Saya sudah lama membaca buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran karya
Taufiq Adnan Amal. Mungkin sekira satu tahun lalu. Buku ini diterbitkan tahun
2013 oleh penerbit Alvabet Jakarta. Diberi pengantar oleh Prof Muhammad Quraish
Shihab. Penulisnya, Taufiq Adnan Amal, seorang yang mendalami ulumul Qur'an dan
tafsir, juga dosen di universitas di Makassar. Secara umum isi bukunya fokus
pada Al-Quran dalam dimensi sejarah. Tidak mengupas ihwal doktrin maupun
nilai-nilai Qurani.
Penulis buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran menuangkan
beberapa temuan atas kajiannya pada historisitas Al-Quran.
Pertama bahwa Al-Quran turun
sebagai respons atas fenomena yang dihadapi Rasulullah Saw saat bertugas dakwah
sampai wafatnya. Sekira 23 tahun Al-Quran turun kepadanya dan merespon beragam
masalah di Makkah dan Madinah, serta mengabari kemenangan imperium Romawi
setelah dikalahkan imperium Persia. Meski mengisahkan kisah para nabi
terdahulu, bangsa-bangsa, tokoh-tokoh baik dan tokoh buruk sebelum Rasulullah
Saw, atau beragam kejadian yang melibatkan umat Islam saat itu, yang dimuat
dalam Al-Quran sebagai "dokumen" historis. Namun bukan sebagai data,
hanya serpihan untuk digali kembali menjadi hikmah bagi umat Islam.
Penulis buku
"Rekonstruksi Sejarah Al-Quran" membuktikan dengan menyebut ayat dan
surah-surah Al-Quran yang memiliki Asbabun Nuzul. Menariknya dalam turunnya
Al-Quran ini riwayat dari para sahabat meski beberapa surat memiliki urutan
yang sama, tetapi jumlah ayat dan surah-surah sebelum hijrah ke Madinah dalam
urutan ada perbedaan. Ditambah lagi versi dari orientalis yang dimuat dalam
buku semakin menambah wawasan keragaman historitas Al-Quran. Ini memang menarik
untuk dikaji kembali, terutama dari kajian kontemporer dari para ulama yang
menekuni studi Al-Quran.
Kedua bahwa disebutkan
"Muhammad tidak pernah berkeinginan menjadi nabi atau secara sadar
mempersiapkan diri untuk itu" (hal.24). Moral dari Muhammad dikenal mulia
karena tempaan masa kecil yang mengalami derita sehingga memiliki kepekaan yang
tinggi pada umat yang mengalami penderitaan. Budi pekerti yang halus dan luhur
yang diperankan sebelum menjadi Nabi merupakan sikap-sikap yang didasarkan atas
fenomena dan pengalaman orang sezaman yang dilihatnya. Nuraninya terasah
sehingga tumbuh sikap moral, yang mengingatkan penduduk Makkah pada
"memori" yang turun temurun diceritakan melalui lisan dari para
leluhurnya meski tidak berbentuk utuh karena tidak ada tradisi tulis menulis.
Apalagi garis keturunan ke atas dari Muhammad dikenal sebagai tokoh dan kaum
terhormat.
Ketiga adalah terkait dengan
data yang dimuat oleh al-Baladzuri (sejarawan, wafat 892 M.) bahwa hanya 17
laki-laki dan segelintir perempuan yang mengetahui tulis menulis. Menurut
penulis buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran bahwa masyarakat yang terbiasa dalam
perdagangan tentu memiliki catatan dan menuliskan barang penjualannya. Apalagi
sampai keluar kawasan Makkah tentu yang memiliki kepandaian tulis menulis dan
membaca, pasti jumlahnya lebih dari yang disebutkan al-Baladzuri. Dalam
Al-Quran disebut orang yang terlibat bisnis mesti dicatat, bahkan dalam urusan
utang piutang. Dalam sejarah ada beberapa sahabat yang disebutkan dapat tugas
menulis wahyu dan para tahanan perang dari pihak musuh bisa dibebas jika
berhasil mengajari baca tulis orang-orang Islam. Dengan fakta itu, penulis buku
Rekonstruksi Sejarah Al-Quran menyimpulkan: "Adalah mustahil bila Al-Quran
berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang tidak dimengerti masyarakat Arab ketika
itu, karena hal ini akan membuat pesan-pesan ketuhanan yang didakwahkannya tidak
mencapai sasaran yang dikehendaki" (hal.139).
Keempat tentang riwayat
pengumpulan Al-Quran pertama dilakukan Ali bin Abi Thalib ra setelah wafat
Rasulullah Saw dan yang direkomendasikan oleh Nabi agar menyatukan lembaran
catatan wahyu menjadi mushaf yang utuh. Menurut penulis buku Rekonstruksi
Sejarah Al-Quran bahwa "berbagai riwayat tentang pengumpulan yang
dilakukan Ali di atas pada hakikatnya bukanlah riwayat yang dapat
dipercaya" (hal.149) karena "dari segi kandungannya, laporan-laporan
tentang pengumpulan Ali ini bertentangan secara diametral dengan seluruh
kenyataan yang pasti dalam sejarah" (hal.149). Tentu saja bagian ini
menampakkan keberadaan dan posisi seorang penulis buku “Rekonstruksi Sejarah
Al-Quran” dalam urusan mazhab. Tidak bisa ditolak bahwa seorang manusia dalam
bertindak atau menyampaikan gagasan/pemikiran senantiasa dilingkupi dengan
subjektivitas. Dan ini wajar karena dalam kajian keilmuan dan studi sejarah
tidak ada yang final. Karena itu, diperlukan studi lanjutan atas sikap curiga
dari penulis buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran atas riwayat pengumpulan
Al-Quran yang dihubungkan kepada Imam Syiah pertama: Ali bin Abi Thalib ra.
Kemudian dalam buku Rekonstruksi Sejarah Al-Quran disebutkan sebelum mushaf
utsmani terdapat 15 Mushaf dihimpun oleh generasi sezaman dengan Nabi Muhammad
saw dan 13 mushaf Al-Quran setelah tadwin mushaf utsmani (hal.174-175).
Demikian sementara yang bisa
saya bagikan. Mohon maaf menghentikan membacanya tidak sampai tuntas. Buku
tersebut di atas 200 halaman dan mungkin suatu hari nanti saya akan tertarik
lagi membacanya sehingga melanjutkan review-nya. *** (ahmad sahidin)