Selasa, 01 Februari 2022

Pelajaran Berharga dari Memelihara Burung Kicau

Masih tentang burung kicau. Ada pelajaran yang berharga dari memelihara burung kicau. Sekarang saya ingin bercerita. Sekira awal pandemi Covid19, saya diberi sangkar nomor dua oleh seorang teman istri. Pasalnya saya ngobrol bahwa mau memelihara burung kicau. Supaya menjadi "kawan" saat berjemur dan baca buku. Maklum aktivitas full di rumah. 

Lantas saya bersama istri pergi ke kios burung. Saya lihat ada banyak burung kicau seperti kenari, anis, murai, poksay, jalak, pleci, kutilang, perkutut dan lainnya. Saya cek burung kutilang. Dalam sangkar, satu-satunya. Pegawai kios burung bilang burung kutilang yang satu itu jantan, muda dan mulai bersuara. Harganya luarbiasa sekira 50.000. Saya beli saja, termasuk makanannya.Tiba di rumah, kutilang dimasukkan sangkar. Saat masuk dan dilihat burungnya giras, grabagan alias tidak jinak. Kutilang itu nubruk jeruji sangkar. Saya gantung dan menjauh, kutilang terdiam. Saya dekati grabagan lagi.

Saya buka internet cari informasi tentang kutilang. Ternyata kutilang satu di antara burung yang tidak mudah untuk dijinakkan. Menurut para master bahwa burung giras bisa jinak sekira tiga bulan. Saya ikuti tahapan untuk jinakkan dan agar cepat bersuara: diembunkan subuh, mandi pagi, jemur, dan gantung tempat sejuk. Tahapan dijalani sampai tiga bulan. Memang muncul bunyi burung. Tapi hanya pagi dan sore. Itu pun hanya sesekali. Kemudian saat dicocokkan dengan suara burung kutilang yang ada di YouTube, ternyata kutilang yang saya pelihara berjenis betina. Dari peristiwa ini ada pelajaran bahwa harus punya pengetahuan terkait dengan sesuatu yang kita inginkan.

Memasuki bulan keempat karena belum gacor alias tidak sering bunyi maka burung kutilang itu lepaskan. Sekira satu pekan setelah dilepas, terdengar suara kutilang di genteng rumah. Saya cek ternyata kutilang yang dilepas bersama kutilang yang dari body lebih besar dan gagah serta bunyinya indah. Saya lihat keduanya kemudian berkata: "pergi sana supaya cepat beranak pinak." Sepasang kutilang itu lantas terbang.

Sejak kutilang dilepas, kakak ipar memberi saya burung lovebird. Setiap pagi, siang, sore, malam, dan subuh terus saja bunyi. Sampai ada anggota keluarga saya di rumah merasa terganggu. Saya pindahkan tempat lovebird di atas dekat kamar. Jadi, suaranya tidak ganggu yang berada di lantai bawah.

Ketertarikan pada burung makin muncul saat main ke pasar burung Sukahaji Bandung. Lantas saya coba beli lagi burung, tetapi burung-burung kecil. Di antara yang pernah saya punya yaitu kemade, colibri sogon, anis biru (selendang biru), sirtu gunung, opior, dan erow binbin. Semua burung tersebut ada yang mati dan ada yang saya lepas dengan alasan terlalu lama menunggu bunyi.

Ada satu burung yang dirawat dalam waktu lima hari langsung jinak, makan voer, dan berbunyi. Indah dan rajin. Itulah satu-satunya burung yang cepat gacor. Burung itu dikenal dengan sebutan anis biru. Sayangnya burung tersebut mati karena lupa tidak pindah tempat saat jemur. Saya pergi dan baru ingat saat balik ke rumah. Ternyata terik panas matahari membuat si anis biru mati.

Tentu saya merasa kehilangan karena dibeli masih keadaan belum gacor dan kategori bahan. Lantas dipelihara intensif sampai jinak, makan voer, dan gacor. Tentu ada kerugian biaya dan waktu yang tidak sedikit. Mulai beli burung yang bahan, pakan dan peralatan burung, sampai perhatian berbentuk memandikan, jemur, mengembunkan, dan menikmati alunan bunyi burung.

Sejak mati anis biru, saya beralih pada burung flamboyan, trucukan, dan mugimaki. Yang terakhir ini adalah burung imigran dari Asia Timur, yang berkembang mampir ke Indonesia dan kena tangkap para pemburu burung. Para pemburu burung kicau biasanya menangkap burung pakai leugeut, jebakan sangkar, dan lainnya. Hasil tangkapan itu dijual ke kios-kios burung. Kemudian dibeli dan dipelihara oleh para penghobi burung kicau.

Alhamdulillah meski mugimaki itu termasuk burung kecil, setelah dirawat intensif menjadi jinak dan gacor. Karena merasa berhasil lantas saya beli lagi burung mugimaki yang masih bahan, muda, dan jantan. Saya rawat sekira lima hari dan mulai keluar bunyi tapi tidak lantang. Saya senang karena kurang dari seminggu bisa cepat keluar kicauan meski tidak rajin seperti mugimaki yang pertama. Mungkin saya lagi tidak beruntung, mugimaki yang kedua itu kabur dari sangkar saat ganti air minumnya. Saya lupa tidak merapatkan pintu sangkar dan mugimaki kedua itu keluar terbang bebas. Duh, handeueul henteu tarapti na ngajagi.

Sedikit info bahwa untuk sampai gacor si burung dirawat dengan tahapan: saat subuh gantung di luar rumah yang terasa sejuk dan berembun, ganti air minum, tambah pakan saat tampak berkurang, bersihkan kotoran pada sangkar bagian bawahnya, mandikan burung dengan cara semprot, jemur, dan kembali gantung di ruang yang nyaman.

Dalam memelihara burung kicau kadang muncul rasa tidak cukup dengan satu atau dua burung. Muncul keinginan ingin merawat burung lainnya yang berbeda. Kalau diikuti terus keinginan itu akan membuat rumah banyak gantungan sangkar. Dan harus siap untuk habisnya waktu, tenaga, dan biaya.  Kalau bisnis tentu beda lagi ceritanya.

Bagi mereka yang bisnis burung kicau bahwa menjalani perawatan burung yang intensif bisa menjadi rutinitas kerja. Sedangkan orang yang sekadar suka dan minat hanya sebagai aktivitas tambahan. Biasanya orang bilang hanya "cocoan" pelepas lelah dengan menikmati kicau burung.

Saat muncul pandemi covid19 dan orang banyak full time di rumah, banyak memelihara burung kicau sebagai pengisi waktu. Di lingkungan tempat tinggal saya, tiap rumah mempunyai burung kicau yang digantung depan rumah. Kadang para empunya burung itu kumpul satu tempat sambil bersama sama jemur burung kicaunya. Ada nilai silaturahmi dan keakraban antar tetangga. Ini positifnya. Adakah negatifnya? Untuk yang negatif biar orang lain saja yang bercerita.

Sekarang ini, karena mulai masuk kerja lagi maka burung peliharaan banyak yang dirawat asal asalan. Para penghobi burung bilang bahwa yang penting ada pakan dan minumnya. Namun,  itu berefek pada burung yang tidak lagi rajin bunyi, tidak gacor lagi. Bahkan, ada yang sampai mati saking sibuknya lupa dengan pakan dan minum burung yang habis. Kalau sudah tidak terpelihara dengan intensif, biasanya dijual dan ada yang dilepaskan.

Saya kira melepaskan burung dari sangkar itu lebih baik karena membiarkan burung hidup dan kembali pada habitatnya. Hanya saja kalau dilepas bukan di hutan, maka si burung kasihan tidak berada pada lingkungan yang tepat dan tidak sesuai habitatnya.

Saya pun sempat melepaskan sekira lima burung kecil saat bosan memelihara, termasuk yang grabagan pun dilepas. Karena dilepas di sekitar tempat tinggal dan mungkin ada burung lain yang lepas, maka beberapa kali saya menemukan burung kicau yang gacor berada di atas rumah.

Tampaknya burung kicau tersebut belum menemukan tempat yang layak. Biasa dapat pakan dari sang pemelihara kemudian harus mencari sendiri. Karena di lepas di area bukan hutan, sehingga susah dapat pakan. Apalagi burung yang hinggap dari atap ke atap rumah tentu pencarian pakan menjadi tantangan sendiri buat si burung.

Ada baiknya penghobi burung kicau yang mulai bosan, saat melepas burung kicau harus di hutan agar si burung menemukan pakan di tempat yang tersedia. Kalau susah dan malas pergi ke hutan, kasihkan saja pada orang yang mau memeliharanya. Itu saja catatan saya. Hatur nuhun. *** (ahmadsahidin)