PADA
abad ke-18 dan 19 M, di Jerman berkembang Historical
Critical Method (HCM). Dengan metode ini, sumber-sumber sejarah dilihat
dengan sikap kritis. Sumber sejarah diterima dengan sejumlah pertanyaan.
Default dari sumber sejarah adalah palsu, sampai ia terbukti benar. Sejarahwan
harus memulai penelitiannya dengan meragukan otentisitas dan reliabilitas
sumber sejarah. Peneliti sejarah harus menepis sampah-sampah sejarah, menggali
lebih dalam, sehingga ia menemukan di balik reruntuhan pemalsuan,—menurut
sejarahwan besar dari Jerman, Leopold von Ranke—wie es eigentlich gewesen, apa yang benar-benar terjadi. Verifikasi
dengan prinsip konsistensi, analogi, dan disimilaritas.
Bermula
dari studi filologis tentang bahasa Latin, para peneliti sejarah menemukan
metode untuk meneliti
otentisitas dan reliabilitas
sumber sejarah dari anakronisme
dan inkonsistensi dalam teks. Mazhab historiografi ini, yang kemudian disebut
sebagai mazhab sejarah Jerman, menegakkan penelitian sejarah mereka di atas
keraguan a priori terhadap
reliabilitas tekstual. Ragukan dahulu keaslian dan kebenaran sumber sejarah
itu. Baru setelah itu dibangun naratif sejarah berdasarkan sumber sejarah yang
sudah disaring melalui tes anakronisme dan inkonsistensi. Bersamaan dengan
teknik mengidentifikasi inkonsistensi, Mazhab Jerman juga
mengemukakan prinsip analogi.
Walaupun masa lalu dipisahkan dari kita secara
temporal dan kultural, sistem sosial mereka tidak berbeda dengan sistem sosial
kita sekarang. Ada hukum-hukum sosial yang berlaku abadi. Misalnya, individu
dan kelompok pada waktu dulu berfungsi seperti individu dan kelompok pada zaman
sekarang; interaksi sosial didorong oleh kepentingan dan motif-motif duniawi.
Kita bisa menganalisis peristiwa-peristiwa masa lalu dengan membandingkannya
dengan peristiwa-peristiwa pada masa sekarang.
Di
samping teknik mengidentifikasi anakronisme dan inkonsistensi, serta prinsip
analogi, HCM menggunakan teknik yang mereka sebut Principle of Dissimilarity. Menurut Jacob Perizonius (meninggal
1715), principles of dissimilarity
menetapkan bahwa laporan yang tampaknya menentang atau berlawanan dengan
ortodoksi besar kemungkinan benar, karena tidak ada orang yang menduga bahwa
ortodoksi membuat-buat laporan itu.
Kajian Hadis
Menurut
Jonathan A.C. Brown—yang saya jadikan rujukan utama pada bagian ini—prinsip
pertama dengan asumsi a priori
meragukan otentisitas hadis bertentangan dengan penelitian hadis di kalangan
kaum muslim. Default dari penelitian hadis adalah menerima otentisitas dan
reliabilitas hadis, kecuali kalau ada keraguan besar yang membuat kita
“terpaksa” meneliti kebenaran hadis.
Dilaporkan
bahwa Imam Ahmad bin Hanbal memilih untuk menerima hadis yang diragukan
kesahihannya daripada menggunakan ra’yu.
Apalagi di kalangan umat Islam sudah beredar “kepercayaan” bahwa hadis yang
beredar di antara mereka sudah disaring oleh para ahli hadis terdahulu dengan
sangat ketat.
Masih menurut
Brown, principle of analogy bertentangan dengan keyakinan Ahlus Sunnah
bahwa zaman Nabi Muhammad saw adalah zaman kesucian, bebas dari segala
keburukan umat manusia, dan bahwa para shahabat tidak bercacat dan tidak akan
berbohong atau berbuat salah. Konon Nabi saw bersabda, “Generasi yang paling
baik adalah yang sezaman denganku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang
berikutnya.” Prinsip dissimilaritas—kali ini menurut saya—bertentangan dengan
asumsi bahwa kelompok yang benar adalah kelompok mayoritas—atau jumhur—dan
kelompok yang berbeda dengan jumhur adalah syādz¸ yang kemudian diartikan
menyimpang atau bahkan sesat. Tidak mengherankan, ketika para sarjana Barat menerapkan
metode kritis sejarah ini untuk penelitian hadis, yang pertama kali mereka
“temukan” ialah keraguan terhadap otentisitas hadis. Hampir semua hadis adalah
palsu. Hampir semua riwayat kehidupan Nabi saw meragukan. Goldziher, yang
didukung oleh Caetani dan Lammens, menyimpulkan hasil penelitian hadis dengan
mengatakan, “Das hadīț wird uns nicht als Dokument fűr die Kindheitgeschichte des
Islam, sondern als Abdruck der in der Gemeinde hervortretenden Bestrebungen aus
der Zeit seiner reiferen Entwickelungsstadien dienen.”
Menurut
Goldziher, ada empat motif—sekaligus empat tahap—membuat hadis. Motif awal adalah
politik; Dinasti ‘Umayyah
menciptakan hadis-hadis untuk
memberikan legitimasi pada pemerintahannya. Motif kedua berhubungan dengan
hukum; para ahli hukum menetapkan hukum dan kemudian memberikan dasar
pada ketetapan hukumnya dengan mengutip (kadang-kadang membuat)
hadis. Motif ketiga
bersifat sektarian; setiap mazhab membuat hadis untuk memenangkan
mazhab mereka di atas mazhab yang lain. Karena sabda Nabi saw bersifat
otoritatif, maka tidak ada satu pun mazhab yang tidak tergoda untuk memalsukan
hadis. Motif terakhir adalah motif komunal atau historis; hadis dibuat untuk
membantu masyarakat memberikan makna pada berbagai peristiwa sejarah. Termasuk
pada bagian terakhir ini adalah hadis-hadis yang berisi nubuat tentang apa yang
akan terjadi sepeninggal Nabi saw.
Buat Goldziher,
otentisitas isnād dan
matn sama sekali
tidak bisa dibuktikan. Walaupun
ia masih percaya bahwa di tengah-tengah kepalsuan masih terdapat hadis-hadis
yang benar, mana yang asli sulit untuk diketahui. Serangan terhadap isnād hadis
diguncangkan lagi lebih telak oleh Joseph Schacht. Goldziher dan Schacht
mendirikan mazhab khusus: meragukan otentisitas isnād dan matn. Mereka
berdua—terutama Schacht—menggunakan lebih banyak analisis isnād ketimbang matn.
Dalam hal ini, Goldziher lebih memberikan kemungkinan otentisitas matn
ketimbang Schacht. Dalam hal skeptisisme, mereka didukung oleh Cook dan Calder.
Abbot, Sezgin, dan Azami mendukung reliabilitas baik isnād maupun matn.
Ketiganya, dengan dukungan Motzki, Horovitz, dan Fuck, mengusung mazhab kedua, yang
berlawanan dengan pihak Goldziher. Menurut Herbert Berg:
In a qualified manner, Motzki, Horovitz,
and Fűck support their (Abbot, Sezgin, Azami-JR) basic acceptance of the
material. As for Juynboll, Rahman, Robson, and Coulson, they seem willing to
jettison any notion of reliability when it comes to the isnāds. However, each
scholar in his own way argues that the matns nevertheless contain the gist,
spirit, or essence of what
they claim to
report. Rubin argues
just the opposite: He doubts the authenticity of the
matns, but not so much the isnāds. For Schoeler, given the nature of the
transmission of this material, it is a
moot point.
Empat Pendekatan Historiografi Islam
Untuk
menggunakan bahan-bahan mentah dari sumber-sumber sejarah, para sejarahwan
menggunakan empat pendekatan. Pendekatan pertama: DESCRIPTIVE APPROACH, yaitu
menerima gambaran tradisional tentang masa awal Islam seperti yang
dipresentasikan oleh sumber-sumber Muslim. Buat peneliti historis Barat,
pendekatan ini lebih maju dari pendekatan awal yang etnosentris. Tiga asumsi
menjadi dasar pendekatan deskriptif:
(1) Al-Quran menjadi
dokumen berharga untuk mengungkap
kehidupan Nabi saw; (2) akhbar (catatan sejarah) yang berbentuk naratif dapat
dipercaya untuk merekonstruksi sejarah Islam awal; (3) hadis tidak relevan
untuk merekonstruksi sejarah Islam yang awal. Munculnya sumber-sumber sejarah
baru membuat pendekatan pertama ini tidak lagi dapat diandalkan. Ternyata,
makin banyak sumber dirujuk, makin banyak kontradiksi, kejanggalan, absurditas,
dan bias-bias sektarian.
Pendekatan
kedua: SOURCE CRITICAL APPROACH, dimaksudkan untuk meluruskan pendekatan pertama.
Dengan metode kedua ini, absurditas logis dan kontradiksi-kontradiksi paten
dijelaskan dengan menghimpun semua sumber dan membandingkannya secara kritis.
Pada kedua pendekatan ini, hadis tidak diperhitungkan sebagai sumber sejarah.
Pendekatan
ketiga: TRADITION-CRITICAL APPROACH, yaitu menengok hadis tetapi dengan
pandangan yang sangat kritis. Mereka melihat hadis sebagai hasil dari proses
evolusi sepanjang waktu yang dipengaruhi oleh masalah-masalah politik,
teologis, dan sosial pada saat peristiwa sejarah itu dikisahkan. Di balik
“puing-puing” sampah sejarah pasti ada “kernel of historical facts”. Tugas
mu’arrikh ialah menggali dan mengungkapkan inti dari fakta sejarah tersebut.
Upaya mu’arrikh
untuk menemukan “inti
historis” itu ternyata sangat
sulit. Sebagian sejarahwan menolak semua sumber sejarah itu dan mencarinya di
tempat lain. Sebagian lagi malah menyarankan tidak perlu mencarinya ke mana
pun. Semua sumber sejarah Islam, bagi kelompok ini, tidak ada gunanya sama
sekali. Mereka adalah pengikut SKEPTICAL APPROACH. Dalam penelitian ini, saya
mengambil tradition-critical approach, dengan sedikit sentuhan
skeptical approach. Salah satu di antara warisan ‘ulūm al-hadīts ialah
menilai otentisitas dan reliabilitas hadis dengan menggunakan ilmu al-jarh
wa al-ta’dīl. Bila
para peneliti Barat
kebanyakan menaruh perhatian pada
kajian isnad, sedikit pada kajian matn,
para peneliti hadis Muslim hampir tidak memperhatikan kajian matn (sebagai petunjuk akan otentisitas hadis)
dan umumnya memusatkan perhatian mereka pada kajian asma al-rijal.