Saya kembali menulis. Meski tak ada yang baca, biarlah ini menjadi
bukti dari kebersatuan saya dalam dunia global. Ini tentang masa lalu. Yang
terlewati. Sekira tahun 2002. Saya masih teringat. Saat masih mahasiswa di UIN
Bandung. Saya termasuk pembaca buku. Modalnya hanya masuk perpustakaan dan
pinjam buku. Lalu dibaca dan setelahnya dikembalikan. Saya baca satu buku karya
cendekiawan Muslim yang kemudian dikenal sebagai tokoh Syiah di Bandung.
Tulisannya mencerahkan dan menyajikan pengetahuan yang mudah dicerna. Dari
buku-bukunya saya lantas mengenal tokoh-tokoh Islam di dunia, termasuk generasi
awal Islam pascawafat Rasulullah Saw.
Kepada sosok cendekiawan itu, saya merasa penasaran. Ingin ketemu
dan seorang teman mengantarkan saya pada majelisnya.
Ini ceritanya: suatu hari saya minta teman untuk antar saya pada
majelis sang cendekiawan tersebut. Pagi-pagi saya ke lokasi bersama teman.
Masuk gerbang masjid al-munawwarah. Depan serambi masjid seorang yang
berperawakan muda dan murah senyum menyapa teman saya dan mengulurkan tangannya
untuk bersalaman, juga kepada saya. Lantas kami dipersilahkan untuk untuk duduk
di lantai masjid. Teman saya bercerita tentang masjid dan pagi itu cendekiawan
yang saya tunggu disebutkan oleh pembawa acara sedang berada di luar kota.
Kemudian yang mengisi majelis adalah orang yang bersalaman dengan saya di depan
gerbang masjid. Dan saya baru tahu kalau beliau adalah putra sang cendekiawan.
Sambil sedikit kecewa, saya dengarkan ceramah putra sang
cendekiawan. Biasa-biasa saja tidak ada yang aneh. Uraiannya normatif: Qur'an,
hadis dan cerita pengalaman. Itu kesan yang saya tangkap. Selesai ngaji saya
diajak ke rumah sang cendekiawan dan diterima oleh putra sang cendekiawan. Di
ruang tamu saya lihat banyak buku di lemari. Tidak ada aksesoris barang antik
atau kemewahan materi, hanya buku-buku saja yang bertengger dan memadati
lemari. Dalam hati saya bergumam: pasti yang berada di rumah ini suka baca
buku.
Teman saya bertanya tentang materi di masjid kemudian mengenalkan
saya. Saya hanya anggukan kepala dan senyum. Selanjutnya saya diajak ke
perpustakaan sekolah dan ternyata banyak buku dengan beragam tema. Saya senang
sekali lihat buku-buku dan membuka beberapa buku untuk dibaca sambil duduk.
Teman saya ngobrol dengan penjaganya dan meminjam buku. Saya bilang juga ke
teman bahwa nanti saya ingin menjadi anggota perpustakaan.
Dua minggu setelah itu saya menyempatkan diri sendiri datang ke
masjid al-munawwarah. Dan masih juga yang menyambut jamaah depan masjid adalah
putra sang cendekiawan. Ramah, murah senyum, dan dari pakaian tampak sederhana.
Pagi itu yang mengisi adalah sang cendekiawan. Saya kagum dan
terbukti bahwa yang disampaikan melalui lisan dan buku tidak jauh beda. Mudah
dicerna dan sederhana uraiannya. Biasanya kalau orang jago menulis, uraian
lisan kurang baik. Namun, sang cendekiawan ini keduanya bagus.
Selesai ngaji saya ke perpustakaan untuk daftar menjadi anggota.
Saya daftar dan bayar untuk kartu anggota. Saat itu juga saya pinjam tiga buku
filsafat. Dalam seminggu tiga buku tersebut beres dibaca dan pada pengajian
berikutnya saya kembalikan dan meminjam lagi. Begitu terus. Hingga suatu saat
di perpustakaan saya bertemu dengan putra sang cendekiawan. Saya sempatkan
untuk ngobrol. Saya tanya tentang teologi dan pemikiran-pemikiran tokoh Syiah.
Saya juga menyempatkan tanya tentang eskatologis, tasawuf, dan pemikiran Ali
Syariati. Dan saya sampaikan bahwa saya tertarik dengan pemikiran Syariati dan
berencana menulis skripsi tentang sosok tersebut. Putra cendekiawan itu
menyodorkan satu buku terjemahan dan berniat memberikannya pada saya. Dikarenakan
buku tersebut sudah saya baca dan sudah dimiliki fotokopiannya, dan saya pikir
cukup dengan itu juga maka saya tolak. Dan saya sampaikan bahwa sudah punya. Di
raut wajahnya terlihat "kurang cerah" atas penolakan saya. Ya, ini salah
satu sikap tidak baik dari saya kepada putra sang cendekiawan. Maafkan saya.
Sejak pertemuan itu, setiap saya ke perpustakaan tidak melihat
putra sang cendekiawan itu. Mungkin kala itu sibuk. Dan saya di hari yang bukan
Minggu sengaja datang ke perpustakaan untuk cari referensi. Bertemu lagi dengan
putra sang cendekiawan di jalan menuju perpustakaan. Dan lagi-lagi saya disapa
dan terjadilah obrolan lagi di jalan dengannya. Saya ngobrol tentang Syariati
dan dengan penuh santun Beliau menyampaikan pendapat-pendapatnya tentang Ali
Syariati. Tentu itu menjadi informasi tambahan untuk penulisan skripsi.
Selama pengerjaan tugas akhir kuliah saya bolak balik ke
perpustakaan sekolah di lingkungan sang cendekiawan. Akhirnya rampung dan beres
sidang. Satu kopi skripsi saya berikan kepada perpustakaan tempat saya meminjam
buku. Selanjutnya karena sudah beres studi, saya tidak lagi ke majelis sang
cendekiawan. Saya dalam posisi nganggur menghabiskan waktu di perpustakaan di
sebuah kampus seni di jalan Buah Batu Bandung (karena jarak dari rumah bisa
ditempuh dengan jalan kaki dari rumah; sedangkan ke lokasi perpustakaan di
lingkungan sang cendekiawan harus pakai ongkos angkot). Karena sudah beres
kuliah sehingga orangtua tidak beri uang dan saya pun malu meminta.
Pernah beberapa kali menyempatkan datang ke pengajian masjid al-Munawwarah
dengan jalan kaki. Itu saat nganggur. Tapi saat nganggur lebih banyak saya
habiskan waktu dalam setiap harinya dengan membaca buku di perpustakaan kampus
seni. Mulai buku filsafat, sejarah, budaya, seni dan lainnya. Bahkan saya
sering ikut nonton teater gratis di kampus tersebut.
Saya menikmati masa nganggur selama setahun. Dan tahun 2004
saya dengar informasi lowongan dan melamar kerja di sebuah pesantren berbasis entrepreneur,
kawasan Ledeng. Diterima pada bagian redaksi untuk majalah dan buletin. Setelah
itu saya tidak lagi ke masjid al-munawwarah dan tidak menyimak ceramah sang
cendekiawan maupun bertemu putranya. Apalagi jarak tempuh rumah ke lokasi ngaji
tambah jauh karena setelah wafat ayah, saya dan keluarga pindah ke daerah
Bandung selatan, kawasan Margahayu Kabupaten Bandung. Maklum “rumah dinas”
sudah habis masa huninya sehingga kami sekeluarga harus hengkang dari kota
Bandung dan menempati rumah yang dibeli oleh almarhumah ibu di kawasan
Kabupaten Bandung. Jarak tempuh ke pesantren pun dilakoni karena terkait dengan
maisyah dan kerja. Dari pesantren kemudian berpindah profesi sebagai pekerja
buku di penerbit. Dan di penerbit ini, ada naskah pracetak tulisan sang
cendekiawan. Saat say abaca, teringat lagi dengan pengajian masjid
al-munawwarah dan perpustakaan. Dan saya sempatkan pada suatu hari minggu ke
almunawwarah untuk ngaji. Sama seperti dahulu, putra sang cendekiawan berdiri menyambut
depan masjid para jamaah yang datang. Dan saya disapa: tos lami teu tepang? Saya
hanya jawab: sumuhun nuju tapa (sambil senyum).
Di kemudian hari sambil menekuni dunia buku dan masih membaca
buku-buku dengan tema yang lebih ringan: keluarga, pendidikan, dan novel. Dari
kerja di penerbit saya punya motor hingga bisa dipakai untuk ngaji ke
almunawwarah. Tapi jarang dan sesekali saja. Meski sesekali saya menyempatkan
diri untuk ngobrol. Dan selanjutnya beliau sering saya tanya tentang agama.
Saya banyak belajar kepadanya. Saya mengaku sebagai muridnya. Sampai sekarang
Beliau adalah guru.
Selamat hari Guru, putra sang cendekiawan! Banyak ilmu dan hikmah
yang saya dapatkan darimu. Mohon maaf lahir batin jika saya kurang memahami
atau tidak menangkap pesan-pesan dari ceramahmu. Maaf pula jika laku lampah
saya tidak sesuai dengan harapanmu. Mohon doa!
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina
Muhammad
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina
Muhammad
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina
Muhammad
25 November 2017