Kamis, 02 November 2017

Tiga Langkah Penelitian Historiografis

History is philosophy teaching by examples,” kata Dionysus dari Halicarnassus. Sejarah  memberikan kita contoh tentang kecintaan kepada kebenaran.  Leopold von Ranke menegaskan bahwa “the first demand is pure love of truth.” Atau sejarah, menurut salah seorang murid Ranke, adalah “not the truth and light; but a striving for it, a sermon on it, a  consecration to it.”

Menurut muridnya yang lain, “History is divine service in the broadest sense.” Bagikita, studi sejarah bukan hanya ingin mengungkapkan masa lalu “wie es eigentlich gewesen” seperti yang diajarkan Ranke. Kita ingin studi sejarah seperti kaum historisis dapat menunjukkan kepada kita “socially motivated misrepresentations of the past” sehingga kita  menyadari kesalahan dalam memandang dan menafsirkan masa lalu. 

Penelitian historiografis diharapkan memberikan kepada kita “kemampuan untuk menggoncangkan hal-hal yang sudah baku dan membuka jalur-jalur pemikiran yang baru”. Leibniz, filusuf abad ketujuh belas berkata, “The present is big with the future and laden with the past.” Kita meninjau kembali  masa lalu, untuk memahami apa yang terjadi sekarang, dan membangun masa depan.

Bagaimana langkah-langkah penelitian historiografis? 
Langkah pertama dalam penelitian historiografis adalah menemukan hipotesis awal. Dari mana kita memperoleh hipotesis itu? Bila ilmu-ilmu di luar sejarah merumuskan proposisi secara deduktif atau induktif, historiografer menemukan hipotesis melalui metode “abduktif” yang diajarkan Charles Sanders Pierce, seorang filsuf Amerika. Dalam  filsafat,  metode  ini  lazim  dikenal  sebagai  “inference  to  the  best explanation”. 

Langkah kedua dalam penelitian historiografis ialah  mencari  bukti  (evidence) untuk mengkonfirmasi  dan  mendiskonfirmasi  setiap  hipotesis.  Hipotesis  yang  tidak didukung  bukti  ditolak. Bukti  diperoleh  melalui  pengamatan  artifak  dari  masa  lalu. Teori historis bersandar pada dan menjelaskan hasil pengamatan pada artifak bisanya berbentuk dokumen  tetapi termasuk juga bukti bukti lainnya.  Kemudian langkah ketiga adalah mencari, menemukan, dan menafsirkan artifak  itu. Hasil akhir dari  langkah ketiga adalah penyusunan teori.

Secara  singkat, peneliti  historiografis  bergerak  dari  pengamatan (sejumlah data awal).  Ia  berusaha  menjelaskan  pengamatannya  untuk  mengasumsikan  kemungkinan sebab  dari  efek  yang  diamati.  Ia  mengumpulkan  bukti-bukti  dan  menyesuaikan  asumsi awal  dengan  peristiwa  yang  terjadi  berikutnya. Dengan hipotesis  itu  ia  menyeleksi mana yang disebut fakta dan di mana fakta itu bisa ditemukan. Fakta itu nanti dijadikan bukti untuk menyusun “teori” (beserta “teori-teori” alternatif). Pada akhirnya, teori-teori itu diuji dengan data yang ditemukan dalam penelitian.

(Tulisan diringkas dari kertas kerja Jalaluddin Rakhmat untuk ujian perdana riset doctoral di UIN Alauddin Makassar; dan disertasinya telah terbit berupa ringkasan dengan judul MISTERI WASIAT NABI)