Agama
Islam tidak hanya berurusan dengan ibadah dan penyucian diri, tetapi juga
berkaitan dengan pengaturan hidup bermasyarakat agar tenteram dan makmur.
Rasulullah saw diturunkan tidak sebagai hanya pembawa risalah Islam atau supaya
orang-orang beriman kepada Allah, tetapi juga menata kehidupan masyarakat agar
menjadi lebih baik dan terarah serta sesuai dengan ketentuan Ilahiah.
Di
Makkah, Rasulullah saw menghimpun kekuatan dari orang-orang dhu’afa dan
kaum budak. Tidak kurang dari 80 orang yang menjadi pengikut Rasulullah saw.
Jumlah yang kecil itu dibina kemudian dikuatkan dengan digabungkan dengan
orang-orang Islam di Madinah. Dengan hijrah ke Madinah, orang-orang Islam dari
Makkah (Muhajirin) mendapatkan tempat dan bersatu dengan orang-orang Islam yang
tinggal di Madinah. Di kawasan baru inilah Nabi Muhammad saw membentuk
komunitas baru yang disebut ummah (umat Islam). Dengan kecerdasan dan
kewibaannya, Rasulullah saw berhasil menjadi pemimpin Madinah.
Ketika
menjadi pemimpin inilah Nabi Muhammad saw membuat perjanjian politik dengan
orang-orang Yahudi, Nasrani (Kristen), dan penduduk Madinah yang belum memeluk
Islam. Rasulullah saw membuat Piagam Madinah untuk mengatur hubungan di antara
sesama penduduk Madinah dan melakukan Perjanjian Hudaibiyah dengan orang-orang
Makkah. Rasulullah saw juga mengirimkan surat-surat untuk penguasa-penguasa
yang berada di luar Jazirah Arabia. Surat yang diberikan kepada penguasa bukan
sekadar ajakan dakwah, tetapi juga bermakna penegasan adanya pemerintahan di Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah saw.
Selama
memerintah Madinah, Nabi Muhamamd saw mengatur sahabat-sahabatnya untuk menjadi
sekretaris, penulis surat, pengambil zakat, pendakwah, pengatur administrasi,
dan panglima perang.
Apabila
Nabi Muhammad saw pergi ke luar Madinah, baik untuk urusan perang maupun dakwah
yang menghabiskan waktu lama, salah seorang sahabat ditunjuk untuk menjaga dan
mengatur urusan yang berkaitan dengan pemerintahan Madinah. Bahkan untuk urusan
ibadah seperti shalat dan zakat pun oleh Nabi Muhammad saw ditentukan orang
yang menjadi penanggungjawabnya. Hal ini menjadi bukti bahwa pengaturan
kehidupan umat Islam sangat diperhatikan oleh Rasulullah saw.
Pengaturan
dan kepemimpinan di Madinah yang dilakukan oleh Rasulullah saw ini dalam Dirasah
Islamiyyah disebut siyasah, yang artinya mengurusi suatu urusan, mengatur dan menata, melarang dan memerintah. Hal yang berkaitan dengan siyasah ini dalam istilah modern disebut politik.
Sesuai dengan asal katanya, politik berasal
dari bahasa Yunani, yaitu polis yang dapat berarti kota atau
negara. Di sebuah kota atau negara tentunya ada orang yang mengaturnya
atau mengurusi urusan masyarakat. Orang yang mengatur inilah disebut
pemimpin atau yang berkuasa. Di Madinah yang menjadi penguasa adalah Rasulullah
saw yang memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara
mengajak pada kebaikan, hidup tenteram, melenyapkan kejahatan, dan menetapkan
urusan kenegaraan, serta masa depan umat Islam.
Kelompok Sahabat dan Ahlulbait
Setelah Rasulullah saw wafat, umat Islam dalam sejarah terbagi dua: Sahabat dan Ahlulbait. Yang pertama adalah kelompok yang meninggalkan jenazah Nabi Muhammad saw kemudian berkumpul di Saqifah memilih seseorang untuk dijadikan pemimpinnya. Mereka ini terdiri dari para sahabat senior dari Anshar dan Muhajirin.
Dari
Saqifah inilah kemudian muncul khalifah yang memerintah Madinah setelah
Rasulullah saw. Mereka yang mengakui keabsahan peristiwa ini dikenal sebagai
pengikut Ahlussunnah (Sunni) karena menetapkan sahabat dan sunnah Rasulullah
saw sebagai pedoman setelah Al-Quran.
Sejarah
mencatat bahwa Abu Bakar bin Abi Quhafah menjadi Khalifah Islam hasil
musyawarah terbatas di Saqifah Bani Saidah. Setelah Abu Bakar meninggal dunia,
Umar bin Khaththab menjadi khalifah didasarkan pada wasiat Abu Bakar yang surat
wasiatnya ditulis oleh Utsman bin Affan. Ketika Umar akan meninggal dunia
segera membentuk dewan formatur (ahlu al-aqdi wa al-halli) yang diketuai
oleh Abdurrahman bin Auf dan memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah Islam
setelah Umar. Setelah Khalifah Utsman bin Affan wafat, kaum Muslim Madinah
memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah Islam secara langsung di Masjid
Nabawi (Munawir Sjadzali, 1993: 21-32).
Masa khalifah sahabat yang empat tidak ada pola yang baku
dalam menentukan cara pengangkatan atau syarat-syarat yang layak untuk menjadi
khalifah. Hal ini kemudian menjadi bahan kritik dari Thaha Husein, mantan
Menteri Pendidikan Mesir, bahwa dalam Islam Sunni (Ahlussunnah) tidak memiliki
sistem politik dan pemerintahan yang jelas.
Ada yang menyatakan bahwa Islam memiliki sistem syura
dalam menentukan kepemimpinan dan memiliki ahlu ikhtiyari (tim
penasihat) dalam menata kehidupan msayarakat. Namun, menurut
Thaha Husein, jika kaum Muslim memang benar mempunyai sistem tertulis tentang syura
pasti kaum Muslim yang hidup pada masa Utsman bin Affan akan menggunakannya. Setidaknya
untuk menyimpulkan sebuah keputusan agar tidak terjadi berbagai pertentangan.
Ketika diselidiki ternyata tidak ada kejelasan sistem, tidak ada ketentuan
siapa yang berhak dipilih, dan siapa yang menjadi pemilih. Bahkan tidak ada
aturan, batas-batas yang mengatur peserta, dan kriteria untuk mendahulukan satu
pendapat di atas pendapat lainnya.
Adapun
kelompok kedua adalah orang-orang yang mengikuti keluarga Nabi (Ahlulbait) yang saat wafat Nabi Muhammad saw mengurus jenazahnya sampai selesai. Kelompok Islam ini meyakini bahwa kepemimpinan
Islam jatuh kepada Ali bin Abi Thalib ra dan keturunannya berdasarkan wasiat Rasulullah
saw. Karena itu, kelompok Ahlulbait atau Syiah ini dalam urusan politik atau
kepemimpinan ditentukan berdasarkan nash (dalil-dalil).
Salah
satu nash yang dijadikan pegangan mereka adalah hadits Ghadir Khum bahwa
pada 18 Dzulhijjah 11 Hijriah, setelah melaksanakan haji terakhir (hajj
al-wada`) Nabi Muhammad saw pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah
bersama tujuh puluh ribu kaum Muslim dan berdiam pada satu tempat bernama
Ghadir Khum (kini dekat dengan Juhfah). Rasulullah saw berkhutbah, menyampaikan
pujian kepada Allah dan memberitahukan hidupnya tidak lama lagi.
Di
tengah khutbah, Rasulullah saw menggandeng tangan Ali bin Abi Thalib ra dan bersabda:
“Barangsiapa
mengangkatku sebagai Maula maka Ali adalah Maulanya pula (ia mengulang sampai
tiga kali). Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah
orang-orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah
orang-orang yang menyelamatkannya dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mana
pun ia berpaling (jadikan ia pusat kebenaran)!.
“Ali
adalah putra Abu Thalib, saudaraku,
washi-ku, dan penggantiku (khalifah) dan pemimpin sesudahku. Kedudukannya
bagiku bagaikan kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku.
Ia adalah pemimpin kalian setelah Allah dan utusan-Nya.
“Hai,
kaum Muslim! Sesungguhnya, Allah telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian.
Ketaatan kepadanya wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar,
orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan penduduk kota dan kaum
pengembara, orang-orang Arab dari orang-orang bukan Arab, para majikan dan
budak, orang-orang tua dan muda, besar dan kecil, juga putih dan hitam.
“Perintahnya
harus kalian taati. Kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban
bagi setiap orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang
tidak mematuhinya dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya. Orang-orang
yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang beriman. Wilayahnya
(keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang Mahakuasa dan Mahatinggi
wajibkan.”
Riwayat hadits Ghadir Khum ini terdapat dalam Ibnu
Katsir kitab Al-Bidayah wa Al-Nihayah, At-Tirmidzi, dan Muslim. Kemudian
Al-Qunduzi
Al-Hanafi dalam Yanabi Al-Mawaddah
meriwayatkan bahwa Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Wahai
Jabir! Sesungguhnya para wasiku dan para imam selepasku pertamanya Ali kemudian
Hasan kemudian Husain kemudian Ali bin Husain kemudian Muhammad bin Ali
Al-Baqir. Anda akan menemuinya wahai Jabir sekiranya Anda mendapatinya; maka
sampailah salamku kepadanya. Kemudian Ja'far bin Muhammad, kemudian Musa bin
Ja'far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin
Muhammad, kemudian Hasan bin Ali. Kemudian Al-Qa'im, namanya sama dengan namaku
dan kunyahnya sama dengan kunyahku, anak Hasan bin Ali. Dengan beliaulah Allah
akan 'membuka' seluruh pelosok bumi di Timur dan di Barat, dialah yang ghaib
dari penglihatan. Tidak akan percaya kepada imamahnya melainkan orang yang
telah diuji hatinya oleh Allah Swt.”
Kemudian
Jabir berkata, “Wahai Rasulullah. apakah orang-orang bisa mengambil manfaat
darinya ketika ghaibnya?”
Rasulullah
saw menjawab, “Ya! Demi yang mengutus aku dengan kenabian sesungguhnya
mereka mengambil cahaya dari wilayahnya ketika gaibnya seperti orang mengambil
faedah dari matahari sekali pun ianya ditutupi awan.”
Menurut
Jalaluddin Rakhmat, Syiah dalam strukur kepemimpinannya didasarkan pada ayat Al-Quran
bahwa wilayah (kekuasaan) adalah hak Allah, hak Rasulullah, dan hak orang-orang
beriman. “Sesungguhnya, penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah)” (QS al-Ma’idah [5]: 55). Jadi, kepemimpinan Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang beriman
sebenarnya satu garis
dan bersambung, yaitu mulai dari
Allah sampai kepada Rasulullah kemudian kepada orang-orang beriman (Jalaluddin
Rakhmat, 2011: 246). Orang-orang beriman dari keturunan Rasulullah saw yang
dimaksud dengan imam atau khalifah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam dan
memegang pemerintahan Islam.
Khawarij dan Mutazilah
Selain konsepsi politik Syiah (Ahlulbait) dan Sunni (Ahlussunnah), ada juga pandangan politik Khawarij dan Mutazilah. Kaum Khawarij, yang secara historis merupakan orang-orang yang keluar dari kelompok Ali bin Abi Thalib ra, mengakui keabsahan Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan pada tahun-tahun pertama pemerintahannya. Sedangkan masa pemerintahan menjelang akhir masa hidup mereka ditolak dan dianggap telah keluar dari aturan Allah.
Dalam
menetapkan khalifah, Khawarij tidak menetapkan berdasarkan keturunan atau
senior, tetapi pada kemampuan dan harus seorang Muslim yang berkebangsaan Arab
dan merdeka. Karena itu, pengangkatannya diserahkan kepada umat Islam. Praktik
politik ini dilakukan saat Perang Shiffin yang kemudian diakhiri dengan tahkim
(perdamaian) yang menurunkan khalifah yang bertikai kemudian mengangkat
khalifah baru melalui juru runding. Kalau sudah dipilih maka tidak boleh
diturunkan atau dibunuh kecuali kalau menyeleweng dari aturan Allah. Prinsip
yang mereka pegang adalah tidak ada hukum kecuali hukum Allah (Munawir Sjadzali, 1993: 217-218).
Tidak
jauh berbeda dengan Mutazilah, yang menegaskan bahwa kepemimpinan negara
merupakan pilihan umat Islam. Mutazilah tidak menentukan suku, keturunan, atau
senioritas. Mereka merujuk pada Al-Quran surah al-Hujurat ayat 13 bahwa yang
termulia di hadapan Allah adalah yang paling berbakwa. Karena itu, orang yang
diangkat menjadi khalifah harus orang bertakwa sehingga dapat menegakkan hukum
Allah (Munawir Sjadzali, 993: 220).
Dalam
sejarah politik Islam, pandangan politik Mutazilah dan Khawarij tidak
berpengaruh dalam pemerintahan Islam. Pola politik dan pemerintahan yang
berkembang dalam pemerintahan Islam setelah pemerintahan Khulafa Rasyidun adalah pemerintahan yang dijabat secara turun temurun
dan berbentuk kerajaan.
Awal
abad modern muncul gerakan pembaruan Islam dan bangkitnya negeri-negeri yang
dihuni umat Islam dari penjajahan Barat. Bersamaan dengan itu muncul gerakan
politik Islam yang membentuk pemerintahan modern. Daulah Turki Utsmani dihapuskan kemudian berganti dengan
pemerintahan sekuler Republik Turki. Daulah Mughal di Anak Benua India pecah
menjadi dua negara: India menjadi negeri Hindustan dan Pakistan menjadi negara
Republik yang sistem demokrasi sebagai acuan dalam pemerintahannya. Kemudian
beberapa negeri yang dihuni umat Islam ada yang masih tetap mempertahankan
bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) seperti Arab Saudi, Maroko, Jordania,
Malaysia, Brunei Darussalam, dan lainnya.
Selain
yang bertahan dalam model pemerintahan lama (kerajaan) dan pemerintahan modern
(Barat), ada Republik Islam Iran yang menggabungkan demokrasi dengan teologi
imamah Syiah yang disebut pemerintahan Wilayah Faqih. ***
(Diambil dari buku SEJARAH
POLITIK ISLAM karya Ahmad Sahidin. Penerbit:
Acarya
Media Utama, Bandung, tahun 2010)