Selasa, 05 Februari 2019

Resensi buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran

Saya sudah lama membaca buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran karya Taufiq Adnan Amal. Mungkin sekira satu tahun lalu. Buku ini diterbitkan tahun 2013 oleh penerbit Alvabet Jakarta. Diberi pengantar oleh Prof Muhammad Quraish Shihab. Penulisnya, Taufiq Adnan Amal, seorang yang mendalami ulumul Qur'an dan tafsir, juga dosen di universitas di Makassar. Secara umum isi bukunya fokus pada Al-Quran dalam dimensi sejarah. Tidak mengupas ihwal doktrin maupun nilai-nilai Qurani. 

Penulis buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran menuangkan beberapa temuan atas kajiannya pada historisitas Al-Quran.

Pertama bahwa Al-Quran turun sebagai respons atas fenomena yang dihadapi Rasulullah Saw saat bertugas dakwah sampai wafatnya. Sekira 23 tahun Al-Quran turun kepadanya dan merespon beragam masalah di Makkah dan Madinah, serta mengabari kemenangan imperium Romawi setelah dikalahkan imperium Persia. Meski mengisahkan kisah para nabi terdahulu, bangsa-bangsa, tokoh-tokoh baik dan tokoh buruk sebelum Rasulullah Saw, atau beragam kejadian yang melibatkan umat Islam saat itu, yang dimuat dalam Al-Quran sebagai "dokumen" historis. Namun bukan sebagai data, hanya serpihan untuk digali kembali menjadi hikmah bagi umat Islam.

Penulis buku "Rekonstruksi Sejarah Al-Quran" membuktikan dengan menyebut ayat dan surah-surah Al-Quran yang memiliki Asbabun Nuzul. Menariknya dalam turunnya Al-Quran ini riwayat dari para sahabat meski beberapa surat memiliki urutan yang sama, tetapi jumlah ayat dan surah-surah sebelum hijrah ke Madinah dalam urutan ada perbedaan. Ditambah lagi versi dari orientalis yang dimuat dalam buku semakin menambah wawasan keragaman historitas Al-Quran. Ini memang menarik untuk dikaji kembali, terutama dari kajian kontemporer dari para ulama yang menekuni studi Al-Quran.

Kedua bahwa disebutkan "Muhammad tidak pernah berkeinginan menjadi nabi atau secara sadar mempersiapkan diri untuk itu" (hal.24). Moral dari Muhammad dikenal mulia karena tempaan masa kecil yang mengalami derita sehingga memiliki kepekaan yang tinggi pada umat yang mengalami penderitaan. Budi pekerti yang halus dan luhur yang diperankan sebelum menjadi Nabi merupakan sikap-sikap yang didasarkan atas fenomena dan pengalaman orang sezaman yang dilihatnya. Nuraninya terasah sehingga tumbuh sikap moral, yang mengingatkan penduduk Makkah pada "memori" yang turun temurun diceritakan melalui lisan dari para leluhurnya meski tidak berbentuk utuh karena tidak ada tradisi tulis menulis. Apalagi garis keturunan ke atas dari Muhammad dikenal sebagai tokoh dan kaum terhormat.

Ketiga adalah terkait dengan data yang dimuat oleh al-Baladzuri (sejarawan, wafat 892 M.) bahwa hanya 17 laki-laki dan segelintir perempuan yang mengetahui tulis menulis. Menurut penulis buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran bahwa masyarakat yang terbiasa dalam perdagangan tentu memiliki catatan dan menuliskan barang penjualannya. Apalagi sampai keluar kawasan Makkah tentu yang memiliki kepandaian tulis menulis dan membaca, pasti jumlahnya lebih dari yang disebutkan al-Baladzuri.  Dalam Al-Quran disebut orang yang terlibat bisnis mesti dicatat, bahkan dalam urusan utang piutang. Dalam sejarah ada beberapa sahabat yang disebutkan dapat tugas menulis wahyu dan para tahanan perang dari pihak musuh bisa dibebas jika berhasil mengajari baca tulis orang-orang Islam. Dengan fakta itu, penulis buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran menyimpulkan: "Adalah mustahil bila Al-Quran berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang tidak dimengerti masyarakat Arab ketika itu, karena hal ini akan membuat pesan-pesan ketuhanan yang didakwahkannya tidak mencapai sasaran yang dikehendaki" (hal.139).

Keempat tentang riwayat pengumpulan Al-Quran pertama dilakukan Ali bin Abi Thalib ra setelah wafat Rasulullah Saw dan yang direkomendasikan oleh Nabi agar menyatukan lembaran catatan wahyu menjadi mushaf yang utuh. Menurut penulis buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran bahwa "berbagai riwayat tentang pengumpulan yang dilakukan Ali di atas pada hakikatnya bukanlah riwayat yang dapat dipercaya" (hal.149) karena "dari segi kandungannya, laporan-laporan tentang pengumpulan Ali ini bertentangan secara diametral dengan seluruh  kenyataan yang pasti dalam sejarah" (hal.149). Tentu saja bagian ini menampakkan keberadaan dan posisi seorang penulis buku “Rekonstruksi Sejarah Al-Quran” dalam urusan mazhab. Tidak bisa ditolak bahwa seorang manusia dalam bertindak atau menyampaikan gagasan/pemikiran senantiasa dilingkupi dengan subjektivitas. Dan ini wajar karena dalam kajian keilmuan dan studi sejarah tidak ada yang final. Karena itu, diperlukan studi lanjutan atas sikap curiga dari penulis buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran atas riwayat pengumpulan Al-Quran yang dihubungkan kepada Imam Syiah pertama: Ali bin Abi Thalib ra. Kemudian dalam buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran disebutkan sebelum mushaf utsmani terdapat 15 Mushaf dihimpun oleh generasi sezaman dengan Nabi Muhammad saw dan 13 mushaf Al-Quran setelah tadwin mushaf utsmani (hal.174-175).

Demikian sementara yang bisa saya bagikan. Mohon maaf menghentikan membacanya tidak sampai tuntas. Buku tersebut di atas 200 halaman dan mungkin suatu hari nanti saya akan tertarik lagi membacanya sehingga melanjutkan review-nya. *** (ahmad sahidin)