Kamis, 30 September 2021

Al-Quran dan Tafsir

UMAT Islam meyakini bahwa al-Quran sebagai Kitab Suci yang kebenarannya berlaku sampai Kiamat. Al-Quran turun pada kondisi masyarakat Arab tidak memiliki pedoman hidup sehingga Allah menurunkannya bersamaan dengan Nabi akhir zaman Muhammad saw.
Wahyu pertama turun di Gua Hira di Jabal Nur yang terletak di Sebelah Utara Masjidil Haram, Makkah. Bentuk Gua Hira agak memanjang dan berada di belakang dua batu raksasa yang sangat dalam dan sempit. Gua ini hanya bisa didiami sekitar lima orang dan cukup untuk tidur tiga orang berdampingan karena tinggi gua hanya sebatas orang berdiri atau dua meter.
Di kawasan Gua Hira tidak ditemui tanaman, hanya kegersangan dan hawa panas yang menghiasai Jabar Nur. Apalagi batu-batu besar menambah keadaan sekitar Gua Hira terasa menakutkan.

Menjelang usia 40 tahun, Muhammad bin Abdullah menjadikan Gua Hira sebagai tempat merenung (tafakur) karena resah dengan kehidupan penduduk Makkah yang penuh maksiat dan menjadi penyembah berhala.  Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad yang sekaligus tanda diangkatnya sebagai Rasulullah pada 17 Ramadhan (sekira 610 Masehi). Sedikitnya ada sepuluh riwayat tentang turunnya wahyu Allah kepada Rasulullah saw.

Salah satunya diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah binti Abi Bakar bahwa: “Wahyu pertama yang diterima Rasulullah saw dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau melakukan ‘uzlah. Beliau melakukan uzlahdi Gua Hira melakukan ibadah selama beberapa malam kemudian pulang kepada keluarganya untuk mengambil bekal.

Pada suatu hari datanglah Malaikat lalu berkata, “Bacalah”. Beliau menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Beliau menceritakan bahwa Malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali. Kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah“ Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Ia mendekati aku lagi dan mendekapku sehingga aku merasa tidak berdaya sama sekali kemudian aku dilepaskan. Ia berkata lagi, “Bacalah.” Aku menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Untuk yang ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku hingga aku merasa lemas kemudian aku dilepaskan. Selanjutnya, ia berkata lagi, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan.. menciptakan manusia dari segumpal darah...” dan seterusnya (surah al-Alaq [96]:1-5).

Kemudian Rasulullah saw segera pulang dalam keadaan gemetar sekujur badannya menemui Khadijah dan berkata, “Selimutilah aku ... selimutilah aku!” Kemudian beliau diselimuti hingga hilang rasa takutnya. Setelah itu, beliau berkata kepada Khadijah, “Hai Khadijah, tahukah engkau mengapa aku tadi begitu?” Lalu beliau menceritakan apa yang baru dialaminya. Selanjutnya, beliau berkata: “Aku sesungguhnya khawatir terhadap diriku.” Khadijah menjawab: ”Tidak! Bergembiralah! Demi Allah, sesungguhnya tidak akan membuat Anda kecewa. Anda seorang yang suka menyambung tali keluarga, selalu menolong orang yang susah, menghormati tamu, dan membela orang yang berdiri di atas kebenaran.”

Beberapa saat kemudian Khadijah, mengajak Muhammad pergi menemui Waraqah bin Naufal, salah seorang anak paman Khadijah. Di masa jahiliah ia memeluk agama Nasrani. Ia dapat menulis huruf Ibrani, bahkan pernah menulis bagian-bagian dari Injil dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan telah kehilangan penglilatannya. Kepadanya Khadijah berkata: “Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak-lelaki saudaramu (yakni Muhammad saw).” Waraqah bertanya kepada Muhammad saw: “Hai anak saudaraku, ada apakah gerangan?” Kemudian Rasulullah saw menceritakan apa yang dilihat dan dialami di dalam Gua Hira. Setelah mendengar keterangan Rasulullah saw, Waraqah berkata: “Itu adalah Malaikat yang pernah diutus Allah kepada Musa. Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda perkasa! Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu!” Rasulullah saw bertanya: “Apakah mereka akan mengusir aku?“ Waraqah menjawab: “Ya. Tak seorangpun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang kaan kamu hadapi itu, pasti kamu kubantu sekuat tenagaku.”

Menurut Muhammad Al-Ghazali, Ja`far Murtadha Amili, dan Jalaluddin Rakhmat bahwa hadits tersebut bertentangan dengan Al-Quran dan fakta sejarah. Aisyah binti Abu Bakar yang mengabarkannya pada masa itu belum lahir sehingga tidak mungkin mengetahui sejarah turunnya wahyu pertama. Pada hadits itu juga disebutkan Jibril menyampaikan wahyu kepada Rasulullah saw dengan cara yang mengerikan, didekap dengan keras sampai kepayahan, dan ketakutan, serta Muhammad saw tidak mengetahui perihal kenabiannya sehingga harus mengkonfirmasi kepada tokoh agama Nasrani. Sangat berbeda dengan yang diinformasikan dalam al-Quran surah Al-An`aam [6] ayat 125, adh-Dhuha [93]: 6-11, dan al-Insyirah [94]: 1-3 bahwa yang mendapatkan petunjuk (wahyu) jiwanya akan merasakan tenang, tenteram, gembira, dan dadanya lega karena sudah datang pencerahan. Karena itu, orang yang mendapat wahyu seperti Muhammad bin Abdullah harusnya digambarkan gembira karena mengalami kelapangan dada, kelegaan hati, dan jiwa karena merasakan ketenteraman luar biasa atas nikmat yang luar biasa.

Keindahan Al-Quran 
Menurut Sayyid Muhammad Husain Thabathaba`i, penulis Tafsir Al-Mizan, kefasihan dan keindahan bahasa al-Quran yang luar biasa membuat takjub orang-orang Arab yang menggandrungi kefasihan dan keindahan bahasa sehingga dari berbagai tempat yang jauh mereka datang untuk mendengarkan beberapa ayat dari Nabi Muhammad saw. Melihat respons orang-orang yang begitu antusias, para pembesar Makkah berupaya keras menjauhkan orang dari Nabi dan tidak memberi kesempatan untuk mendengarkan Al-Quran. Mereka beralasan bahwa al-Quran merupakan sihir. Sebenarnya bukanlah sihir, tetapi kebenaran yang mampu menyadarkan orang untuk masuk Islam. Umar bin Khaththab pun masuk Islam hanya karena mendengar ayat al-Quran surah Thaha yang dibacakan adiknya.

Ayat-ayat al-Quran yang turun kepada Nabi Muhammad saw kemudian dihafal oleh kaum Muslim untuk kepentingan ibadah dan informasi ajaran Islam. Ketika Nabi Muhammad saw di Madinah, memerintahkan sekelompok sahabat untuk mengajarkan, mempelajari, dan menyebarkannya. Sebagian ada yang mencatatnya atas petunjuk Nabi. Rasulullah saw memanfaatkan para tawanan untuk mengajar beberapa orang sahabat sehingga para sahabat dapat membaca dan menulis ayat demi ayat yang diterima dari Nabi Muhammad saw. Para sahabat yang tekun membaca al-Quran, menghafal, dan memelihara ayat-ayat al-Quran dengan menuliskannya pada lembaran kulit binatang dan pelepah kurma. Mereka inilah yang dikenal dengan sebut­an al-qurra`

Tadwin Al-Quran
Sesudah wafat Rasulullah dan banyaknya al-qurra` yang meninggal dunia akibat peperangan, Ali bin Abi Thalib di rumah­nya menghimpun al-Quran dalam satu mushaf menurut urutan turunnya yang diselesaikan sekira enam bulan sejak wafatnya Rasulullah dan mengusungnya di atas punggung unta untuk diperlihatkan kepada kaum Muslim.

Begitu juga saat Abu Bakar berkuasa, memerintahkan sekelompok qurra` sahabat di bawah pimpinan Zaid bin Tsabit untuk menghimpun al-Quran dalam satu mushaf. Setelah selesai, mereka menyalinnya lagi kemudian dibagikan ke beberapa negeri yang menjadi bagian dari wilayah Islam. Satu mushaf al-Quran tersebut disimpan di rumah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Ketika Utsman bin Affan berkuasa, ia memerintahkan orang-orang untuk meng­ambil mushaf yang disimpan Hafshah dan memerintahkan lima orang sahabat yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalinnya ke dalam lima mushaf al-Quran. Utsman memerintahkan agar semua mushaf yang terdapat pada kaum Muslim atau yang ada di negeri-negeri wilayah Islam dikumpulkan dan dikirimkan ke Madinah kemudian dibakar. Sebagai gantinya, lima salinan mushaf Utsmani (Utsman bin Affan) ini masing-masing dibagikan ke Makkah, Suriah, Kufah, dan Bashrah, serta satu lagi di Madinah. Antara mushaf al-Quran yang dihimpun atas perintah Abu Bakar dan mushaf yang disusun atas perintah Utsman bin Affan tidak berbeda, kecuali dalam satu hal, yaitu surah al-Bara'ah (At-Taubah) dalam mushaf Abu Bakar diletakkan di antara surah-surah mi'un (surah-surah yang lebih dari 100 ayat)  dan surat al-Anfal diletakkan di antara surah­-surah matsani (surah-surah yang kurang dari 100 ayat). Sedangkan dalam mushaf Utsman bin Affan, surah al-Anfal dan al-Bara'ah diletakkan di antara surah al-A'raf dan Yunus.

Mushaf al-Quran inilah kemudian yang disahkan oleh Utsman bin Affan sebagai pegangan umat Islam hingga sekarang, termasuk kaum Muslim diperbolehkan untuk menyalin dan menyebarkannya. Apabila terdapat mushaf yang tidak sama dari segi isi maupun susunannya, pasti segera dimusnahkan.

Persoalan penyusunan mushaf al-Quran tidak menjadi perdebatan yang berkepanjangan karena keaslian al-Quran telah dijamin Allah sehingga terjaga dari penyimpangan. Allah Ta`ala berfirman, “Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan  al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS al-Hijr [15]: 9).

Tafsir Al-Quran
Dalam khazanah kajian al-Quran, yang menjadi perdebatan adalah penafsiran al-Quran, baik itu tafsir maupun takwil. Entah sudah berapa ribu karya tafsir al-Quran yang dihasilkan para ulama sejak pascawafat Rasulullah saw hingga sekarang. Sebut misalnya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Thawus bin Kisan Al-Yamani, Atha bin Abi Rabah, Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi, Algamah bin Qais, Masruq bin Al-Ajda, Aswad bin Yazid, Amir Asy- Sya`bi, Hasan Al-Bashri, Qatadah As-Sadusi, Yazid bin harun As-Sulami, Syuaibah bin Al-Hajjaj, Al-Jarrah, Sufyan bin Uyainah, Abdul Razzag bin Hammam, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ali bin Al-Madini, Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Khalaf, Abu Bakar Muhammad Al-Qasim Al-Ambari, Abu Bakar As-Sijistani, Abu Bakar Al-Baqillani, Ali bin Ibrahim bin Said Al-Hufi, Mulla Shadra, Izzuddin bin Abdissalam, Alamuddin As-Syakhawi, Ali bin Ibrahim bin Said, Jalaluddin Al-Balqini, Jalaluddin As-Suyuthi, Musthafa Shadiq, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba`i, Sayyid Qutbh, Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Muhibbudin Al-khatib, Musthafa Shabri, Muhammad Abdullah Darraz, Jamaluddin Al-Qasimi, Thahir Al-Jazairi, Muhammad Ali Salamah, Ahmad Muhammad Jamal, Muhammad Quraish Shihab, dan lainnya.

Menurut Sayyid Muhammad Husein Thabathaba`i dalam buku Memahami Esensi Al-Quran, perkembangan tafsir dalam mazhab Ahlu Sunnah dimulai periode sahabat (setelah wafat Rasulullah saw) yang menggunakan metode kutipan atau penjelasannya menggunakan hadits-hadits Rasulullah saw. Metode ini masih digunakan pula oleh mufasir generasi tabi`in dan tabiit tabi`in seperti Mujahid (w.103 H.), Sa'id bin Jubair (w.94 H.), Ikrimah (w.10 H.), Ad-Dhahak, Hasan Al-Basri (w.115 H.), Atha bin Abi Rabah (w.115 H.), Atha bin Abi Muslim (w.133 H.), Abu Aliyah, Muhammad bin Ka'b Al-Kuradhi, Qatadah (w.117 H.), Athiyah, Zaid bin Aslam (w.136 H.), Thawus Al-Yamani (w.106 H.), Rabi' bin Anas, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan Abu Shalih Al-Kilbi.

Setelah periode mereka, para mufasir menyusun tafsirnya dalam sebuah kitab tersendiri, seperti Sufyan bin Uyainah (w.198 H.), Waki`bin Al-Jarah (w.197 H.), Syu`bah bin Haijaj (w.160 H.), Abd bin Hamid, dan Muhammad bin Jarir bin Yazid Ath-Thabari (w.310 H.). Mereka meriwayatkan pendapat-pendapat para sahabat dan tabiin tanpa mengemukakan pendapatnya sendiri.

Mufasir periode selanjutnya adalah mereka yang menghimpun hadits-hadits dengan membuang sanad dan memasukkan pendapat sahabat dan tabiin, kisah dan cerita, asbabun nuzulnasikh­, dan mansukh.Kemudian muncul ulama yang melakukan penafsiran menurut spesialisasi dan disiplin ilmu yang dikuasainya. Mereka yang ahli bahasa Arab melakukan penafsiran al-Quran dari tinjauan bahasa, seperti Az-Zajaj, Al-Wahidi, dan Abu Ha­yan.

Mereka yang ahli sastra menafsirkan al-Quran dari sudut sastra, seperti Az-Zamakhsyari dalam kitab Al-Kasyaf. Mereka yang ahli teologi menafsirkan al-Quran dari sudut pandang teologi, seperti Al-Fahruddin Ar-Razi dalam kitab Al-Kabir dan Mafatihul Ghaib.

Kaum sufi melakukan penafsiran al-Quran dari perspektif sufi, seperti Ibnu Arabi dan Abdurrazaq Al-Kasyani. As-Tsa'labi menulis tafsir dengan menggunakan cerita. Kemudian ahli fikih atau fuqaha menafsirkan al-quran dari tinjauan Fikih seperti al-Qurthubi.

Ada pula mufasir yang menggunakan berbagai ilmu pengetahuan dalam menafsirkan Al-Quran, seperti tafsir Ruhul Maani karya Syihabudin Al-Alusi dari Baghdad, Ruhul Bayan karya Syaikh Ismail Haqi, dan An-Naisaburi dan Gharaibul Quran karya Nidhamudin Hasan Al-Qummi An-Naisaburi.

Perkembangan tafsir al-Quran dalam mazhab Syiah berbeda dengan Ahlussunnah, khususnya dalam metode dan pembagian ke­lompok tafsirnya.  Ath-Thabathaba`i menerangkan, berdasarkan nash Al-Quran bahwa sabda Nabi Muhammad saw dan para Imam Ahlulbait Nabi Muhammad saw merupakan yang berhak dalam menafsirkan al-Quran.

Mufasir Syiah periode pertama adalah mereka yang mengemukakan tafsir al-Quran berdasarkan keterangan Rasulullah dan para Imam Ahlul Bait kemudian dimasukkan pada kitab tafsir yang ditulis oleh Zurarah bin A'yun bin Muslim, Muhammad bin Muslim, Ma'ruf, dan Jarir.

Periode kedua adalah ulama-ulama Syiah seperti Furat bin Ibrahim Al-Kufi, Abu Hamzah As-Tsali, Muhammad bin Mas'ud al-Kufi as-Samar­kandi al-Iyasyi, Ali bin Ibrahim Al-Qummi, dan Muhammad bin Ibrahim an-Nu'mani. Mereka menggunakan metode yang digunakan mufasir periode pertama dan memasukan hadits-hadits Rasulullah saw dan para Imam Ahlu Bait dengan menyebutkan sanad.

Periode ketiga adalah mufasir yang memiliki berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti Asy-Syarif ar-Ridha Muhammad bin Husain al-Musawi dengan corak sastra; Syaikh Thaifah Muhammad bin Hasan Ath-Thusi dengan corak teologiShadrul Muta`allihin Muhammad bin Ibrahim Asy-Syirazi (Mulla Shadra) dengan corak filsafat; Al-Maibadi Al-Kunabadi dengan corak tasawuf; Syaikh Abdul Ali Al-Huwaizi, Sayyid Hasyim Al-Bahrani, Al-Faidhul Kasyani dengan kitab tafsir berjudul Nuruts Tsaqalain, Al-Burhan, dan Ash-Shafi. Kemudian ada juga ulama Syiah yang mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan dalam kitab tafsir seperti Syaikh Aminul Islam al-Fadl bin Hasan Ath-Thabarsi dengan karyanya berjudul Majma'ul Bayan; dan Sayyid Muhammad Husein Thabathaba`i yang berjudul Tafsir Al-Mizan.

Kemudian pada zaman modern lahir beberapa kitab tafsir seperti Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthb, Al-Furqan karya A.Hassan, Al-Azhar karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Quran Al-Karim karya Syaikh Mahmud Syaltut, Abbas Mahmud Al-Aqqad menulis Al-Insan fi Al-Quran dan Al-Mar'ah fi Al-Quran, Al-Maududi menulis Al-Riba fi Al-Quran,Jalaluddin Rakhmat menulis Tafsir Sufi al-Fathihah dan Tafsir Bil Ma`tsur, Muhammad Dawam Rahardjo menulis Ensiklopedi Al-Quran, dan Muhammad Quraish Shihab menulis Tafsir Al-Mishbah, dan lainnya.

Perkembangan tafsir sangat beragam, baik corak, metode, maupun mazhabnya. Bahkan, cendekiawan Muslim kontemporer pun tidak segan-segan menggunakan metode hermeneutika dalam menafsirkan nash-nash agama.

Dalam studi hermeneutika sendiri terbagi pada dua kutub penafsiran. Kutub pertama adalah yang menganggap hasil penafsiran yang dilakukan seseorang (termasuk kelompoknya) merupakan kebenaran yang absah karena teks (nash) yang telah terlepas dari pengarangnya adalah berdiri-sendiri (otonom) dan tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan pengarang. Karena iu, interpretasi apa pun (yang dihasilkan pembaca atau penafsir) adalah sah (apalagi bermakna dan bermanfaat untuk kehidupannya).

Kutub kedua adalah beranggapan bahwa penafsiran adalah tindakan subjektif yang berdasarkan pada pra-anggapan dan pra-asumsi sebelumnya (atau sesuatu yang melekat di benaknya). Karena itu, penafsiran yang dihasilkannya adalah hanya berusaha mendekati atau menggapai kebenaran yang ada pada pengarangnya.

Mereka berpendapat bahwa tafsir tentang ayat-ayat suci al-Quran tidak akan pernah berakhir karena yang paling mengerti akan arti sebuah teks tersebut adalah pembuatnya, Allah. Bahkan,  para mufasir pun pada dasarnya hanya berusaha memahami apa yang dimaksudkan-Nya sehingga terjadi keanekaragaman tafsir. Namun, keadaan ini akan menimbulkan masalah karena setiap diri akan merasa dan menilai bahwa dirinya yang paling paham akan arti sebuah teks tersebut. Karena itu, persoalan kebenaran dan tafsir (agama) tidak pernah seragam. Ia senantiasa berbeda dan berlainan satu sama lain. Tidak tunggal. Bahkan, dari tafsir itu sendiri melahirkan penafsiran yang beraneka ragam.

Sebagaimana diungkapkan Abu Ja`far, ayah Ja`far Ash-Shadiq bahwa dalam satu ayat al-Quran memiliki tujuh tafsir dan dalam setiap tafsirnya mengandung beberapa penafsiran lagi. Hal tersebut sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, ‘Ina lil qur-aani dhahran wa bathnan wa libathnihi bathnan ilaa sab’ati abtunin (sesungguhnya Al-Quran itu ada lahir dan ada batinnya. Untuk setiap batin ada batinnya lagi, sampai tujuh batin).[1]

Karena itu, persoalan tafsir memang tidak akan pernah selesai sampai muncul akhir kehidupan dunia. Selama manusia membaca, menelaah, dan memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persoalan agama (Islam) akan banyak melahirkan berbagai macam tafsir atau pemahaman agama. Lalu, dari perbedaan itu melahirkan kelompok atau mazhab; dan dari mazhab itu akan muncul pecahannya dalam bentuk sekte kecil yang terpisah dari induknya.

Tafsir bukanlah kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang paling nyata dari sebuah tafsir adalah seberapa besar kontribusi (manfaat) yang diberikan seseorang atau penafsir terhadap agama, bangsa, kemanusiaan, masyarakat, dan keluarga.[]

catatan akhir
[1] Hadits ini terdapat dalam kitab Kanz al-`Ummal (jilid I, h.550), Al-Itqan (jilid 2, h. 486), Furu` al-Kafi (jilid 4, h. 459), `Ilal al-Syara`i (h..606), Ushul al-Kafi  (jilid I, h. 374), Tafsir al-`Iyyasyi (jilid I, h.2,11,12),  al-Khishal (jilid 2, h.358), al-Mahasin (h.300), Bashaa-ir al-Darajat (h.196),  Shahih Bukhari (jilid 4, h.227), Shahih Muslim (jilid I, h.561) dan lainya.

(Diambil dari karya Ahmad SahidinBuku Pintar Dirasah Islamiyyah. Bandung: Acarya Media Utama, 2010)