HASAN Mustapa lahir di Cikajang Garut, Jawa Barat, pada 3
Juni 1852 M/14 Sya’ban 1268 H. dan wafat
di Bandung, 13 Januari 1930 M/12 Sya’ban 1348 H. Ia dikenal sebagai ulama dan
pujangga Muslim Sunda. Ayahnya, Mas Sastramanggala, setelah naik haji berganti
nama menjadi Haji Usman, yang juga seorang camat perkebunan. Sedangkan ibunya
bernama Nyi Mas Salpah (Emeh) adalah putri Mas Kartapraja, Camat Kontrakan teh
Cikajang, dan masih keturunan Dalem Sunan Pagerjaya dari Suci, Garut.
Mengenai asal usul keluarganya, Hasan Mustapa sendiri
menerangkan bahwa ia keturunan ke-14 dari Kean Santang (Kang Jeng Dalem
Pagerjaya, nu sumare di karaton, Godog anu pinunjung), dari Jalur Sembah
Lebe (Lebe Warta) sampai ‘eyang pribadi’ Mas Kartapraja Sukapura. Jalur inilah yang menjadikan Hasan
Mustapa disebut kaum priayi. Sementara darah seninya mengalir dari jalur
Manonjaya (Tasikmalaya) dan darah kesantriannya dari Mas Ngabehi Kalipah (Suci,
dekat Godog, Garut), seorang Camat Cikajang, yang juga kakek Hasan Mustapa.
Sementara bapaknya adalah keturunan Bungbulang (Cikajang) yang pernah belajar di Pesantren Manonjaya.
Waktu kecil Hasan belajar agama pada ayahnya, belajar
Al-Quran dan ilmu qira`ah dari Kiai Hasan Basri, ulama Kiarakoneng,
Garut. Usia delapan tahun, Hasan dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji. Di
tanah suci ini ia belajar bahasa Arab dan ilmu Al-Quran selama satu tahun.
Sepulang dari Mekkah, Hasan nyantri ke beberapa kiyai
ternama di Sumedang dan Garut. Pelajaran ilmu syaraf dan nahwu
(tata bahasa Arab) diperolehnya dari Rd.Haji Yahya, pensiunan penghulu Garut,
dan berguru ke Abdul Hasan, kiai dari Sawahdadap Tanjungsari, Sumedang.
Kemudian balik lagi ke Garut untuk belajar kepada Kiai Muhammad di Cibunut, dan
Kiai Muhammad Irja.
Setelah merasa cukup belajar, Hasan menikah hingga
dikaruniai satu anak. Hasan dan keluarga pergi ke Mekkah untuk memperdalam
ilmu-ilmu Islam selama delapan tahun. Di Mekkah ia berkenalan dengan Christiaan
Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang sedang meneliti masyarakat
Islam di Mekkah. Untuk memuluskan penelitiannya, Snouck Hurgrojne masuk Islam
dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Menurut P.Sj.Van Koningsveld, Snouck masuk Islam oleh
Qadi Jeddah dengan dua orang saksi setelah Snouck pindah tinggal bersama
Aboebakar Djajadiningrat. Lihat P.Sj.Van
Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam
(Jakarta: Girimukti Pasaka, 1989). Hal.95-107. Van Koningsveld menerangkan, Snouck masuk
Islam hanya untuk
melancarkan tugasnya sebagai informan/spionase Belanda.
Di tanah suci Mekkah nama Hasan Mustapa dikenal sebagai
ulama terkemuka dari Jawa; setingkat dengan Haji Ahmad Banten putra Syaikh
Nawawi al-Jawi (Nawawi al-Bantani). Selain belajar kepada
Selain belajar kepada Syaikh Muhamad, Syaikh Abdulhamid
Dagastani atau Sarawani, Syaikh Ali Rahbani, Syaikh Umar Syami, Syaikh Mustafa
al-Afifi, Sayid Abubakar as-Satha, Syaikh Hasballah, dan ulama lainnya, Hasan
Mustapa juga mengajar sejumlah murid di Masjidil Haram. Selama di Mekkah, ia
sempat menulis buku dalam bahasa Arab yang berjudul “Fath al-Mu’in” yang
diterbitkan di Mesir.
Pada 1882, Hasan pulang ke negerinya karena dipanggil
oleh R.H.Muhammad Musa, penghulu Garut, untuk meredakan ketegangan akibat
perbedaan paham di antara para ulama Garut. Karena berhasil meredakan
ketegangan, Hasan diserahi tugas memberikan pelajaran agama di Masjid Agung
Garut dan mendirikan pesantren di Sindangbarang, Garut.
Mengetahui temannya pulang ke Garut, Dr.Christian Snouck
Hurgronje—yang sedang menjabat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda
untuk masalah Bumiputra dan Arab—meminta Hasan Mustapa untuk mendampinginya
dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura sambil menyelidiki kehidupan umat
Islam dan folklore serta diminta membantunya selama tujuh tahun.
Atas usulan Dr.Christian Snouck Hurgronje, pada 25
Agustus 1893 pemerintah Belanda mengangkat Hasan Mustapa sebagai kepala
penghulu di Aceh selama dua tahun (1893-1895). Setelah itu kembali ke Bandung dan menjadi
penghulu selama duapuluh tiga tahun. Pada
1918, Hasan Mustapa meminta pensiun karena ingin dakwah dan mengajarkan
ilmu-ilmu Islam
pada masyarakat.
Menurut Kang Gibson, dosen UIN Bandung, bahwa di akhir masa hidupnya Hasan Mustapa dikenal sebagai
pengamal tarekat Syatariyah.
Hasan Mustapa dalam menulis dan mengajarkan agama Islam
kepada masyarakat menggunakan lambang (simbol) adat-istiadat dan kebudayaan
Sunda. Dalam karya-karyanya, Hasan membahas masalah-masalah ketuhanan—seperti
hubungan antara hamba (kawula) dengan Allah (Gusti)—dan
renungan-renungannya itu ditulis dalam bahasa Sunda dan Jawa berbentuk prosa
dan puisi. Metafora yang digunakannya adalah rebung dengan bambu (iwung-awi)
dan pohon aren dengan caruluk (bahan aren). Karena karyanya bernuansa
sufi ini Hasan Mustapa dituduh berpaham wihdatul wujud. Namun tuduhan tersebut dibantahnya sendiri dengan menulis buku Injazu'l-Wa'd
fi ithfa-ar-Ra'd.
Hasan Mustapa juga beberapa karya seperti “Bab
Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta”, “Kasful Sarair
Fihakikati Aceh wa Fidir”, “Leutik Jadi Patélaan Adatna Jalma-Jalma di
Pasundan”, “Pakumpulan Atawa Susuratanana Antara Juragan Haji Hasan
Mustafa Sareng Kyai Kurdi”, “Buku Pengapungan”, “Syekh Nurjaman”,
“Buku Pusaka Kanaga Wara”, “Pamalatén”, “Wawarisan”, “Kasauran
Panungtungan”, “Petikan Qur’an Katut Abad Padikana”, “Galaran Sasaka di
Kaislaman”—dan buku yang disimpan oleh M. Wangsaatmadja (sekretarisnya)
berjudul—“Aji Wiwitan”.
Budayawan Ajip Rosidi mencatat bahwa karya Hasan Mustapa
dalam bentuk prosa berjumlah 23 judul dan kategori puisi (tembang)
berjumlah 66 judul. Karya-karya tersebut sebagian besar disimpan di Universitas
Leiden, Belanda.
Atas jasanya dalam sastra dan kebudayaan Sunda, Hasan
Mustapa pada 1977 memperoleh hadiah seni dari presiden Republik Indonesia
dan piagam panghargaan dari Pemerintah
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat tahun 1965 secara anumerta. *** (ahmad sahidin)