Menjelang akhir hidupnya, Rasulullah saw menyiapkan pasukan untuk memerangi orang Romawi di Mu’tah dengan mengangkat pemuda putra bekas budak yang berusia 18 tahun, Usamah bin Zaid bin Haritsah, sebagai panglima dan memerintahkannya berjalan menelusuri Al-Bilqa dan Palestina. Hampir seluruh sahabat senior oleh Nabi Muhammad saw diikutsertakan, termasuk Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, kaum muhajirin, dan anshar. Hanya sebagian kecil yang diperintahkan untuk tetap bertahan di Madinah, khususnya Ali bin Abi Thalib dan keluarganya (lihat Akram Diya Al-Umari, Tolak Ukur Peradaban Islam. Yogyakarta: Ircisod tahun 2003; halaman 311-312).
Pada suatu malam setelah menyiapkan pasukan, Rasulullah saw berziarah ke makam Baqi'. Kemudian memberitahukan kepada keluarga dan para sahabatnya tentang tanda-tanda akan berakhir masa hidupnya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw berkata, “Biasanya Jibril menghadapkan al-Quran kepadaku setiap tahun satu kali, tetapi tahun ini menghadapkan kepadaku sampai dua kali, kukira itu karena ajalku sudah dekat.”
Pernah pula Rasulullah saw menyampaikan khutbah di hadapan kaum Muslim. Nabi akhir zaman Rasulullah saw menyampaikan, “Hai orang-orang, sudah tiba saatnya aku akan pergi dari tengah-tengah kalian. Barangsiapa mempunyai titipan padaku hendaknya datang kepadaku untuk kuserahkan kembali kepadanya. Barangsiapa mempunyai penagihan kepadaku hendaknya ia datang untuk segera kulunasi. Hai orang-orang, antara Allah dan seorang hamba, tidak ada keturunan atau urusan apa pun yang dapat mendatangkan kebajikan atau menolak keburukan, selain amal perbuatan. Janganlah ada orang yang mengaku-aku dan janganlah ada orang yang mengharap-harap. Demi Allah yang mengutusku membawa kebenaran, tidak ada apa pun yang dapat menyelamatkan selain amal perbuatan disertai cinta kasih. Seandainya aku berbuat durhaka aku pun pasti tergelincir. Ya Allah, amanat-Mu telah kusampaikan!” (H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Jakarta: Lembaga Penyelidikan Islam, tahun1981).
Pada masa-masa akhir kehidupan inilah
Nabi Muhammad saw diterjang sakit keras. Meski dalam kondisi demikian,
Rasulullah saw terus mengingatkan pasukan Usamah untuk segera berangkat perang.
Rasulullah saw sendiri yang menyerahkan panji-panji perang kepada Usamah bin
Zaid bin Haritsah.
Pasukan pun berangkat. Saat tiba di Jurf terdengar kabar bahwa sakit Rasulullah saw semakin parah. Usamah kembali ke Madinah untuk menemui Nabi. Mungkin karena kekhawatiran Usamah, diceritakan ia bolak balik Jurf-Madinah sampai tiga kali. Begitu juga Umar bin Khaththab dan Abu Bakar kembali dari Jurf kemudian menginap di salah satu rumah Abu Bakar di Sunh, sekitar satu setengah kilometer ke arah barat Masjid Nabawi (O. Hashem, Saqifah: Awal Perselisihan Umat. Lampung: YAPI tahun 1983).
Ibnu Katsir menyebutkan, Nabi
Muhammad saw menderita sakit tahun ke-7 setelah menaklukan kaum Yahudi di Khaibar. Sakitnya dimulai sejak
Rasulullah saw makan sepotong daging kambing yang telah diracuni seorang wanita
Yahudi istri Salam bin Mashkam. Meskipun dimuntahkan, tetapi racun tersebut
membekas dalam tubuh Rasulullah saw hingga mengakibatkan beliau sakit. Rasa
sakit yang paling keras dirasakan oleh Rasulullah saw saat berada di rumah istrinya,
Maimunah (Akram Diya Al-Umari, 2003: 314).
Ketika sakitnya
bertambah parah, Nabi Muhammad saw mengumpulkan para istrinya dan meminta izin
untuk tinggal di rumah Aisyah binti Abi Bakar.
Dalam Shahih Bukhari (jilid
7:17 dan jilid 8:40), Shahih Muslim (jilid
7: 24 dan 198), Musnad Ahmad (jilid 6:35), dan Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah dalam Ath-Thib Al-Nawawi (jilid 1:66) bahwa pada saat
Rasulullah saw sakit dan terbaring di rumahnya ada beberapa perempuan yang
sibuk meracik obat. Salah seorang dari mereka memaksa Nabi Muhammad saw untuk
meminumnya. Namun, Nabi Muhammad saw menampiknya, “Jangan minumkan obat itu
kepadaku.”
Kemudian salah seorang perempuan
berkata, “Paksa saja, mana ada orang sakit mau minum obat.” Akan tetapi, di
antara perempuan yang hadir itu tidak ada yang berani mengikuti perintahnya.
Rasulullah saw pun kembali tidur. Pada saat tidur inilah mulut Nabi Muhammad
saw di buka kemudian dimasukannya obat tersebut. Beberapa saat kemudian Nabi
Muhammad saw bangun karena merasakan sesuatu yang basah dibibirnya. Nabi
Muhammad saw bertanya, “Siapakah yang melakukan ini?” Tidak ada yang mengaku.
Rasulullah saw kembali bertanya, “Siapakah yang melakukan ini? Bukankah sudah
kularang kalian.” Kembali tidak ada yang
mengaku. Rasulullah saw pun kembali tidur.
Beberapa saat kemudian keluarga
Rasulullah saw dan sahabat besar sudah berada di dekat pembaringan Nabi
Muhammad saw. Tiba-tiba Rasulullah saw bangun dan menatap mereka yang hadir.
Nabi Muhammad saw meminta secarik kertas dan tinta untuk menuliskan pesan
terakhir. Namun, seorang sahabat tidak menggubrisnya malah mengatakan Nabi
Muhammad saw meracau dan sebagian sahabat
ribut sehingga membuat Nabi Muhammad saw terbangun.[1]
Bukhari dalam kitab Shahih
Bukhari memuat hadits dengan sanad dari Ubaidillah bin Abdullah bin
Utbah dan berasal dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah saw sedang mendekati
ajal, berkata kepada para sahabat yang berada di sekelilingnya. Nabi Muhammad
saw berkata, “Marilah, akan kutuliskan untuk kalian suatu wasiat yang dengannya
kalian tidak akan sesat sepeninggalku.”
Umar bin Khaththab langsung
berkomentar, “Nabi dalam keadaan sangat payah dan kalian telah mempunyai
al-Quran. Cukuplah Kitab Allah itu bagi kita.”
Para sahabat lainnya berselisih.
Ada yang segera minta supaya disediakan alat tulis dan ada pula yang
menganggapnya sebagai igauan seorang yang sakit. Terjadilah adu mulut di antara
mereka yang membuat Rasulullah saw terbangun kemudian menghardik, “Enyahlah
kalian!”
Hadits yang sama diriwayatkan
oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim pada bagian wasiat terakhir dengan
sanad dari Sa'ad bin Zubair yang berasal dari Ibnu Abbas. At-Thabrani dalam
Al-Ausath menyebutkan, “Pada waktu Rasulullah saw menghadapi ajal, beliau
berkata, ‘Bawalah kepadaku lembaran dan tinta. Akan kutuliskan untuk kalian
yang dengan itu kalian tidak akan sesat selama-lamanya’.
Para sahabat terdiam. Kemudian
para wanita yang menunggu di belakang tabir berkata kepada para sahabat Nabi
Muhammad saw yang berada di tempat itu, ‘Tidakkah kalian mendengar apa yang
dikatakan Rasulullah?’
Umar bin Khaththab segera
berkomentar: ‘Kalian itu sama dengan wanita-wanita yang mengelilingi Nabi
Yusuf. Jika Rasulullah sakit kalian mencucurkan air mata dan jika beliau sehat
kalian menunggangi lehernya!’ Merasa terganggu dengan suara itu, Rasulullah
langsung berkata: ‘Biarkan mereka itu, mereka itu lebih baik daripada kalian’.”
(Kanzul 'Ummal, jilid III, h.138).
Suara gaduh pun berhenti. Nabi
Muhammad saw terdiam. Wajahnya pucat pasi. Pandangannya menerawang jauh. Para
sahabat diam mematung, menunggu kalimat-kalimat dari Rasulullah saw. Namun,
tidak sepatah kata pun yang keluar darinya.
Tibalah Sayyidah Fathimah yang
didampingi Ali bin Abi Thalib beserta anak-anaknya berada di samping pembaringan
Rasulullah saw. Sayyidah Fathimah dengan suara parau membisikan syair ke
telinga ayahnya:
cahaya putih di wajahnya
menyibakkan kegelapan
inilah pengasuh anak yatim dan
pelindung
para janda
Sang ayah (Rasulullah saw)
meminta putrinya untuk mendekatkan telinga di wajahnya. Rasulullah saw
membisikan sesuatu yang membuatnya menangis. Membisikannya lagi dan kali ini
membuatnya tersenyum. Saat Rasulullah saw kembali tidur, Aisyah binti Abu Bakar
menanyakan perihal yang dibisikan Rasulullah saw. Sayyidah Fathimah Az-Zahra
baru menceritakannya kepada Aisyah setelah penguburan jenazah Muhammad saw. Sayyidah Fathimah memberitahukan bahwa
pada bisikan pertama ayahnya mengabarkan malaikat maut telah tiba. Itu sebabnya
ia menangis karena sebentar lagi akan menjadi yatim-piatu. Pada bisikan kedua,
ayahnya memberitahukan bahwa ia adalah Muslimah pertama yang akan bertemu
dengannya kelak di akhirat. Inilah yang membuatnya tertawa.
Tidak lama setelah itu, pada 28 Shafar 11 Hijriah (24 Mei 632 M.) Rasulullah saw mengembuskan nafasnya yang terakhir. Dalam kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra, Abu ‘Abdullâh Muhammad bin Sa’d (lahir 168 H./768 M.) meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa tatkala Rasulullah saw wafat kepala beliau berada di pangkuan Alî.
Ali bin Abi Thalib
berkata, “Rasulullah saw bersabda tatkala beliau sedang sakit: ‘Panggilkan untukku
saudaraku!’ Mereka pun memanggil aku (Ali). Dan beliau bersabda: ‘Dekatlah
kepadaku!’ Dan aku mendekatinya. Kemudian Beliau bersandar dan berkata-kata
kepadaku .. sampai penyakitnya menjadi berat di pangkuanku!”
Abu Ghatfan berkata: “Aku
bertanya kepada Ibnu Abbâs, apakah engkau melihat bahwa Rasulullah saw wafat
dan kepalanya berada dipangkuan seseorang?’
Ibnu Abbas menjawab: ‘Rasulullah wafat sambil
bersandar pada Ali!’ Dan aku bertanya: ‘Urwah menceritakan kepadaku yang
didengarnya dari Aisyah yang berkata: ‘Rasulullah saw wafat sedang kepalanya
berada antara dada dan leherku (baina sahrî wa nahrî)! Ibnu Abbâs menjawab: ‘Apakah engkau berakal?
Demi Allah, sungguh Rasulullah saw wafat sambil bersandar ke dada Ali dan Ali
memandikan Beliau.’
Diriwayatkan pula dari Jabir bin
Abdullah Al-Anshari berkata: ‘Di zaman Umar, suatu ketika Ka’ab Al-Ahbar
berdiri dan kami sedang duduk. Ia bertanya kepada Umar, kata-kata apa yang
disabdakan Rasulullah saw pada akhir hidupnya?’ Umar menjawab: ‘Tanyakan kepada
Alî!’ Ka’ab: ‘Di mana dia?’ Umar: ‘Dia
berada di sini!’ Kemudian Ka’ab bertanya kepadanya dan ‘Alî menjawab: ‘Ia
bersandar ke dadaku dan kepalanya berada di pundakku sambil berkata: ‘(Jangan
tinggalkan) shalat, shalat!’
Kemudian Ka’ab berkata: ‘Demikianlah
akhir kehidupan para Nabî dan demikianlah mereka diperintahkan dan di utus!’
Dan ia melanjutkan: ‘Dan siapa yang memandikan wahai Amirull-mukminin?’‘Umar
menjawab: ‘Tanyakan kepada Alî!’ Dan Ka’ab lalu bertanya kepada Ali. Kemudian
Ali menjawab: ‘Akulah yang memandikannya dan ‘Abbâs pada waktu itu sedang duduk
tatkala Usamah serta Syuqran bergantian menyiramkan air!’
Wafatnya Rasulullah saw membuat kaum Muslim terombang-ambing antara percaya dan tidak. Bahkan, Umar
bin Khaththab tidak percaya.
Sambil mengangkat pedang Umar berkata: “Rasulullah tidak wafat! Beliau hanya
menghilang dan akan kembali lagi! Beliau hanya pergi menghadap Allah, sama
seperti Musa bin Imran yang menghilang dari tengah-tengah kaumnya selama empat
puluh hari dan akhirnya kembali lagi kepada mereka. Barangsiapa berani
mengatakan Rasulullah telah wafat, akan kupotong kaki dan tangannya!” (H.M.H.Al-Hamid
Al-Husaini, 1981).
Lalu, muncul Abu Bakar dan berkata: “Wahai manusia, barangsiapa menyembah Muhammad maka Muhammad benar-benar telah wafat. Akan tetapi, barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Mahahidup, tidak akan mati” (KH.Firdaus A.N, Detik-detik Terakhir Kehidupan Rasulullah. Jakarta: Yayasan Al-Amin,1984; halaman 37).
Setelah itu Abu Bakar dan Umar
bin Khaththab pergi ke Saqifah Bani Saidah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib
bersama kedua putranya, disertai Abbas bin Abdul Muthalib, Fadhl bin Abbas,
Qutsam bin Abbas, Usamah bin Zaid, dan keluarga Nabi lainnya mengurus jenazah
Rasulullah saw. ***
[1]Mengenai ini terdapat dalam hadits riwayat Muslim
(book 013, number 4016): Ibn Abbas reported: When Allah's Messenger (may
peace be upon him) was about to leave this world, there were persons (around
him) in his house, 'Umar b. al-Khattab being one of them. Allah's Apostle (may
peace be upon him) said: Come, I may write for you a document; you would not go
astray after that. Thereupon Umar said: Verily Allah's Messenger (may peace be
upon him) is deeply has lost his consciousness. You have the Qur'an with you.
The Book of Allah is sufficient for us. Those who were present in the house
differed. Some of them said: Bring him (the writing material) so that Allah's
Messenger (may peace be upon him) may write a document for you and you would
never go astray after him And some among them said what 'Umar had (already)
said. When they indulged in nonsense and began to dispute in the presence of
Allah's Messenger (may peace be upon him), he said: Get up (and go away)
'Ubaidullah said: Ibn Abbas used to say: There was a heavy loss, indeed a heavy
loss, that, due to their dispute and noise. Allah's Messenger (may peace be
upon him) could not write (or dictate) the document for them. Lihat http://www.usc.
edu/schools/ college/crcc/ engagement/ resources/ texts/muslim/ hadith/muslim/
013.smt.html.