Sabtu, 25 November 2017

Selamat Hari Guru, Putra Sang Cendekiawan

Saya kembali menulis. Meski tak ada yang baca, biarlah ini menjadi bukti dari kebersatuan saya dalam dunia global. Ini tentang masa lalu. Yang terlewati. Sekira tahun 2002. Saya masih teringat. Saat masih mahasiswa di UIN Bandung. Saya termasuk pembaca buku. Modalnya hanya masuk perpustakaan dan pinjam buku. Lalu dibaca dan setelahnya dikembalikan. Saya baca satu buku karya cendekiawan Muslim yang kemudian dikenal sebagai tokoh Syiah di Bandung. Tulisannya mencerahkan dan menyajikan pengetahuan yang mudah dicerna. Dari buku-bukunya saya lantas mengenal tokoh-tokoh Islam di dunia, termasuk generasi awal Islam pascawafat Rasulullah Saw.
 
Kepada sosok cendekiawan itu, saya merasa penasaran. Ingin ketemu dan seorang teman mengantarkan saya pada majelisnya.

Ini ceritanya: suatu hari saya minta teman untuk antar saya pada majelis sang cendekiawan tersebut. Pagi-pagi saya ke lokasi bersama teman. Masuk gerbang masjid al-munawwarah. Depan serambi masjid seorang yang berperawakan muda dan murah senyum menyapa teman saya dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman, juga kepada saya. Lantas kami dipersilahkan untuk untuk duduk di lantai masjid. Teman saya bercerita tentang masjid dan pagi itu cendekiawan yang saya tunggu disebutkan oleh pembawa acara sedang berada di luar kota. Kemudian yang mengisi majelis adalah orang yang bersalaman dengan saya di depan gerbang masjid. Dan saya baru tahu kalau beliau adalah putra sang cendekiawan.

Sambil sedikit kecewa, saya dengarkan ceramah putra sang cendekiawan. Biasa-biasa saja tidak ada yang aneh. Uraiannya normatif: Qur'an, hadis dan cerita pengalaman. Itu kesan yang saya tangkap. Selesai ngaji saya diajak ke rumah sang cendekiawan dan diterima oleh putra sang cendekiawan. Di ruang tamu saya lihat banyak buku di lemari. Tidak ada aksesoris barang antik atau kemewahan materi, hanya buku-buku saja yang bertengger dan memadati lemari. Dalam hati saya bergumam: pasti yang berada di rumah ini suka baca buku.

Teman saya bertanya tentang materi di masjid kemudian mengenalkan saya. Saya hanya anggukan kepala dan senyum. Selanjutnya saya diajak ke perpustakaan sekolah dan ternyata banyak buku dengan beragam tema. Saya senang sekali lihat buku-buku dan membuka beberapa buku untuk dibaca sambil duduk. Teman saya ngobrol dengan penjaganya dan meminjam buku. Saya bilang juga ke teman bahwa nanti saya ingin menjadi anggota perpustakaan.

Dua minggu setelah itu saya menyempatkan diri sendiri datang ke masjid al-munawwarah. Dan masih juga yang menyambut jamaah depan masjid adalah putra sang cendekiawan. Ramah, murah senyum, dan dari pakaian tampak sederhana.

Pagi itu yang mengisi adalah sang cendekiawan. Saya kagum dan terbukti bahwa yang disampaikan melalui lisan dan buku tidak jauh beda. Mudah dicerna dan sederhana uraiannya. Biasanya kalau orang jago menulis, uraian lisan kurang baik. Namun, sang cendekiawan ini keduanya bagus.

Selesai ngaji saya ke perpustakaan untuk daftar menjadi anggota. Saya daftar dan bayar untuk kartu anggota. Saat itu juga saya pinjam tiga buku filsafat. Dalam seminggu tiga buku tersebut beres dibaca dan pada pengajian berikutnya saya kembalikan dan meminjam lagi. Begitu terus. Hingga suatu saat di perpustakaan saya bertemu dengan putra sang cendekiawan. Saya sempatkan untuk ngobrol. Saya tanya tentang teologi dan pemikiran-pemikiran tokoh Syiah. Saya juga menyempatkan tanya tentang eskatologis, tasawuf, dan pemikiran Ali Syariati. Dan saya sampaikan bahwa saya tertarik dengan pemikiran Syariati dan berencana menulis skripsi tentang sosok tersebut. Putra cendekiawan itu menyodorkan satu buku terjemahan dan berniat memberikannya pada saya. Dikarenakan buku tersebut sudah saya baca dan sudah dimiliki fotokopiannya, dan saya pikir cukup dengan itu juga maka saya tolak. Dan saya sampaikan bahwa sudah punya. Di raut wajahnya terlihat "kurang cerah" atas penolakan saya. Ya, ini salah satu sikap tidak baik dari saya kepada putra sang cendekiawan. Maafkan saya.

Sejak pertemuan itu, setiap saya ke perpustakaan tidak melihat putra sang cendekiawan itu. Mungkin kala itu sibuk. Dan saya di hari yang bukan Minggu sengaja datang ke perpustakaan untuk cari referensi. Bertemu lagi dengan putra sang cendekiawan di jalan menuju perpustakaan. Dan lagi-lagi saya disapa dan terjadilah obrolan lagi di jalan dengannya. Saya ngobrol tentang Syariati dan dengan penuh santun Beliau menyampaikan pendapat-pendapatnya tentang Ali Syariati. Tentu itu menjadi informasi tambahan untuk penulisan skripsi.

Selama pengerjaan tugas akhir kuliah saya bolak balik ke perpustakaan sekolah di lingkungan sang cendekiawan. Akhirnya rampung dan beres sidang. Satu kopi skripsi saya berikan kepada perpustakaan tempat saya meminjam buku. Selanjutnya karena sudah beres studi, saya tidak lagi ke majelis sang cendekiawan. Saya dalam posisi nganggur menghabiskan waktu di perpustakaan di sebuah kampus seni di jalan Buah Batu Bandung (karena jarak dari rumah bisa ditempuh dengan jalan kaki dari rumah; sedangkan ke lokasi perpustakaan di lingkungan sang cendekiawan harus pakai ongkos angkot). Karena sudah beres kuliah sehingga orangtua tidak beri uang dan saya pun malu meminta.

Pernah beberapa kali menyempatkan datang ke pengajian masjid al-Munawwarah dengan jalan kaki. Itu saat nganggur. Tapi saat nganggur lebih banyak saya habiskan waktu dalam setiap harinya dengan membaca buku di perpustakaan kampus seni. Mulai buku filsafat, sejarah, budaya, seni dan lainnya. Bahkan saya sering ikut nonton teater gratis di kampus tersebut.

Saya menikmati masa nganggur selama setahun. Dan tahun 2004 saya dengar informasi lowongan dan melamar kerja di sebuah pesantren berbasis entrepreneur, kawasan Ledeng. Diterima pada bagian redaksi untuk majalah dan buletin. Setelah itu saya tidak lagi ke masjid al-munawwarah dan tidak menyimak ceramah sang cendekiawan maupun bertemu putranya. Apalagi jarak tempuh rumah ke lokasi ngaji tambah jauh karena setelah wafat ayah, saya dan keluarga pindah ke daerah Bandung selatan, kawasan Margahayu Kabupaten Bandung. Maklum “rumah dinas” sudah habis masa huninya sehingga kami sekeluarga harus hengkang dari kota Bandung dan menempati rumah yang dibeli oleh almarhumah ibu di kawasan Kabupaten Bandung. Jarak tempuh ke pesantren pun dilakoni karena terkait dengan maisyah dan kerja. Dari pesantren kemudian berpindah profesi sebagai pekerja buku di penerbit. Dan di penerbit ini, ada naskah pracetak tulisan sang cendekiawan. Saat say abaca, teringat lagi dengan pengajian masjid al-munawwarah dan perpustakaan. Dan saya sempatkan pada suatu hari minggu ke almunawwarah untuk ngaji. Sama seperti dahulu, putra sang cendekiawan berdiri menyambut depan masjid para jamaah yang datang. Dan saya disapa: tos lami teu tepang? Saya hanya jawab: sumuhun nuju tapa (sambil senyum).  

Di kemudian hari sambil menekuni dunia buku dan masih membaca buku-buku dengan tema yang lebih ringan: keluarga, pendidikan, dan novel. Dari kerja di penerbit saya punya motor hingga bisa dipakai untuk ngaji ke almunawwarah. Tapi jarang dan sesekali saja. Meski sesekali saya menyempatkan diri untuk ngobrol. Dan selanjutnya beliau sering saya tanya tentang agama. Saya banyak belajar kepadanya. Saya mengaku sebagai muridnya. Sampai sekarang Beliau adalah guru.

Selamat hari Guru, putra sang cendekiawan! Banyak ilmu dan hikmah yang saya dapatkan darimu. Mohon maaf lahir batin jika saya kurang memahami atau tidak menangkap pesan-pesan dari ceramahmu. Maaf pula jika laku lampah saya tidak sesuai dengan harapanmu. Mohon doa!

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina Muhammad
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina Muhammad
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina Muhammad

25 November 2017