Selasa, 11 Januari 2022

Pseudo Spiritual

DIKISAHKAN ada seorang pemuda yang mau mulai belajar tasawuf. Ia rajin shalat malam dan selalu baca al-Quran. Ia datang menemui gurunya dan mendapatkan tugas, “Nanti kalau kamu shalat malam, bacalah Al-Quran dan bayangkan aku, guru kamu mendengarkan di hadapanmu.” 

Ia pun menyanggupi. Biasanya, setiap kali shalat malam dia khatam Al-Quran. Namun pada malam itu ia tidak bisa mengkhatamkannya—ketika membacanya dengan menghadirkan sosok gurunya. Esoknya ia melapor. “Guru, saya hanya bisa sampai satu juz saja,” katanya.

“Sekarang bayangkan oleh kamu, nanti ketika kamu shalat malam, ketika kamu membaca ayat Al-Quran bayangkan kamu membaca di hadapan para sahabat Nabi,” perintah gurunya. 

Hari kedua ia lapor. Ia menyampaikan satu juz pun tidak selesai. Pada hari yang ketiga ia dianjurkan untuk melakukan lagi shalat malam dan membayangkan bahwa dihadapannya ada Rasulullah Saw mendengarkan bacaan Al-Quran. 

Siangnya ia lapor, “Hampir saja Al-Fatihah pun tidak selesai.”  

Lalu gurunya itu menganjurkan dia untuk membayangkan di hadapannya ada Allah SWT mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang sedang dibacanya. Keesokan harinya dia tidak datang lagi untuk melapor. Ia dikabarkan jatuh sakit. Ketika dikunjungi gurunya, ia berkata, ”Semalam saya hanya sampai membaca ‘Iyya kana’budu wa iyya kanasta’in...’ dan sudah tak ingat lagi, pingsan, saya tidak sanggup lagi membacanya”. 

Seusai menyampaikan itu, pemuda tadi menghembuskan nafas yang terakhir. Tampaknya dia tidak sanggup menanggung kehadiran Allah Swt pada saat membaca Alquran. 

Cerita ini saya dapatkan dari Allahyarham Jalaluddin Rakhmat. Menurut ustadz yang dikenal pakar komunikasi ini, untuk zaman sekarang ini segala sesuatunya berbeda dan tampak serba mudah.Kalau ingin shalat nikmat dan khusyuk, ikuti saja kursus shalat khusyuk yang harganya jutaan.

Ada juga di Jakarta yang mengajarkan bahwa dalam satu minggu bisa melihat Allah. Yang ini bayarannya lebih murah, cuma enam ratus ribu. Betapa gampangnya bukan!

Memang zaman sekarang ini serba instan. Tak perlu berproses untuk susah dan bertahun-tahun melakukan ibadah agar sampai kepada Allah, cukup enam ratus ribu. Jangan susah payah bangkitkan usaha yang kendur dengan segala strategi dan marketing andal, cukup dengan dzikir bersama dalam acara malam bina iman taqwa di masjid serta suruh seluruh karyawan untuk mengisi kegiatannya dengan aktivitas keagamaan, pasti Allah limpahkan rezeki dan keuntungan yang besar. Untuk kaya dan bisa menghidupi kebutuhan dapur dan sehari-hari cukup itu saja. Cari saja keridoan Allah, bila sudah rido pasti dipenuhi-Nya. Begitu kata seorang kiyai di Bandung yang kini menurun popularitasnya karena menikah lagi. 

Mendengar itu semua saya sempat tertawa. Entah kenapa saya melihat kelucuan yang teramat menggelikan, terutama menyangkut masalah kehidupan dan finansial yang hanya cukup diselesaikan dengan agama. Mereka menganggap bahwa semua masalah hidup dan kehidupan bisa beres dengan agama. Padahal, realitas dunia ini perlu diselesaikan dengan dunia juga. Kondisi hidup dan kehidupan yang faktual ini harus diselesaikan dengan hal-hal yang nyata juga. 

Memang kita butuh bantuan Tuhan. Tapi kita pun harus ikhtiar dan menyiapkan perangkatnya agar bantuan tersebut sampai pada kita. Penuh rahmat dan barokah, bukan laknat dan madharat. Ini yang saya kira perlu untuk diperhatikan, selain tetap memperhatikan nila-nilai agama sebagai barometer dan kontrol atas kinerja dalam kehidupan ini. Ini sih cuma pendapat. Tapi bila mereka begitu, ya suka-suka mereka. 

Memang harus diakui bahwa fenomena di atas bila dilihat dari aspek perkembangan dakwah Islam sangat tampak hasilnya. Beberapa kalangan menengah ke atas, yang asalnya hanya mengurus harta dan kemewahan, sekarang bisa meluangkan waktu untuk masuk dalam relung cahaya agama. Meskipun itu baru bersifat fungsional—maaf saya sebut pseudo spiritual—karena telah menjadikan agama sebagai pelarian untuk mendapatkan ketenangan. Semacam kesadaran palsu dalam beragama karena dunia hiburan dan budaya hedonis tidak menyelesaikan kegelisahan eksistensial personal. 

Celakanya, bila fenomena ini terus menerus dijadikan paradigma yang sesungguhnya, maka agama akan menjadi komoditas ekonomi dan politis yang menguntungkan segelintir orang. Harusnya, fenomena yang serba instan ini dijadikan tangga untuk melangkah ke tahap yang lebih hakiki dari hadirnya agama di dunia ini. Yakni agama sebagai pedoman sekaligus arah jalan untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. *** (ahmad sahidin)