“History is philosophy teaching by
examples,” kata Dionysus dari Halicarnassus. Sejarah memberikan kita contoh tentang kecintaan
kepada kebenaran. Leopold von Ranke
menegaskan bahwa “the first demand is pure love of truth.” Atau sejarah,
menurut salah seorang murid Ranke, adalah “not the truth and light; but a
striving for it, a sermon on it, a
consecration to it.”
Menurut muridnya yang lain, “History is
divine service in the broadest sense.” Bagikita, studi sejarah bukan hanya ingin mengungkapkan masa lalu “wie es
eigentlich gewesen” seperti yang diajarkan Ranke. Kita ingin studi sejarah seperti
kaum historisis dapat menunjukkan kepada kita “socially motivated
misrepresentations of the past” sehingga kita
menyadari kesalahan dalam memandang dan menafsirkan masa lalu.
Penelitian
historiografis diharapkan memberikan kepada kita “kemampuan untuk
menggoncangkan hal-hal yang sudah baku dan membuka jalur-jalur pemikiran yang
baru”. Leibniz, filusuf abad ketujuh belas berkata, “The present is big with
the future and laden with the past.” Kita meninjau kembali masa lalu, untuk memahami apa yang terjadi sekarang,
dan membangun masa depan.
Bagaimana langkah-langkah penelitian
historiografis?
Langkah pertama dalam penelitian historiografis adalah
menemukan hipotesis awal. Dari mana kita memperoleh hipotesis itu? Bila ilmu-ilmu
di luar sejarah merumuskan proposisi secara deduktif atau induktif, historiografer
menemukan hipotesis melalui metode “abduktif” yang diajarkan Charles Sanders Pierce,
seorang filsuf Amerika. Dalam
filsafat, metode ini
lazim dikenal sebagai
“inference to the
best explanation”.
Langkah kedua dalam penelitian
historiografis ialah mencari bukti
(evidence) untuk mengkonfirmasi
dan mendiskonfirmasi setiap hipotesis.
Hipotesis yang tidak didukung bukti
ditolak. Bukti diperoleh melalui
pengamatan artifak dari
masa lalu. Teori historis
bersandar pada dan menjelaskan hasil pengamatan pada artifak bisanya berbentuk
dokumen tetapi termasuk juga bukti bukti
lainnya. Kemudian langkah ketiga adalah
mencari, menemukan, dan menafsirkan artifak
itu. Hasil akhir dari langkah ketiga
adalah penyusunan teori.
Secara
singkat, peneliti historiografis bergerak
dari pengamatan (sejumlah data
awal). Ia berusaha
menjelaskan pengamatannya untuk
mengasumsikan kemungkinan sebab dari
efek yang diamati.
Ia mengumpulkan bukti-bukti
dan menyesuaikan asumsi awal
dengan peristiwa yang
terjadi berikutnya. Dengan hipotesis itu
ia menyeleksi mana yang disebut
fakta dan di mana fakta itu bisa ditemukan. Fakta itu nanti dijadikan bukti
untuk menyusun “teori” (beserta “teori-teori” alternatif). Pada akhirnya, teori-teori
itu diuji dengan data yang ditemukan dalam penelitian.
(Tulisan diringkas dari kertas
kerja Jalaluddin Rakhmat untuk ujian perdana riset doctoral di UIN Alauddin
Makassar; dan disertasinya telah terbit berupa ringkasan dengan judul MISTERI
WASIAT NABI)