Jumat, 17 April 2015

Hasan Mustapa: Sosok Ulama Sunda

HASAN Mustapa lahir di Cikajang Garut, Jawa Barat, pada 3 Juni 1852 M/14 Sya’ban 1268 H. dan wafat di Bandung, 13 Januari 1930 M/12 Sya’ban 1348 H. Ia dikenal sebagai ulama dan pujangga Muslim Sunda. Ayahnya, Mas Sastramanggala, setelah naik haji berganti nama menjadi Haji Usman, yang juga seorang camat perkebunan. Sedangkan ibunya bernama Nyi Mas Salpah (Emeh) adalah putri Mas Kartapraja, Camat Kontrakan teh Cikajang, dan masih keturunan Dalem Sunan Pagerjaya dari Suci, Garut.

Mengenai asal usul keluarganya, Hasan Mustapa sendiri menerangkan bahwa ia keturunan ke-14 dari Kean Santang (Kang Jeng Dalem Pagerjaya, nu sumare di karaton, Godog anu pinunjung), dari Jalur Sembah Lebe (Lebe Warta) sampai ‘eyang pribadi’ Mas Kartapraja  Sukapura. Jalur inilah yang menjadikan Hasan Mustapa disebut kaum priayi. Sementara darah seninya mengalir dari jalur Manonjaya (Tasikmalaya) dan darah kesantriannya dari Mas Ngabehi Kalipah (Suci, dekat Godog, Garut), seorang Camat Cikajang, yang juga kakek Hasan Mustapa. Sementara bapaknya adalah keturunan Bungbulang (Cikajang) yang pernah belajar di Pesantren Manonjaya.

Waktu kecil Hasan belajar agama pada ayahnya, belajar Al-Quran dan ilmu qira`ah dari Kiai Hasan Basri, ulama Kiarakoneng, Garut. Usia delapan tahun, Hasan dibawa ayahnya menunaikan ibadah haji. Di tanah suci ini ia belajar bahasa Arab dan ilmu Al-Quran selama satu tahun.

Sepulang dari Mekkah, Hasan nyantri ke beberapa kiyai ternama di Sumedang dan Garut. Pelajaran ilmu syaraf dan nahwu (tata bahasa Arab) diperolehnya dari Rd.Haji Yahya, pensiunan penghulu Garut, dan berguru ke Abdul Hasan, kiai dari Sawahdadap Tanjungsari, Sumedang. Kemudian balik lagi ke Garut untuk belajar kepada Kiai Muhammad di Cibunut, dan Kiai Muhammad Irja.

Setelah merasa cukup belajar, Hasan menikah hingga dikaruniai satu anak. Hasan dan keluarga pergi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu-ilmu Islam selama delapan tahun. Di Mekkah ia berkenalan dengan Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang sedang meneliti masyarakat Islam di Mekkah. Untuk memuluskan penelitiannya, Snouck Hurgrojne masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.

Menurut P.Sj.Van Koningsveld, Snouck masuk Islam oleh Qadi Jeddah dengan dua orang saksi setelah Snouck pindah tinggal bersama Aboebakar Djajadiningrat.  Lihat P.Sj.Van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam  (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1989). Hal.95-107.  Van Koningsveld menerangkan, Snouck masuk Islam hanya untuk melancarkan tugasnya sebagai informan/spionase Belanda.

Di tanah suci Mekkah nama Hasan Mustapa dikenal sebagai ulama terkemuka dari Jawa; setingkat dengan Haji Ahmad Banten putra Syaikh Nawawi al-Jawi (Nawawi al-Bantani). Selain belajar kepada

Selain belajar kepada Syaikh Muhamad, Syaikh Abdulhamid Dagastani atau Sarawani, Syaikh Ali Rahbani, Syaikh Umar Syami, Syaikh Mustafa al-Afifi, Sayid Abubakar as-Satha, Syaikh Hasballah, dan ulama lainnya, Hasan Mustapa juga mengajar sejumlah murid di Masjidil Haram. Selama di Mekkah, ia sempat menulis buku dalam bahasa Arab yang berjudul “Fath al-Mu’in” yang diterbitkan di Mesir.

Pada 1882, Hasan pulang ke negerinya karena dipanggil oleh R.H.Muhammad Musa, penghulu Garut, untuk meredakan ketegangan akibat perbedaan paham di antara para ulama Garut. Karena berhasil meredakan ketegangan, Hasan diserahi tugas memberikan pelajaran agama di Masjid Agung Garut dan mendirikan pesantren di Sindangbarang, Garut.

Mengetahui temannya pulang ke Garut, Dr.Christian Snouck Hurgronje—yang sedang menjabat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk masalah Bumiputra dan Arab—meminta Hasan Mustapa untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura sambil menyelidiki kehidupan umat Islam dan folklore serta diminta membantunya selama tujuh tahun.

Atas usulan Dr.Christian Snouck Hurgronje, pada 25 Agustus 1893 pemerintah Belanda mengangkat Hasan Mustapa sebagai kepala penghulu di Aceh selama dua tahun (1893-1895). Setelah itu kembali ke Bandung dan menjadi penghulu selama duapuluh tiga tahun.  Pada 1918, Hasan Mustapa meminta pensiun karena ingin dakwah dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam pada masyarakat. 

Menurut Kang Gibson, dosen UIN Bandung, bahwa di akhir masa hidupnya Hasan Mustapa dikenal sebagai pengamal tarekat Syatariyah.

Hasan Mustapa dalam menulis dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat menggunakan lambang (simbol) adat-istiadat dan kebudayaan Sunda. Dalam karya-karyanya, Hasan membahas masalah-masalah ketuhanan—seperti hubungan antara hamba (kawula) dengan Allah (Gusti)—dan renungan-renungannya itu ditulis dalam bahasa Sunda dan Jawa berbentuk prosa dan puisi. Metafora yang digunakannya adalah rebung dengan bambu (iwung-awi) dan pohon aren dengan caruluk (bahan aren). Karena karyanya bernuansa sufi ini Hasan Mustapa dituduh berpaham wihdatul wujud. Namun tuduhan tersebut dibantahnya sendiri dengan menulis buku Injazu'l-Wa'd fi ithfa-ar-Ra'd.

Hasan Mustapa juga beberapa karya seperti “Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta”, “Kasful Sarair Fihakikati Aceh wa Fidir”, “Leutik Jadi Patélaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan”, “Pakumpulan Atawa Susuratanana Antara Juragan Haji Hasan Mustafa Sareng Kyai Kurdi”, “Buku Pengapungan”, “Syekh Nurjaman”, “Buku Pusaka Kanaga Wara”, “Pamalatén”, “Wawarisan”, “Kasauran Panungtungan”, “Petikan Qur’an Katut Abad Padikana”, “Galaran Sasaka di Kaislaman”—dan buku yang disimpan oleh M. Wangsaatmadja (sekretarisnya) berjudul—“Aji Wiwitan”.

Budayawan Ajip Rosidi mencatat bahwa karya Hasan Mustapa dalam bentuk prosa berjumlah 23 judul dan kategori puisi (tembang) berjumlah 66 judul. Karya-karya tersebut sebagian besar disimpan di Universitas Leiden, Belanda. 

Atas jasanya dalam sastra dan kebudayaan Sunda, Hasan Mustapa pada 1977 memperoleh hadiah seni dari presiden Republik Indonesia dan  piagam panghargaan dari Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat tahun 1965 secara anumerta. *** (ahmad sahidin)