Sabtu, 04 September 2021

Hermeneutika

“sejauh manusia tenggelam dalam dunia luar, dan telah mencapai kemajuan di sana; sejauh itu pula ia terasing dari dirinya sendiri, dan lupa pada hakikatnya sendiri”. (Alexis Carrel)            

DALAM studi hermeneutika, arti sebuah teks selalu lebih luas dari apa yang dimaksudkan oleh si penulis atau pemilik teks. Bahasa yang digunakan dalam teks, selalu tidak mengandung ketidaksadaran kolektif.

Karena itu, sikap kritis terhadap setiap fenomena menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan kebenaran. Meski sumber itu sakral harus didobraknya dengan penuh prasangka (prejudice). Sikap prejudice inilah yang menyebabkan Nasr Hamid Abu Zayd dan kalangan Muslim liberal menempatkan Al-Quran layaknya buku-buku biasa. Bahkan, hasil tafsir atau pemikiran mereka yang berkaitan dengan Al-Quran atau agama, bagi kaum Muslim konservatif dianggap menyimpang dan menuai protes karena lebih mementingkan pemaknaan yang bersifat kekinian.

Abu Zayd dan Muslim liberal dalam menafsirkan Al-Quran menggunakan hermeneutika. Standar kebenaran “tafsir” dengan pendekatan hermeneutika posisi kebenarannya bukan berada pada fakta, tetapi pada relativitas makna. Di sinilah masalah hermeneutika dipertentangkan karena “makna” bersifat subjektif.  

Mengapa subjektif? Karena posisi penafsir adalah seorang subjek yang memahami objek dengan pemahamannya sendiri. Setiap penafsir akan berbeda pemahamannya terhadap objek tafsirnya. Penafsir terdahulu, hasil tafsirnya berbeda dengan tafsir yang dihasilkan cendekiawan sekarang: meskipun sama-sama menafsirkan teks yang sama.

Mengapa demikian? Karena dalam hermeneutika posisi teks berdiri sendiri (otonom) sehingga memunculkan pemaknaan yang berbeda-beda. Tak ada yang sama. Malah akan selalu berbeda dan bersifat tidak mutlak karena produk pemikiran manusia: bukan produk Ilahi. Sesuatu yang tidak mutlak biasanya disebut tidak jelas karena tak ada yang menjadi standar. Ketidakjelasan ini karena tiap-tiap orang menyodorkan kebenaran dan makna yang berbeda. Akhirnya, tiap orang akan mengklaim bahwa “pendapat saya benar, Anda keliru”. Begitu seterusnya: tidak henti-henti, hingga kabur bak penglihatan mata yang rabun. Apa jadinya kalau semua tak jelas dan tak ada yang standar? 

Dalam hal inilah, Ernest Gellner mengkritik posmodernisme—khususnya hermeneutika sebagai alat kajian—yang cenderung membawa segalanya pada jurang relativisme dan subjektif karena dalam makna operasionalnya posmodernisme adalah penolakan terhadap fakta dan menggantikannya dengan kepentingan makna. Karena itu, ada dua penekanan dalam subjektifitasnya, yaitu ‘penciptaan dunia’ dan ‘kreasi-teks’. Wajar jika ada yang menyebut kalangan posmodernian sebagai generasi yang berkubang dalam penjara “dunia-sendiri” yang tidak menemukan titik kebenaran mutlak (objektif). Mereka, kata Gellner, mengalami kerumitan dan kesulitan untuk mentransendensi “makna” yang ada dan hanya akan mendapatkan ’kembara’ dalam lingkaran ‘makna tertutup’; di mana setiap orang secara mengerikan dan menyenangkan terpenjara di dalamnya. 

Gellner menyimpulkan bahwa relativisme dalam posmodernisme terisolasi satu sama lain karena hanya mengungkap mekanisme-mekanisme dan fungsi subjektivitas hingga membuat segalanya tidak pasti. Meskipun dengan melihat konteks  “asli”—dalam rangka menuju objektivitas—tidak akan pernah tercapai karena yang muncul adalah konteks “dunia” hasil rekonstruksi: bikinan-bikinan, dan dugaan yang tak pernah seobjektif dengan realitas yang sesungguhnya (asli). Yang ditangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas yang ada, yang bukan sesungguhnya. 

Kita sebagai makhluk yang hidup di dunia sesungguhnya (alam dunia) tidak menghendaki harus berkubang dalam ketidakpastian. Hidup bahagia, selamat dan sejahtera merupakan arah yang semua orang kejar, termasuk meraih kenikmatan pascakematian (akhirat). Yang penting saat ini, jangan sampai menderita penyakit megalomania, istilah Paul Valery menunjuk pada mereka yang mengkhayalkan dirinya sebagai orang yang agung dan mulia. Jangan sampai demikian! *** (AHMAD SAHIDIN)