Sabtu, 06 Januari 2018

Aforisme Sang Pendosa

Saya tahu diri ini berdosa. Saya pendosa. Akibat laku tangan dan mata. Akibat laku lisan dan tulisan. Akibat khayalan-khayalan tidak etis yang berbayang dalam pikiran.

Sungguh diri ini belum bisa lepas dari dosa. Sebuah laku yang keluar dari nilai-nilai kemuliaan dan penyucian jiwa.

Kenapa dan mengapa? Ya, problemnya ada pada jiwa yang tidak terkendali. Bohong, tipu menipu, menghina, menyepelekan, sombong dengan ilmu, buruk sangka, mengumpat, berkhayal, dan "perilaku diri" negatif lainnya yang non gerakan fisik, adalah bisa dianggap penyakit jiwa yang hanya diketahui diri sendiri dan tentunya malaikat serta Allah. Juga kabarnya Nabi Muhammad Saw beserta waliyullah dari keturunan Nabi mengetahui segala laku dan perbuatan dari setiap umatnya.

Kembali lagi pada diri yang dosa. Kalau "perilaku diri" non gerakan fisik berbentuk material sudah pasti akan mudah dikenali oleh orang. Biasanya kalau dikenali maka si empunya "perilaku diri" yang negatif itu akan malu. Apalagi diketahui oleh banyak orang, termasuk keluarga. Namun karena tidak berbentuk material dan tidak empiris, sehingga dengan tenang si empunya "perilaku diri" negatif itu akan semakin kebal. Apalagi jika terus dilakukan dengan berbagai alasan "rasional" seperti faktor-faktor manusiawi berupa "kebutuhan" yang mendesak (darurat).

Mungkin satu kali dilakukan muncul rasa salah. Namun, rasa bersalah itu akan hilang dengan sendirinya saat si empunya "perilaku diri" negatif non fisik itu melakukannya berkali-kali tanpa dihentikan atau dibuat sampai jera. Bagian ini cukup sulit ditangani kecuali oleh si empunya diri dengan penuh sadar bahwa yang dilakukannya adalah dosa. Ah, sadar, ini juga yang biasanya ditundukkan dengan alasan manusiawi dan desakan dari pembisik yang ahli (setan).

Berlindung kepada Tuhan sebagai solusi yang diajarkan agama. Tapi memang tidak semudah membalik telapak tangan. Ini yang menjadi tafakur diri dari sang pendosa.

 Ya... Tuhan, cerahkan saya dan jauhkan dari laku yang berbuah dosa.