Rabu, 01 November 2017

Memahami Historical Critical Method

PADA abad ke-18 dan 19 M, di Jerman berkembang Historical Critical Method (HCM). Dengan metode ini, sumber-sumber sejarah dilihat dengan sikap kritis. Sumber sejarah diterima dengan sejumlah pertanyaan. Default dari sumber sejarah adalah palsu, sampai ia terbukti benar. Sejarahwan harus memulai penelitiannya dengan meragukan otentisitas dan reliabilitas sumber sejarah. Peneliti sejarah harus menepis sampah-sampah sejarah, menggali lebih dalam, sehingga ia menemukan di balik reruntuhan pemalsuan,—menurut sejarahwan besar dari Jerman, Leopold von Ranke—wie es eigentlich gewesen, apa yang benar-benar terjadi. Verifikasi dengan prinsip konsistensi, analogi, dan disimilaritas.

Bermula dari studi filologis tentang bahasa Latin, para peneliti sejarah menemukan metode  untuk  meneliti  otentisitas  dan  reliabilitas  sumber  sejarah dari anakronisme dan inkonsistensi dalam teks. Mazhab historiografi ini, yang kemudian disebut sebagai mazhab sejarah Jerman, menegakkan penelitian sejarah mereka di atas keraguan a priori terhadap reliabilitas tekstual. Ragukan dahulu keaslian dan kebenaran sumber sejarah itu. Baru setelah itu dibangun naratif sejarah berdasarkan sumber sejarah yang sudah disaring melalui tes anakronisme dan inkonsistensi. Bersamaan  dengan  teknik  mengidentifikasi  inkonsistensi, Mazhab Jerman juga mengemukakan prinsip analogi. 

Walaupun masa lalu dipisahkan dari kita secara temporal dan kultural, sistem sosial mereka tidak berbeda dengan sistem sosial kita sekarang. Ada hukum-hukum sosial yang berlaku abadi. Misalnya, individu dan kelompok pada waktu dulu berfungsi seperti individu dan kelompok pada zaman sekarang; interaksi sosial didorong oleh kepentingan dan motif-motif duniawi. Kita bisa menganalisis peristiwa-peristiwa masa lalu dengan membandingkannya dengan peristiwa-peristiwa pada masa sekarang.

Di samping teknik mengidentifikasi anakronisme dan inkonsistensi, serta prinsip analogi, HCM menggunakan teknik yang mereka sebut Principle of Dissimilarity. Menurut Jacob Perizonius (meninggal 1715), principles of dissimilarity menetapkan bahwa laporan yang tampaknya menentang atau berlawanan dengan ortodoksi besar kemungkinan benar, karena tidak ada orang yang menduga bahwa ortodoksi membuat-buat laporan itu.

Kajian Hadis
Menurut Jonathan A.C. Brown—yang saya jadikan rujukan utama pada bagian ini—prinsip pertama dengan asumsi a priori meragukan otentisitas hadis bertentangan dengan penelitian hadis di kalangan kaum muslim. Default dari penelitian hadis adalah menerima otentisitas dan reliabilitas hadis, kecuali kalau ada keraguan besar yang membuat kita “terpaksa” meneliti kebenaran hadis.

Dilaporkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal memilih untuk menerima hadis yang diragukan kesahihannya daripada menggunakan ra’yu. Apalagi di kalangan umat Islam sudah beredar “kepercayaan” bahwa hadis yang beredar di antara mereka sudah disaring oleh para ahli hadis terdahulu dengan sangat ketat.

Masih  menurut  Brown,  principle of analogy bertentangan dengan keyakinan Ahlus Sunnah bahwa zaman Nabi Muhammad saw adalah zaman kesucian, bebas dari segala keburukan umat manusia, dan bahwa para shahabat tidak bercacat dan tidak akan berbohong atau berbuat salah. Konon Nabi saw bersabda, “Generasi yang paling baik adalah yang sezaman denganku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang berikutnya.” Prinsip dissimilaritas—kali ini menurut saya—bertentangan dengan asumsi bahwa kelompok yang benar adalah kelompok mayoritas—atau jumhur—dan kelompok yang berbeda dengan jumhur adalah syādz¸ yang kemudian diartikan menyimpang atau bahkan sesat. Tidak mengherankan, ketika para sarjana Barat menerapkan metode kritis sejarah ini untuk penelitian hadis, yang pertama kali mereka “temukan” ialah keraguan terhadap otentisitas hadis. Hampir semua hadis adalah palsu. Hampir semua riwayat kehidupan Nabi saw meragukan. Goldziher, yang didukung oleh Caetani dan Lammens, menyimpulkan hasil penelitian hadis dengan mengatakan, “Das hadīț wird uns nicht als Dokument fűr die Kindheitgeschichte des Islam, sondern als Abdruck der in der Gemeinde hervortretenden Bestrebungen aus der Zeit seiner reiferen Entwickelungsstadien dienen.”

Menurut Goldziher, ada empat motif—sekaligus empat tahap—membuat hadis. Motif awal  adalah  politik;  Dinasti  ‘Umayyah  menciptakan  hadis-hadis untuk memberikan legitimasi pada pemerintahannya. Motif kedua berhubungan  dengan  hukum; para ahli hukum menetapkan hukum dan kemudian memberikan dasar pada ketetapan hukumnya dengan mengutip (kadang-kadang  membuat)  hadis.  Motif  ketiga  bersifat  sektarian;  setiap mazhab membuat hadis untuk memenangkan mazhab mereka di atas mazhab yang lain. Karena sabda Nabi saw bersifat otoritatif, maka tidak ada satu pun mazhab yang tidak tergoda untuk memalsukan hadis. Motif terakhir adalah motif komunal atau historis; hadis dibuat untuk membantu masyarakat memberikan makna pada berbagai peristiwa sejarah. Termasuk pada bagian terakhir ini adalah hadis-hadis yang berisi nubuat tentang apa yang akan terjadi sepeninggal Nabi saw.

Buat  Goldziher,  otentisitas  isnād  dan  matn  sama  sekali  tidak  bisa dibuktikan. Walaupun ia masih percaya bahwa di tengah-tengah kepalsuan masih terdapat hadis-hadis yang benar, mana yang asli sulit untuk diketahui. Serangan terhadap isnād hadis diguncangkan lagi lebih telak oleh Joseph Schacht. Goldziher dan Schacht mendirikan mazhab khusus: meragukan otentisitas isnād dan matn. Mereka berdua—terutama Schacht—menggunakan lebih banyak analisis isnād ketimbang matn. Dalam hal ini, Goldziher lebih memberikan kemungkinan otentisitas matn ketimbang Schacht. Dalam hal skeptisisme, mereka didukung oleh Cook dan Calder. Abbot, Sezgin, dan Azami mendukung reliabilitas baik isnād maupun matn. Ketiganya, dengan dukungan Motzki, Horovitz, dan Fuck, mengusung mazhab kedua, yang berlawanan dengan pihak Goldziher. Menurut Herbert Berg:

In a qualified manner, Motzki, Horovitz, and Fűck support their (Abbot, Sezgin, Azami-JR) basic acceptance of the material. As for Juynboll, Rahman, Robson, and Coulson, they seem willing to jettison any notion of reliability when it comes to the isnāds. However, each scholar in his own way argues that the matns nevertheless contain the gist, spirit, or essence  of  what  they  claim  to  report.  Rubin  argues  just  the  opposite: He doubts the authenticity of the matns, but not so much the isnāds. For Schoeler, given the nature of the transmission of this material, it is a
moot point.

Empat Pendekatan Historiografi Islam
Untuk menggunakan bahan-bahan mentah dari sumber-sumber sejarah, para sejarahwan menggunakan empat pendekatan. Pendekatan pertama: DESCRIPTIVE APPROACH, yaitu menerima gambaran tradisional tentang masa awal Islam seperti yang dipresentasikan oleh sumber-sumber Muslim. Buat peneliti historis Barat, pendekatan ini lebih maju dari pendekatan awal yang etnosentris. Tiga asumsi menjadi dasar  pendekatan  deskriptif:  (1)  Al-Quran  menjadi  dokumen  berharga untuk mengungkap kehidupan Nabi saw; (2) akhbar (catatan sejarah) yang berbentuk naratif dapat dipercaya untuk merekonstruksi sejarah Islam awal; (3) hadis tidak relevan untuk merekonstruksi sejarah Islam yang awal. Munculnya sumber-sumber sejarah baru membuat pendekatan pertama ini tidak lagi dapat diandalkan. Ternyata, makin banyak sumber dirujuk, makin banyak kontradiksi, kejanggalan, absurditas, dan bias-bias sektarian.

Pendekatan kedua: SOURCE CRITICAL APPROACH, dimaksudkan untuk meluruskan pendekatan pertama. Dengan metode kedua ini, absurditas logis dan kontradiksi-kontradiksi paten dijelaskan dengan menghimpun semua sumber dan membandingkannya secara kritis. Pada kedua pendekatan ini, hadis tidak diperhitungkan sebagai sumber sejarah.

Pendekatan ketiga: TRADITION-CRITICAL APPROACH, yaitu menengok hadis tetapi dengan pandangan yang sangat kritis. Mereka melihat hadis sebagai hasil dari proses evolusi sepanjang waktu yang dipengaruhi oleh masalah-masalah politik, teologis, dan sosial pada saat peristiwa sejarah itu dikisahkan. Di balik “puing-puing” sampah sejarah pasti ada “kernel of historical facts”. Tugas mu’arrikh ialah menggali dan mengungkapkan inti dari fakta sejarah  tersebut. 

Upaya  mu’arrikh  untuk  menemukan  “inti  historis”  itu ternyata sangat sulit. Sebagian sejarahwan menolak semua sumber sejarah itu dan mencarinya di tempat lain. Sebagian lagi malah menyarankan tidak perlu mencarinya ke mana pun. Semua sumber sejarah Islam, bagi kelompok ini, tidak ada gunanya sama sekali. Mereka adalah pengikut SKEPTICAL APPROACH. Dalam penelitian ini, saya mengambil tradition-critical approach, dengan sedikit  sentuhan  skeptical approach. Salah satu di antara warisan ‘ulūm al-hadīts ialah menilai otentisitas dan reliabilitas hadis dengan menggunakan ilmu  al-jarh  wa  al-ta’dīl.  Bila  para  peneliti  Barat  kebanyakan  menaruh perhatian pada kajian isnad, sedikit pada kajian matn,  para peneliti hadis Muslim hampir tidak memperhatikan kajian  matn (sebagai petunjuk akan otentisitas hadis) dan umumnya memusatkan perhatian mereka pada kajian asma al-rijal.

(Tulisan diambil dari buku MISTERI WASIAT NABI karya Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc; diterbitkan Misykat, 2015)