Sekadar diketahui bahwa catata ringkas ini merupakan bahan diskusi Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam di Masyarakat Sunda, yang diasuh oleh Prof A. Sobana di Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung. Temanya tentang Syarikat Islam dan gerakan kebangsaan di Jawa Barat atau area Tatar Sunda. Catatan ini hanya ala kadarnya untuk bersama-sama dikaji kembali secara historis dan analisis sosial budaya.
Syarikat Islam
(SI) merupakan organisasi gerakan kebangsaan. Sebelumnya bernama Syarikat
Dagang Islam (SDI) didirikan tahun 1911 di Surakarta yang berganti nama menjadi
Syarikat Islam pada tahun 1913.[2]
SI termasuk berhasil dalam merekrut massa yang berasal dari para pedagang
sehingga para anggota dan pengurusnya adalah orang-orang yang terlibat dalam
perdagangan. SI bergerak mendirikan toko-toko dan koperasi di banyak kota. Karena
bergerak dalam bidang ekonomi, sehingga SI menjadi pesaing dari orang-orang
Cina yang juga berkiprah dalam perdagangan. Gerakan SI memiliki daya tarik bagi
wong cilik dikarenakan persamaan sosial yang digalakan dalam organisasi
SI. Selain kalangan wong cilik, juga santri dan priyayi tergabung dalam
gerakan SI.
Dalam setiap
perkumpulan yang diadakan, pengurus SI mengingatkan untuk saling tolong dengan
sesama anggota, terutama dengan saudara Muslim, dan bergerak mengurangi laju
perekonomian orang-orang Cina. Orang-orang yang tergabung dengan SI terdiri
dari wong cilik yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang kopi, buruh
batik, kasir, juru tulis, petani, guru,
dan lainnya. Daya tarik SI bagi masyarakat adanya perasaan anti Cina yang
dianggap sebagai pesaing utama dalam bisnis. Persaingan bisnis ini menggerakkan
pengusaha prbumi dalam tubuh organisasi SI untuk bersatu dalam gerakan bersama
menentang kapitalisme yang diperankan oleh orang-orang Cina. Apalagi kedudukan
Cina ini oleh kolonial Belanda diistimewakan sebagai kelas kedua setelah bangsa
asing dan penjajah. Derajat orang Cina yang ditempatkan di atas orang pribumi ini
menjadi alasan untuk menyamakan Cina dengan penjajah. Terjadilah aksi boikot
terhadap usaha orang-orang Cina di berbagai daerah, khususnya Jawa dan Madura. Tahun
1913 terjadi gerakan anti Cina di Tangerang, Lasem, Rembang, Tuban, Surabaya,
dan Pasuruan.[3]
Pascarevolusi
Cina tahun 1911 dianggap faktor yang membuat orang-orang Cina merasa angkuh dan
memandang rendah orang-orang pribumi yang statusnya dijajah. Ini juga yang
membangkitkan orang-orang pribumi untuk melawan orang Cina hingga terjadi
perkelahian di Surakarta tahun 1913.
Tahun 1916,
kongres SI di Bandung menyatakan pentingnya ketahanan dan pertahanan dimiliki
oleh bangsa Indonesia serta bercita-cita ingin mendirikan sekolah untuk
guru-guru Islam.[4]
Meski berada dalam pantauan kolonial, SI tetap bergerak sebagai organisasi anti
Cina sekaligus menentang penjajah yang menyokong orang Cina dengan berbagai
bantuannya dalam bentuk kebijakan yang menguntungkan orang Cina.
Kebijakan yang
memihak orang-orang Cina ini menimbulkan
gejolak orang-orang pribumi yang secara ekonomi tersingkir. Timbul berbagai perlawanan di berbagai
daerah. Perlawanan yang sengit terjadi tahun 1918 di Kudus yang menelan korban
jiwa dan 50 rumah terbakar serta 2.000 orang Cina menyelamatkan diri ke
Semarang. Pemerintah kolonial Belanda menangkap orang-orang yang menjadi pemicu
konflik, yang ternyata anggota dan pengurus SI.[5]
Terjadi pula di Jawa Barat, terutama di Majalaya dan Garut yang menentang
orang-orang Cina yang memperlakukan pribumi sewenang-wenang. Sekaligus terjadi
penyerangan kepada pejabat setempat yang akan bergabung dengan organisasi SI
kemudian tidak memenuhi janjinya.
Meski sasarannya
kepada orang-orang Cina, sebenarnya gerakan orang-orang SI ini merupakan bentuk
penentangan kepada kolonial Belanda yang telah menjadi pelindung orang-orang
Cina. Pemerintah kolonial Belanda menyadari situasi ini sehingga tahun 1919 di Ciamis,
Tasikmalaya, Garut, dan Bandung, menyita berbagai senjata.[6][]
AHMAD SAHIDIN
Mahasiswa Program Studi Sejarah dan
Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung
[2] Kuntowijoyo, Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 1999) halaman 87. Pada halaman 151, Kuntowijoyo menyebut 1912 sebagai
tahun perubahan dari SDI ke SI.
[3] Kuntowijoyo, Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 1999) halaman 88.
[4] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam
di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980) halaman 132 dan 142.
[5]Kuntowijoyo, Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 1999) halaman 89.
[6] Kuntowijoyo, Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi (Bandung:
Mizan, 1999) halaman 90.