Rabu, 08 September 2021

Merajut Ukhuwah dengan Memahami Keragaman Islam

SESUAI dengan semangat persaudaraan yang digemakan oleh ulama-ulama dalam konferensi internasional di Jordania, yang diikat dalam Risalah Amman bahwa mengenal khazanah Islam akan membuat kita paham dengan perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat (umat) Islam. 

Dengan memahami mazhab Islam yang lain, diharapkan umat akan mengerti dan bersedia untuk saling menghormati atas perbedaan yang ada. Tentu dalam keyakinan setiap orang Islam bebas untuk meyakini mazhab yang dipercaya sebagai benar, tetapi dalam sosial kemasyarakat perlu hidup bersama dan saling menjaga diri agar tidak saling memaksakan kebenaran mazhab kepada orang Islam yang sudah punya mazhab yang berbeda. 

Dalam hal ini, kaum Sunni tidak perlu mengajak kaum Syiah untuk mengikuti keyakinan Ahlussunnah dan kaum Syiah pun tidak perlu mengajak kaum Sunni agar pindah keyakinan pada Syiah. Tentu agar terjalin saling pengertian yang berujung pada persatuan umat Islam maka perlu untuk saling mengenal karakter dan tradisi di antara masing-masing mazhab yang ada dalam agama Islam. Hal ini perlu agar tumbuh pemahaman untuk toleran atas perbedaan yang dilihat dari saudara sesama umat Islam.            

Sekadar mengingat kembali bahwa Islam dalam bahasa Arab berasal dari kata aslama, yang berarti tunduk atau pasrah. Dalam Al-Quran memuat istilah muslim, taslim, salim, dan islam; yang bermakna pasrah, berserah diri, dan menerima dengan sepenuh hati. Karena itu, Islam dapat dimaknai sebagai institusi agama yang menganjurkan pemeluknya untuk bersikap pasrah terhadap ketentuan dan aturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Semua ulama sepakat bahwa Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw (shalallahu alaihi wa aalihi wa sallam). 

Menarik bahwa dalam agama Islam itu kalau dikaji terkandung semua ajaran agama yang diajarkan para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Ajaran kasih sayang dari Nabi Isa as yang disebut agama Kristen terdapat dalam Islam. Ajaran monoteis (mengesakan Allah) yang diajarkan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang disebut agama Millah Ibrahim masuk dalam Islam. Ajaran-ajaran Nabi Musa as dan Nabi Dawud as yang disebut agama Yahudi terdapat dalam Islam. Kehidupan asketis (hidup sederhana) yang diajarkan dalam agama Budha dan ajaran pengabdian (pelayanan) terhadap sesama manusia beserta binatang dan penyatuan dengan alam semesta yang diajarkan dalam agama Hindu dan Konghucu terdapat dalam Islam. Bahkan, pemikiran rasional atau filsafat yang kadang dianggap membahayakan keimanan mendapat tempat dalam Islam. Kemudian gerakan spiritualitas atau mistisme yang bersumber dari intuisi (rasa) juga mendapatkan ruang dalam Islam. Kebudayaan lokal yang berada pada setiap tempat dan kawasan umat Islam diperkaya dengan nilai-nilai Islam sehingga menjadi bentuk budaya baru. Hukum dan adat lokal yang menjungjung kemanusiaan diperkaya dengan nilai-nilai Islam kemudian menjadi bagian dari hukum Islam yang berlaku di daerahnya masing-masing. 

Islamicate

Tentang penyesuaian atau masuknya nilai-nilai Islam dalam kebudayaan lokal atau kehidupan masyarakat adalah proses alamiah dalam penyebaran dan perkembangan Islam di berbagai tempat. Fenomena ini terlihat sejak pascawafat Rasulullah saw ketika agama Islam dibawa oleh pemeluknya di daerah-daerah luar Jazirah Arabia seperti di Persia, India, Spanyol, Turki, Nusantara, Cina, dan lainnya. Umat Islam di daerah-daerah tersebut tampil dengan keragaman yang khas sehingga memiliki perbedaan dengan umat Islam yang berada di Arab. Misalnya dari pakaian, pola hidup, dan kegiatan keagamaan yang masuk kategori ghair mahdhah.[1] Hal ini diakui oleh seorang orientalis, Marshall G.S.Hodgson,[2] yang melihat Islam yang mudah masuk dalam berbagai budaya dan memperkaya khazanah bangsa, sehingga Kehadiran Islam senantiasa memberi warna baru dan mengisinya dengan nilai yang lebih universal serta mudah dipahami setiap orang. Sejarah mengisahkan Nabi Muhammad saw di Arab Saudi memperbarui tradisi haji yang berbau jahiliah dengan ajaran Islam. Kemudian mengubah perilaku buruk warga Makkah dan Madinah menjadi orang-orang yang mengikuti akhlak Rasulullah saw dan ajaran Islam. 

Kemudian orang-orang Arab yang senantiasa berperang antarsuku disatukan dalam satu komunitas: umat Islam. Mereka yang menganggap anak perempuan sebagai beban ekonomi keluarga diberi pencerahan bahwa anak (baik laki-laki atau perempuan) merupakan anugerah dan amanah dari Allah serta menjadi kekayaan yang berharga bagi keluarga. Pernikahan ubah sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga unsur penindasan dan menganggap istri sekadar pemuas seks dihapuskan. Pernikahan diatur dengan cara yang baik berdasakan Islam sehingga bernilai suci dan kaum lelaki tidak lagi memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan buruk. Kebiasaan menindas terhadap kaum dhuafa dihilangkan dengan mengangkat kaum dhuafa sederajat dengan manusia lainnya.  

Begitu juga ketika Islam masuk ke Tatar Sunda dan Tanah Jawa ternyata bisa saling menguatkan dan memperkaya khazanah budaya lokal. Dalam acara adat pernikahan dan seni rudat Sunda diisi doa dan ajaran Islam.Tradisi menolak musibah, menyambut seren taun, dan perayaan atas hasil panen—meski masih bernuansa tradisi lokal Sunda—diberi warna Islam berupa doa dan pemaknaan berdasarkan penafsiran yang mengambil dari Al-Quran dan Rasulullah saw. Budaya lokal yang diisi ajaran-ajaran Islam kemudian menjadi bentuk baru dan memperkaya. Proses memperkaya budaya lokal akibat dari penyesuaian orang Islam dengan lingkungannya ini disebut bercorak Islam (Islamicate). 

Islam Identitas

Sekadar menambah informasi bahwa Abdul Karim Soroush[3] (intelektual Muslim Iran) membagi Islam dalam dua bagian: Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran. Yang pertama adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap ‘krisis identitas’ kemudian menjadi mazhab dan wajah Islam yang bercampur dengan budaya lokal. Sementara yang kedua (Islam sebagai kebenaran) merupakan Islam yang bermakna sumber kebenaran (yang menunjukkan jalan Islam) dan dijalankan Nabi Muhammad saw. Islam sebagai kebenaran bisa dimaknai sebagai ajaran-ajaran (doktrin).[4] 

Sudah menjadi pengetahuan (umum) masyarakat Islam bahwa ajaran-ajaran Islam terbagi dalam aqidah, fiqih, dan akhlaq. Pembagian ini kemungkinan dirujuk dari hadits yang menyebutkan tentang iman, Islam, dan ihsan yang disebutkan Rasulullah saw.[5] Segala sesuatu yang berkaitan dengan keimanan (iman) disebut aqidah; yang berkaitan dengan amaliah dan ibadah (syariah) disebut fiqih; dan yang berkaitan dengan kebaikan dan perbuatan saleh (ihsan) disebut akhlaq. Sampai sekarang, tiga dimensi itu menjadi pengetahuan dasar umat Islam. 

Perlu diketahui bahwa Islam dalam khazanah ilmu dan pendidikan terbagi-bagi dalam berbagai disiplin ilmu yang disebut dirasah islamiyyah atau ulum al-islamiyyah. Yang termasuk dalam disiplin ilmu-ilmu Islam adalah sirah nabawiyah, tarikh Islamiyyah, ulumul hadis, ulumul quran, ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu kalam, filsafat, ilmu tasawuf, balaghah, bahasa Arab, akhlak, dan lainnya. Setiap disiplin ilmu tersebut mengalami perkembangan, bahkan menjadi ilmu tersendiri. Misalnya dalam ulumul quran melahirkan cabang-cabang ilmu seperti tajwidqiraattahfidz, dan lainnya. 

Karena itu, memahami ajaran Islam secara menyeluruh tidak semudah membalik telapak tangan. Orang Islam yang ingin memahami dengan benar masalah aqidah perlu mengkaji ilmu kalam beserta tokoh dan mazhabnya. Kemudian ilmu fiqih dan akhlak perlu juga dipelajari dengan komprehensif dengan berbagai sumber meliputi tokoh dan alirannya. Dengan menguasai berbagai bidang disiplin ilmu-ilmu Islam maka akan membuat kita tercerahkan dan memahami betapa luasnya ilmu keagamaan Islam. Mudah-mudahan menjadi lebih bijak dalam memandang perbedaan di tengah masyarakat. *** (ahmad sahidinalumni UIN SGD Bandung)

 


[1] Hal yang tidak terkait dengan ibadah yang utama atau kegiatan agama di luar shalat fardhu, puasa, zakat, haji, dan tauhid.

[2] Marshall G.S.Hodgson dalam buku The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia  (terjamahan Dr.Mulyadhi Kartanegara dari judul asli: The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Volume one: The Classical Age of Islam, Book one: The Islamic Infusion: Genesis a New Social Order) yang diterbitkan Penerbit Paramadina, Jakarta, 1999. Hodgson melihat Islam dalam konteks sejarah menjadi Islamic, Islamicate, IslamdomIslamic merupakan Islam sebagai nilai dan doktrin; Islamicate adalah nilai-nilai Islam yang mewujud dalam diri seorang Islam yang  keberadaannya dipengaruhi sosial budaya di lingkungannya; dan Islamdom  adalah Islam dalam konteks negara atau komunitas orang-orang Islam dari aspek statistik-kuantitas.

[3] Lahir di Teheran, Iran, pada 1945. Majalah Time edisi April 2005 menobatkan Soroush sebagai satu dari 100 orang berpengaruh di dunia berdasarkan penelitian Foreign Policy.

[4] Gagasan ini dilontarkan juga oleh Murtadha Muthahhari yang menyebutkan bahwa Islam waqi’i  merupakan Islam  sejati  yang  memikul ruhiyah samawiyah; yang berlawanan dengan Islam  geografis (al-jughrafi). Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi Perbedaan (Bandung: Mizan, 2006).

[5] Hadits ini terdapat pada Imam An-Nawawi, Hadits Arba’in An-Nawawawi  (Jakarta: Al-I’tishom, 2001) halaman 10.