Jumat, 10 September 2021

Belajar Islam dari Sumbernya

Islam sebagai agama memiliki sumber dalam setiap ajaran dan praktik beragama. Sumber utama dalam Islam adalah Allah dan Rasulullah saw.[1]

Kalau melihat Al-Quran sebagai sumber utama dari Allah bahwa yang diturunkan kepada para Nabi yang merupakan sumber dari ajaran agama Islam adalah Al-Kitab dan Al-Hikmah. Hal ini terdapat dalam surah Maryam ayat 12; Al-Baqarah ayat 129, 151, dan 231; Al-Jumuah ayat 2. Disebutkan bahwa Allah menurunkan Al-Kitab berupa Taurat, Zabur, dan Injil kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Kemudian menyebut Al-Kitab pula untuk risalah dan kitab suci (Al-Quran) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai Utusan Allah yang terakhir. Juga disebutkan para Nabi diberi Al-Hikmah oleh Allah, termasuk Nabi terakhir, sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalankan agamanya. Al-Hikmah ini kemudian dianggap sebagai As-Sunnah. Pendapat ini disandarkan kepada Muhammad Idris Asy-Syafii (Imam Syafii), “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.”[2]

Kalau berpegangan dengan pendapat tersebut maka setiap Nabi yang diutus di bumi memiliki sunnah masing-masing. Sampai sekarang ini dalam catatan sejarah belum ditemukan kumpulan tulisan sunnah dari Nabi Daud as, Nabi Musa as, dan Nabi Isa as. Yang digunakan agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani sekarang ini hanya al-kitab (kitab suci), bukan sunnah. Ke mana hilangnya kalau memang ada sunnah yang diajarkan Allah kepada mereka yang menjadi ajaran-ajaran agama?

Mungkin bisa dipahami bahwa Al-Hikmah ini merupakan pencerahan yang diberikan Allah yang bukan termasuk risalah utama dan pengetahuan yang bersifat pelajaran dari kejadian-kejadian yang bermanfaat bagi kehidupan manusiaJuga perlu disebutkan dalam agama Islam ada landasan lainnya, seperti Kitabullah wa Sunnati (Al-Quran dan Sunnah Nabawiyyah) dan Kitabullah wa Itrah Ahlulbait (Al-Quran dan Ahlulbait) sebagai sumber ajaran bagi umat Islam. Kemudian dalam buku Diskursus Ahl Al-Bayt Nabi Saw dalam Hadis karya Alwi Husein bahwa (selain yang disebutkan) terdapat hadis Kitabullah wa Annasabi (Al-Quran dan Keturunanku) sebagai rujukan beragama Islam. 

Ulama yang menyebutkan Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber Islam merujuk hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda,“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (sebuah telaga di surga).” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa secara mursal (tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Kemudian terdapat dalam At-Tamhid Syarh Al-Muwatta Ibnu Abdil Barr, Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, Jami’ As-Saghir As-Suyuthi, Al Faqih Al Mutafaqqih karya Al-Khatib, Shawaiq Al Muhriqah karya Ibnu Hajar, Sirah Ibnu HisyamAl- Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar-Riwayah wa Taqyid As-Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al-Ihkam karya Ibnu Hazm, dan Tarikh At-Thabari. Dari sejumlah kitab tersebut disebutkan hadits ‘Kitabullah wa Sunnati’ diriwayatkan dengan empat jalur sanad: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Amr bin Awf,dan Abu Said Al-Khudri.

Sayangnya, hadis ‘Kitabullah wa Sunnati’ ini tidak terdapat dalam Kutub As-Sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi) yang merupakan rujukan utama dalam masalah hadits. Bahkan, ada yang sampai menyatakan hadits tersebut termasuk dhaif. Meski tidak ada dalam kitab hadits yang utama dan disebut dhaif, tetapi sampai sekarang ini menjadi kebenaran umum di masyarakat Islam Indonesia.

Sementara hadits yang menyebutkan Kitabullah wa Itrah Ahlulbait sebagai sumber (pedoman) bagi umat Islam disebutkan dalam shahih Muslim no. 6378 /2408/ 4425.

حدثني زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنِ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِى أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِى يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- – قَالَ – يَا ابْنَ أَخِى وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّى وَقَدُمَ عَهْدِى وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِى كُنْتُ أَعِى مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لاَ فَلاَ تُكَلِّفُونِيهِ.
ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ». فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى »

“Berkata kepada kami Zuhair ibn Harb… Berkata kepadaku Zuhair…berkata Zaid ibn Arqam bahwa wahai putra saudaraku, ‘Demi Allah telah tua umurku, dan berlalu masaku dan telah lupa sebagian yang dimana aku telah mendengarnya dari rasulullah saw(beliau bersabda) apa-apa yang aku katakan kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang tidak (aku perintahkan) maka janganlah kamu menyalahiku dengannya.’ Kemudian dia berkata, ‘Suatu hari Rasulullah saw berdiri dan berkhutbah kemudian diseru (olehnya) kita di antara Makkah dan Madinah (Ghadir Khum) kemudian berhamdalah kepada Allah serta memuji-Nya kemudian menasihati serta bersabda, ‘Amma ba’du wahai manusia sesungguhnya saya adalah manusia hampir tiba saatnya datang utusan Tuanku, dan aku akan menjawabnya (maksudnya akan dipanggil Tuhannya) dan aku telah meninggalkan kepadamu tsaqalain (dua pusaka yang berat); yang pertama adalah Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya petunjuk dan cahaya; maka peganglah dengan kitabullah dan berkomitmen padanya’; (yang kedua) adalah Ahlulbaitku, aku ingatkan pada kalian dengan nama Allah mengenai ahlulbaitku. Aku ingatkan di depan Allah kepada kalian mengenai Ahlulbaitku, aku ingatkan di depan Allah pada kalian mengenai Ahlulbaitku.”

Hadits tersebut juga dimuat dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal, kitab Sunan At-Tirmidzi dengan sumber dari sahabat Nabi bernama Jabir ibn Abdullah dan dari Ali ibn Mundzir alkufi dari Zaid ibn Arqam, kitab Al- Mu’jam Al-Kabir (At-Thabrani) dengan sanad dari Ibnu Al-Fadhl As-Saqthi dari Sa’id Al-Ghifari, Muhammad ibn Abdillah Al-Hadhrami dari Hudzaifah ibn Asad Al-Ghifari, kitab Ad-Dur Almantsur karya Jalaludin As-Suyuthi dengan sanad dari Sa’id Al-Khudri dan dari Ahmad bin Hanbal dari Zaid ibn Tsabit.

Dari segi riwayat hadits Kitabullah wa Itrah Ahlulbait termasuk mutawatir (banyak diriwayatkan) dan orang-orang yang menyampaikannya (rawi) termasuk terpercaya berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim. Bahkan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Albany dalam kitab Silsilah Al-Hadits Al-Shahihah. Ayatullah Borujerdi menyebutkan lebih dari dua ratus kitab Sunni yang meriwayatkan hadis tersebut.[3]

Ayatullah Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa kedua hadis tersebut memiliki kemungkinan disampaikan Rasulullah saw dalam kesempatan yang berbeda. Muthahhari menulis: 

… kita tidak dapat menafikan kemungkinan Nabi saw bersabda  di kesempatan tertentu bahwa Nabi saw akan meninggalkan dua perkara: Kitab Allah dan sunahnya. Tidak ada perbedaan antara keturunan Nabi saw dan sunahnya, karena yang dapat menjelaskan sunahnya adalah keturunannya. Sedangkan eksistensi keturunannya dan sunahnya satu sama lain tidak terpisah. Keturunan beliaulah yang menjelaskan secara terperinci dan menjaga sunahnya. Bila Nabi saw menyebut keturunannya bersama kitab Allah, beliau bermaksud mengatakan bahwa kalau mau mengetahui sunahnya, rujuklah keturunannya. Bahkan pernyataan bahwa Nabi saw bersabda, ‘Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat yang berat: kitab Allah dan keturunanku’, itu sendiri sunnah. Karena itu, tidak ada perbedaan antara sunnah Nabi saw dan keturunan beliau. Kalau di satu tempat dan bahkan ini belum pasti, Nabi saw mengatakan, ‘Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat yang berat: kitab Allah dan sunnahku’, maka dibanyak tempat lainnya, beliau menggunakan ungkapan lain. Jika dalam satu kitab hadis ini ditulis dalam satu bentuk, pada dua ratus kitab lainnya ditulis dalam bentuk lain.”[4] 

Yang jelas dari rujukan hadis tersebut umat Islam setelah wafat Rasulullah saw terbelah menjadi dua umat besar: Syiah dan Sunni. Jika ditanya apa bedanya antara Sunni dan Syiah? Memang akan bingung untuk dijelaskan secara singkat karena dalam buku-buku begitu banyak yang dibahas dan perlu diuraikan terkait ikhtilaf mulai dari sejarah, akidah, hadis, tafsir, dan fiqih.

Secara global perbedaan esensial dari mazhab Syiah dan Sunni adalah mengenai kepemimimpinan agama (otoritas religius) setelah Rasulullah Saw yang layak dirujuk dan diteladani. Meski kedua mazhab ini bersumber dari Al-Quran dan mengambil rujukan Rasulullah Saw, tetapi bentuk pemahaman di antara penganutnya berkembang dalam sejarah umat Islam. Hingga kini masih terus dua mazhab ini dipersoalkan oleh orang-orang yang tidak ingin terwujud ukhuwah.

Mengenai dua mazhab ini, orangtua murid di sekolah dasar dan menengah saja sampai ramai bincang soal mazhab. Begitu juga di situs media sosial ramai bicara Sunni dan Syiah. Sampai ada yang berani bilang “Syiah bukan Islam”. Pasti yang bilang begitu tidak belajar sejarah dan belum tabayun kepada orang Muslim yang menganut mazhab Syiah.

Ketahuilah bahwa setiap omongan atau informasi harusnya dikritisi dahulu sebelum diyakini benar. Segera tabayun. Jika tentang mazhab Syiah, selayaknya bertanya kepada Muslimin pengikut Syiah, atau langsung datang kepada pengurus organisasi IJABI dan ABI.

Tabayun harusnya didahulukan! Jangan cukup dengar dari orang kemudian percaya. Lakukan tabayun alias konfirmasi karena jika tidak dilakukan maka berujung pada hoax dan fitnah. *** (Ahmad Sahidin, alumni UIN SGD Bandung)



[1] Dalam Al-Quran disebutkan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah” (Surah Al-Hasyr ayat 7).

[2] Dikutip dari hadits web, kumpulan & referensi belajar hadits, dalam http://opi.11omb.com/  bagian: As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Quran. 

[3] Murtadha Muthahhari, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam (Jakarta: Citra, 2012) halaman 613.

[4] Murtadha Muthahhari, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam  (Jakarta: Citra, 2012) halaman 614.