Mulanya saya mengira hidup bukan persoalan. Namun ketika
direnungkan tampak sebuah persoalan yang jelimet. Saya beranggapan bahwa hidup
tidak lebih dari lingkaran yang kembali dari awal ke akhir dan kembali lagi ke
awal kemudian ke akhir lagi. Begitu seterusnya.
Siklus itu yang terasa pada
keseharian saya dan mungkin manusia lainnya.
Bangun pagi, mandi, makan, beraktivitas (sekolah atau kerja),
bersantai, ngobrol, ibadah, dan akhirnya tidur. Esoknya kembali seperti semula.
Inilah dimensi hidup yang menghidupkan sekaligus mematikan. Sebab senantiasa
memunculkan hal yang sama dan terulang kembali.
Saya pusing dengan hal di atas, hingga suatu ketika tidak dapat berbuat apa-apa selain tidak tahu, saking mistisnya. Namun apa yang saya alami dan rasakan, ternyata dialami dan dirasakan pula oleh seseorang yang bernama Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialisme Jerman. Ia dikabarkan seorang theis. Tidak seperti Jean Paul Sartre, Albert Camus, atau Nietszche yang dikatakan atheis.
Heidegger dilahirkan di kota Messkirch pada 26 September 1889
dan wafat tahun 1976. Ia dikisahkan pernah terlibat dengan Gereja Katolik
sekaligus menjadi pendukung Nazisme-Hitler. Juga seorang profesor yang
disenangi mahasiswinya, yang bernama Hannah Arendt (filusuf politik besar yang
hidup 1906-1975) yang kemudian terjadi "hubungan" tanpa nikah dengannya.
Karena mahasiswi itu pula Heidegger rela membuat
puisi-puisi yang diberikan sebagai tanda cinta. Karena takut mengalami
bentrokan keluarga, Heidegger yang tua pergi ke sebuah tempat yang jauh dari
peradaban kota dan menetap di pondok Todtnaw-Berg.
Di tempat sepi ini ia menghabiskan waktu kesehariannya dalam
keheningan. Dari tempat itu Heidegger menghasilkan karya Sein und Zeit, sebuah karya
yang berbicara perkara keseharian yang ia alami: sakit, takut, cemas, terasing,
bahagia, dan lainnya.
Yang menarik pada buku Sein und Zeit, adalah persoalan eksistensi dan
kecemasan. Kecemasan adalah proses untuk masuk pada eksistensi diri yang ada
dan ketiadaan sebenarnya tidak ada, karena yang sesungguhnya disebut tiada adalah
penampakan dari yang disebut ada.
Dari ketiadaan itulah yang menunjukan ke-ada-an dalam
ketidaknampakan di dalam waktu, dan itu sebabnya waktu dan ke-ada-an yang dikemukakan
Martin Heidegger dianggap sebagai proses untuk “hidup” dalam keberadaan yang
nampak, atau mencoba menikmati apa yang sesungguhnya telah hadir dan tampak
pada hidup kita.
Apakah ini yang disebut (teologi) predestination yang kerap
menelantarkan manusia untuk tetap tinggal dalam keberadaannya; seada-adanya,
sa-ayana? Jika ini yang dimaksudkannya, maka tak salah lagi bila sikap pasif
dan disprogressif adalah menjadi jargon-jargon yang sengaja dihidupkan.
Dan tentunya bila ini diterima maka hidup bukan lagi sebagai
dinamika, tetapi stagnasi yang mau tidakk mau harus diterima.
“Sebab takdir adalah otoritas sang tiran untuk berbuat jahat dan dalih si bodoh bagi kegagalannya,” begitu kata Amborse Bierce (1842-1914).
“Sebab takdir adalah otoritas sang tiran untuk berbuat jahat dan dalih si bodoh bagi kegagalannya,” begitu kata Amborse Bierce (1842-1914).
Benarkah Heidegger menganjurkan hidup demikian? Eksistensi bukan
insistensi. Itu sebabnya manusia senantiasa mengatasi dirinya sendiri dengan
transendensi atas dirinya sendiri atau sebuah upaya memahami yang berdasar pada
masa silam, keseharian dan rencana ke depan. Dengan cara itu hidup senantiasa diatasi
dengan membuat transendensi atas ke-ada-annya. Inilah eksistensialisme
Heidegger yang mencoba menentukan faktisitas sebagai bingkai bergeraknya
eksistensi, yang seakan-akan terlempar di dunia karena bukan hasil penentuan
sendiri. Ini pula yang menjadi alasan bagi semua interfretator yang ingin
menghadirkan semua bentuk pengalaman lain.
Heidegger tampaknya sedang mewartakan bahwa pemahaman (verstehen)
bukan sekadar peristiwa kejiwaan, tetapi suatu proses ontologis: “penguakkan”
(mukasyafah) atas pelbagai hal. Di sini, sudah ada ikhtiar untuk berada dalam
suatu jaringan keseluruhan yang saling menunjuk atau memungkinkan terbukanya
“sesuatu” yang dilihat sebagai “ini” atau sebagai “itu”.
Keterbukaan inilah yang disebutnya verstehen, yang terutama
bermula dari vorhabe (yang sudah dipunyai sebelumnya), vorsicht (yang
sudah dilihat sebelumnya), dan vorgrieff (dan yang sudah ditangkap sebelumnya).
Karena itu, Heidegger memahami manusia sebagai makhluk yang
tidak pernah hidup di masa kini, tapi juga dari masa lalu hingga ingin ke masa
depan. Manusia yang hidup di masa kini senantiasa berada antara masa silam dan
masa depan. Yang dipenuhi dengan rencana dan kemungkinan-kemungkinan yang
dipikirkan untuk sampai pada hakikat manusia itu sendiri.
Jadi, eksistensi bukan insistensi adalah cara berada khas
manusia. Bahwa manusia bukan sebagaimana benda yang berada di dalam dirinya
sendiri, tetapi berada untuk ke luar dari dirinya. Sekaligus bisa mengatasi
dirinya dengan menciptakan dan membuat transendensi atas dirinya sendiri. Maka
dari itu bentangkanlah cita-cita, harapan dan mimpi; walau pun itu hanya
rencana masa depan.
(Ahmad Sahidin)
(Ahmad Sahidin)