti pengajian kitab Minhajul Abidin karya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali.
Belakangan saat kuliah, saya menjadi tahu kalau yang diajarkannya itu tasawuf. Begitu juga saat nyantri di Pesantren Daarut Tauhiid Bandung, Aa Gym sering mengulas kitab Al-Hikam karya Imam Atha`illah dalam forum Kamis sore setiap pekannya.
Dalam khazanah
tasawuf, Al-Hikam ini termasuk kitab tasawuf amaliyah. Forum kamis
tersebut dihadiri jamaah dari berbagai latar belakang profesi dan beragam usia.
Dan kini kajian tasawuf yang berkaitan dengan amaliyah atau yang bersifat
praktis banyak disajikan dalam majelis ilmu. Misalnya di Pesantren Al-Quran
Babussalam Bandung, ada majelis yang dipandu langsung oleh KH Muchtar Adam.
Dari kajian yang saya ikuti di Babussalam, tasawuf yang bersifat prakis atau
yang berkaitan dengan tingkah laku yang baik atau tazkiyatun nafs, bertujuan
untuk membuat seseorang menjadi saleh secara individu dan sosial.
Kini khazanah tasawuf
mudah dibaca. Buku-buku tentang tasawuf sudah beredar secara luas dan dikemas
dengan bagus dan menarik. Misalnya "Buku Saku Tasawuf" karya Haidar
Bagir, "Introduction to sufism" karya William Chitick, "Sufi
dari Zaman ke Zaman" karya Abu Al-Wafa Al-Ghanimi Taftazani, dan buku-buku
Jalaluddin Rakhmat pun banyak mengulas perihal sufistik.
Memang tentang asal usul
tasawuf masih diperdebatkan. Sebagian ulama, khususnya Salafiyah dan Wahabiyah
berpendapat: tasawuf bukan dari ajaran Islam karena kata tasawuf tidak
tercantum dalam al-Quran dan Sunnah. Namun, bagi para ulama terdahulu yang
cerdas dan saleh, termasuk ilmuwan William Chittick, bahwa nilai-nilai tasawuf
sudah terwujud dalam keseharian Rasulullah saw dan menantunya, Ali bin Abu
Thalib karamallahu wajhah.
Hanya saja istilah
tasawuf baru berkembang saat Dinasti Umayyah dan Abbabsiyah muncul. Setidaknya
bisa dilihat dari sejarah, saat terjadinya konflik berdarah antara kubu Islam
vs "musuh Islam" masa kepemimpinan Ali bin Abu Thalib, ada segelintir
sahabat nabi yang memilih diam ketimbang ikut bertikai. Mereka kemudian uzlah
dan memokuskan ibadah tanpa masuk dalam dua kubu yang bertikai itulah yang
dikatakan sebagai perintis awal tradisi sufi (tasawuf). Mereka adalah Abdullah
bin Umar dan Saad bin Abi Waqqash. Keduanya tidak memilih masuk dalam konflik
berdarah, malah berkonsentrasi dengan melakukan uzlah. Mungkin dua orang ini
bisa dikatakan perintis tradisi uzlah dalam sejarah tasawuf Islam.
Saya sendiri belum
memahami mengapa keduanya memilih sikap tidak memihak? Apakah karena yang
berkonflik itu sama-sama Muslim? Bukahkah kualitas ke-Muslim-an itu
berbeda-beda? Bukankah pada setiap Muslim juga terdapat kesalahan? Karena saya
belum mengetahui jawabannya, saya abaikan saja untuk sekarang ini (semoga saja
ada yang sudi memberitahu saya). Saya yakin bukan hanya Abdullah dan Saad
saja, tetapi juga ada masyarakat lainnya yang termasuk dalam kelompok tersebut.
Sejarah mencatat bahwa
masa Khulafa Ar-Rasyidun dan setelahnya memang tampak yang benar dan yang salah
(haqq wa bathil). Siapa yang kembali ke tradisi jahiliah dan siapa yang tetap
memegang Islam. Mereka yang memegang Islam diperdaya, dihina, dan disiksa.
Saking ketakukan atas tindakan zalimnya, sebagian umat Islam memilih menurut
ketimbang menentangnya.
Ada juga yang memilih
untuk memencilkan diri dengan memokuskan diri pada keilmuan dan ibadah. Jika
ketahuan ada yang menolak atau menyampaikan sesuatu yang tidak disenangi
penguasa, biasanya berakhir ditiang gantungan dan penjara. Sebaliknya, mereka
yang menyampaikan sesuai dengan selera penguasa mendapatkan hadiah dan diangkat
menjadi pejabat negara. Sungguh, masa yang memilukan sejarah. Masa yang tidak
boleh terulangi lagi.
Oh, iya. Bagi sebagian
kaum Muslim, tasawuf dianggap bid`ah. Bahkan, para sufi dicap orang yang
anti-sosial karena hanya terfokus dalam ibadah. Wajar jika kemudian muncul
anggapan bahwa kaum sufi adalah mereka yang sudah tidak tertarik lagi dengan
urusan dunia karena energinya sudah diarahkan semata-semata untuk akhirat,
khususnya Allah. Mereka rela pergi meninggalkan keluarga dan tanggungan
keluarganya hanya karena memedulikan ibadah. Ibadah dan ibadah, biasanya yang
terbetik dalam hati dan pikirannya. Urusan dunia dan pernak-perniknya, bukan
hal yang utama sehingga boleh ditinggalkan. Benarkah demikian?
Jika melihat perilaku
para sufi sangatlah jauh dari hal tersebut. Imam Ali Zainal Abidin putra Imam
Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam kehidupannnya tidak lepas dari beraktivitas
dalam urusan perkebunan dan niaga. Begitu pula Imam Ja`far Ash-Shadiq tidak
meninggalkan aktivitas mengajar dan mengelola sebuah perniagaan. Sarri
As-Saqati dikenal sebagai pedagang dan Abu Mansur Al-Hallaj berprofesi
sebagai pemintal benang dan pembuat baju. Rabiah Al-Adawiyah bekerja sebagai
pembantu rumah tangga. Begitu juga para sufi lainnya.
Memang tidak dipungkiri
bahwa dalam salah satu momen atau hari tertentu seorang sufi memiliki waktu
khusus untuk bermunajat atau memokuskan ibadah kepada Allah. Waktu khusus
inilah yang kadang digeneralisir oleh mereka yang berpikiran dangkal sehingga
yang dimunculkan hal-hal yang melulu ibadah. Bahkan, dibuat-buat seakan
bertolak belakang dengan ajaran Islam. Misalnya, Ibnu Arabi yang memiliki
pemikiran wihdatul wujud dianggap menyebarluaskan ajaran sesat dan tidak
bertauhid.
Jika dikaji secara
mendalam, justru pemikiran Ibnu Arabi tersebut merupakan bentuk tafsiran atas
wujud Allah yang kekuasaannya melingkupi semua alam dan makhluk. Wujud Allah
merupakan satu-satunya wujud yang hakiki karena semua wujud yang terdapat pada
alam semesta ini berasal dari-Nya. Jadi, pada hakikatnya semua wujud itu satu:
Allah. Kemudian ada juga Syaikh Siti Jenar dari Jawa yang dianggap sesat karena
meyakini kesatuan makhluk dengan Khaliq (Manunggaling Kawula Gusti). Dan banyak
lagi unsur dalam tasawuf yang menarik dikaji kemudian direnungkan oleh kita.
Insya Allah setiap kali
belajar maka berkah ilmu akan melimpahi jiwa dan akal kita. Mari kita belajar
khazanah ilmu-ilmu Islam, di antaranya memahami ilmu tasawuf dan menikmati
riyadhah (praktek amaliyah) kaum sufi seperti dzikir dan shalawat. *** (Ahmad
Sahidin)