Rabu, 22 September 2021

Asal Usul Politik Islam: Khawarij dan Mutazilah

Agama Islam tidak hanya berurusan dengan ibadah dan penyucian diri, tetapi juga berkaitan dengan pengaturan hidup bermasyarakat agar tenteram dan makmur. Rasulullah saw diturunkan tidak sebagai hanya pembawa risalah Islam atau supaya orang-orang beriman kepada Allah, tetapi juga menata kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik dan terarah serta sesuai dengan ketentuan Ilahiah.

Di Makkah, Rasulullah saw menghimpun kekuatan dari orang-orang dhu’afa dan kaum budak. Tidak kurang dari 80 orang yang menjadi pengikut Rasulullah saw. Jumlah yang kecil itu dibina kemudian dikuatkan dengan digabungkan dengan orang-orang Islam di Madinah. Dengan hijrah ke Madinah, orang-orang Islam dari Makkah (Muhajirin) mendapatkan tempat dan bersatu dengan orang-orang Islam yang tinggal di Madinah. Di kawasan baru inilah Nabi Muhammad saw membentuk komunitas baru yang disebut ummah (umat Islam). Dengan kecerdasan dan kewibaannya, Rasulullah saw berhasil menjadi pemimpin Madinah.

Ketika menjadi pemimpin inilah Nabi Muhammad saw membuat perjanjian politik dengan orang-orang Yahudi, Nasrani (Kristen), dan penduduk Madinah yang belum memeluk Islam. Rasulullah saw membuat Piagam Madinah untuk mengatur hubungan di antara sesama penduduk Madinah dan melakukan Perjanjian Hudaibiyah dengan orang-orang Makkah. Rasulullah saw juga mengirimkan surat-surat untuk penguasa-penguasa yang berada di luar Jazirah Arabia. Surat yang diberikan kepada penguasa bukan sekadar ajakan dakwah, tetapi juga bermakna penegasan adanya pemerintahan di Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah saw.

Selama memerintah Madinah, Nabi Muhamamd saw mengatur sahabat-sahabatnya untuk menjadi sekretaris, penulis surat, pengambil zakat, pendakwah, pengatur administrasi, dan panglima perang.

Apabila Nabi Muhammad saw pergi ke luar Madinah, baik untuk urusan perang maupun dakwah yang menghabiskan waktu lama, salah seorang sahabat ditunjuk untuk menjaga dan mengatur urusan yang berkaitan dengan pemerintahan Madinah. Bahkan untuk urusan ibadah seperti shalat dan zakat pun oleh Nabi Muhammad saw ditentukan orang yang menjadi penanggungjawabnya. Hal ini menjadi bukti bahwa pengaturan kehidupan umat Islam sangat diperhatikan oleh Rasulullah saw.

Pengaturan dan kepemimpinan di Madinah yang dilakukan oleh Rasulullah saw ini dalam Dirasah Islamiyyah disebut siyasah, yang artinya mengurusi suatu urusan, mengatur dan menata, melarang dan memerintah. Hal yang berkaitan dengan siyasah ini dalam istilah modern disebut politik. 

Sesuai dengan asal katanya, politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis yang dapat berarti kota atau negara. Di sebuah kota atau negara tentunya ada orang yang mengaturnya atau mengurusi urusan masyarakat. Orang yang mengatur inilah disebut pemimpin atau yang berkuasa. Di Madinah yang menjadi penguasa adalah Rasulullah saw yang memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara mengajak pada kebaikan, hidup tenteram, melenyapkan kejahatan, dan menetapkan urusan kenegaraan, serta masa depan umat Islam.

Kelompok Sahabat dan Ahlulbait
Setelah Rasulullah saw wafat, umat Islam dalam sejarah terbagi dua: Sahabat dan Ahlulbait. Yang pertama adalah kelompok yang meninggalkan jenazah Nabi Muhammad saw kemudian berkumpul di Saqifah memilih seseorang untuk dijadikan pemimpinnya. Mereka ini terdiri dari para sahabat senior dari Anshar dan Muhajirin.

Dari Saqifah inilah kemudian muncul khalifah yang memerintah Madinah setelah Rasulullah saw. Mereka yang mengakui keabsahan peristiwa ini dikenal sebagai pengikut Ahlussunnah (Sunni) karena menetapkan sahabat dan sunnah Rasulullah saw sebagai pedoman setelah Al-Quran.

Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar bin Abi Quhafah menjadi Khalifah Islam hasil musyawarah terbatas di Saqifah Bani Saidah. Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar bin Khaththab menjadi khalifah didasarkan pada wasiat Abu Bakar yang surat wasiatnya ditulis oleh Utsman bin Affan. Ketika Umar akan meninggal dunia segera membentuk dewan formatur (ahlu al-aqdi wa al-halli) yang diketuai oleh Abdurrahman bin Auf dan memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah Islam setelah Umar. Setelah Khalifah Utsman bin Affan wafat, kaum Muslim Madinah memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah Islam secara langsung di Masjid Nabawi (Munawir Sjadzali, 1993: 21-32).

Masa khalifah sahabat yang empat tidak ada pola yang baku dalam menentukan cara pengangkatan atau syarat-syarat yang layak untuk menjadi khalifah. Hal ini kemudian menjadi bahan kritik dari Thaha Husein, mantan Menteri Pendidikan Mesir, bahwa dalam Islam Sunni (Ahlussunnah) tidak memiliki sistem politik dan pemerintahan yang jelas.

Ada yang menyatakan bahwa Islam memiliki sistem syura dalam menentukan kepemimpinan dan memiliki ahlu ikhtiyari (tim penasihat) dalam menata kehidupan msayarakat. Namun, menurut Thaha Husein, jika kaum Muslim memang benar mempunyai sistem tertulis tentang syura pasti kaum Muslim yang hidup pada masa Utsman bin Affan akan menggunakannya. Setidaknya untuk menyimpulkan sebuah keputusan agar tidak terjadi berbagai pertentangan. Ketika diselidiki ternyata tidak ada kejelasan sistem, tidak ada ketentuan siapa yang berhak dipilih, dan siapa yang menjadi pemilih. Bahkan tidak ada aturan, batas-batas yang mengatur peserta, dan kriteria untuk mendahulukan satu pendapat di atas pendapat lainnya.

Adapun kelompok kedua adalah orang-orang yang mengikuti keluarga Nabi (Ahlulbait) yang saat wafat Nabi Muhammad saw mengurus jenazahnya sampai selesai. Kelompok Islam ini meyakini bahwa kepemimpinan Islam jatuh kepada Ali bin Abi Thalib ra dan keturunannya berdasarkan wasiat Rasulullah saw. Karena itu, kelompok Ahlulbait atau Syiah ini dalam urusan politik atau kepemimpinan ditentukan berdasarkan nash (dalil-dalil).

Salah satu nash yang dijadikan pegangan mereka adalah hadits Ghadir Khum bahwa pada 18 Dzulhijjah 11 Hijriah, setelah melaksanakan haji terakhir (hajj al-wada`) Nabi Muhammad saw pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah bersama tujuh puluh ribu kaum Muslim dan berdiam pada satu tempat bernama Ghadir Khum (kini dekat dengan Juhfah). Rasulullah saw berkhutbah, menyampaikan pujian kepada Allah dan memberitahukan hidupnya tidak lama lagi.

Di tengah khutbah, Rasulullah saw menggandeng tangan Ali bin Abi Thalib ra dan bersabda:

“Barangsiapa mengangkatku sebagai Maula maka Ali adalah Maulanya pula (ia mengulang sampai tiga kali). Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang yang menyelamatkannya dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mana pun ia berpaling (jadikan ia pusat kebenaran)!.

“Ali adalah putra Abu Thalib, saudaraku, washi-ku, dan penggantiku (khalifah) dan pemimpin sesudahku. Kedudukannya bagiku bagaikan kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Ia adalah pemimpin kalian setelah Allah dan utusan-Nya.

“Hai, kaum Muslim! Sesungguhnya, Allah telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian. Ketaatan kepadanya wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar, orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan penduduk kota dan kaum pengembara, orang-orang Arab dari orang-orang bukan Arab, para majikan dan budak, orang-orang tua dan muda, besar dan kecil, juga putih dan hitam.

“Perintahnya harus kalian taati. Kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban bagi setiap orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang tidak mematuhinya dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya. Orang-orang yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang beriman. Wilayahnya (keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang Mahakuasa dan Mahatinggi wajibkan.”

Riwayat hadits Ghadir Khum ini terdapat dalam Ibnu Katsir kitab Al-Bidayah wa Al-Nihayah, At-Tirmidzi, dan Muslim. Kemudian Al-Qunduzi Al-Hanafi dalam Yanabi Al-Mawaddah meriwayatkan bahwa Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Wahai Jabir! Sesungguhnya para wasiku dan para imam selepasku pertamanya Ali kemudian Hasan kemudian Husain kemudian Ali bin Husain kemudian Muhammad bin Ali Al-Baqir. Anda akan menemuinya wahai Jabir sekiranya Anda mendapatinya; maka sampailah salamku kepadanya. Kemudian Ja'far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali. Kemudian Al-Qa'im, namanya sama dengan namaku dan kunyahnya sama dengan kunyahku, anak Hasan bin Ali. Dengan beliaulah Allah akan 'membuka' seluruh pelosok bumi di Timur dan di Barat, dialah yang ghaib dari penglihatan. Tidak akan percaya kepada imamahnya melainkan orang yang telah diuji hatinya oleh Allah Swt.” 

Kemudian Jabir berkata, “Wahai Rasulullah. apakah orang-orang bisa mengambil manfaat darinya ketika ghaibnya?”

Rasulullah saw menjawab, “Ya! Demi yang mengutus aku dengan kenabian sesungguhnya mereka mengambil cahaya dari wilayahnya ketika gaibnya seperti orang mengambil faedah dari matahari sekali pun ianya ditutupi awan.”

Menurut Jalaluddin Rakhmat, Syiah dalam strukur kepemimpinannya didasarkan pada ayat Al-Quran bahwa wilayah (kekuasaan) adalah hak Allah, hak Rasulullah, dan hak orang-orang beriman. “Sesungguhnya, penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (QS al-Ma’idah [5]: 55).  Jadi, kepemimpinan  Allah,  Rasul-Nya, dan  orang-orang  beriman  sebenarnya  satu  garis  dan  bersambung, yaitu mulai dari Allah sampai kepada Rasulullah kemudian kepada orang-orang beriman (Jalaluddin Rakhmat, 2011: 246). Orang-orang beriman dari keturunan Rasulullah saw yang dimaksud dengan imam atau khalifah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam dan memegang pemerintahan Islam. 

Khawarij dan Mutazilah 
Selain konsepsi politik Syiah (Ahlulbait) dan Sunni (Ahlussunnah), ada juga pandangan politik Khawarij dan Mutazilah. Kaum Khawarij, yang secara historis merupakan orang-orang yang keluar dari kelompok Ali bin Abi Thalib ra, mengakui keabsahan Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan pada tahun-tahun pertama pemerintahannya. Sedangkan masa pemerintahan menjelang akhir masa hidup mereka ditolak dan dianggap telah keluar dari aturan Allah.

Dalam menetapkan khalifah, Khawarij tidak menetapkan berdasarkan keturunan atau senior, tetapi pada kemampuan dan harus seorang Muslim yang berkebangsaan Arab dan merdeka. Karena itu, pengangkatannya diserahkan kepada umat Islam. Praktik politik ini dilakukan saat Perang Shiffin yang kemudian diakhiri dengan tahkim (perdamaian) yang menurunkan khalifah yang bertikai kemudian mengangkat khalifah baru melalui juru runding. Kalau sudah dipilih maka tidak boleh diturunkan atau dibunuh kecuali kalau menyeleweng dari aturan Allah. Prinsip yang mereka pegang adalah tidak ada hukum kecuali hukum Allah (Munawir Sjadzali, 1993: 217-218).

Tidak jauh berbeda dengan Mutazilah, yang menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan pilihan umat Islam. Mutazilah tidak menentukan suku, keturunan, atau senioritas. Mereka merujuk pada Al-Quran surah al-Hujurat ayat 13 bahwa yang termulia di hadapan Allah adalah yang paling berbakwa. Karena itu, orang yang diangkat menjadi khalifah harus orang bertakwa sehingga dapat menegakkan hukum Allah (Munawir Sjadzali, 993: 220). 

Dalam sejarah politik Islam, pandangan politik Mutazilah dan Khawarij tidak berpengaruh dalam pemerintahan Islam. Pola politik dan pemerintahan yang berkembang dalam pemerintahan Islam setelah pemerintahan Khulafa Rasyidun adalah pemerintahan yang dijabat secara turun temurun dan berbentuk kerajaan.

Awal abad modern muncul gerakan pembaruan Islam dan bangkitnya negeri-negeri yang dihuni umat Islam dari penjajahan Barat. Bersamaan dengan itu muncul gerakan politik Islam yang membentuk pemerintahan modern. Daulah Turki Utsmani  dihapuskan kemudian berganti dengan pemerintahan sekuler Republik Turki. Daulah Mughal di Anak Benua India pecah menjadi dua negara: India menjadi negeri Hindustan dan Pakistan menjadi negara Republik yang sistem demokrasi sebagai acuan dalam pemerintahannya. Kemudian beberapa negeri yang dihuni umat Islam ada yang masih tetap mempertahankan bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) seperti Arab Saudi, Maroko, Jordania, Malaysia, Brunei Darussalam, dan lainnya.

Selain yang bertahan dalam model pemerintahan lama (kerajaan) dan pemerintahan modern (Barat), ada Republik Islam Iran yang menggabungkan demokrasi dengan teologi imamah Syiah yang disebut pemerintahan Wilayah Faqih. ***

(Diambil dari buku SEJARAH POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:  Acarya Media Utama, Bandung, tahun 2010)