NAMAKU Jagad
Rasa. Aku dikenal sebagai orang luar biasa dan kaya. Kekayaanku berasal dari
keluargaku, warisan turun-temurun dari nenek moyangku. Tak habis-habis hingga
masa generasiku. Aku sendiri tak tahu, entah generasi ke berapa. Tapi itu tak
menjadi masalah buatku. Itu sebabnya aku tak mempersoalkannya. Yang menjadi
persoalanku adalah kabar-kabar yang sering kuterima dari orang-orang sekitarku
bahwa aku orang yang bisa lintas batas. Di dunia basah aku tak kedinginan. Di dunia
panas aku tak terbakar. Di
dunia sunyi aku tak kesepian. Di dunia ramai aku tak terganggu. Karena itulah
aku dijuluki wujud tanpa batas.
Julukan itu
melekat padaku bermula dari kedatangan Sang Ajal yang hendak mengambil nyawaku.
Suatu hari ia menemuiku untuk mencabut nyawaku. Karena aku orang yang percaya
bahwa segala suatunya telah ditentukan, maka kurelakan ia mengambil nyawaku. Meskipun itu satu-satunya yang kumiliki
dan tak ada cadangannya. Kalau ada, mungkin semua orang bisa mengulangi
kejadian atau aktivitasnya menjadi lebih baik dan sempurna. Sayang, tak ada
yang bisa membuatnya selain pemiliknya.
Setelah mengkabarkan perihal kedatangannya itu, Sang Ajal tanpa basa basi
langsung terbang mengepakkan sayapnya hingga tepat di ubun-ubunku.
.
Hening. Terasa dingin sekujur tubuhku. Tak ada suara desah nafasku. Tak ada lagi getar nadiku. Hanya hening,
sepi dan dingin. Tapi tiba-tiba mataku terbelalak dan mulutku berucap, “Sudah,
Ajal?”
“Hah, kau Jagad Rasa belum mati?”
“Coba sekali lagi!” saranku padanya. Ia pun kembali melakukannya. Namun
kejadiannya sama seperti yang pertama. Ia melihatku penuh heran. Bingung. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia diam. Ia diam. Mungkin menyimpan
ketidakmengertian terhadap tugasnya yang gagal. Aku kasihan melihatnya. Ia
diam. Bingung. Mungkin baru kali ini ia gagal dalam melaksanakan tugas sucinya.
“Aneh, baru kali ini aku menemukannya. Sungguh, biasanya tak seperdetik aku
menyelesaikannya”
Lalu aku menyarankannya untuk mengecek kembali agenda takdir yang
dibawanya. Ia pun mengikuti saranku. Ia mengecek daftar nama dari A hingga Z.
Dengan penuh rasa heran ia berujar, “Namamu tak ada di sini. Padahal tadi
melihat dengan jelas, Jagad Rasa yang paling awal jadi sasaranku”.
“Coba cek kembali. Mungkin terlalu cepat dan tak teliti melihatnya,”
saranku padanya yang langsung mengecek ulang agendanya itu. Dengan muka yang
bingung, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aneh. Benar-benar aneh, kok tak ada? Tapi tak mungkin kalau dihapusnya
kembali. Bukankah selalu konsisten terhadap ketentuannya sendiri?”
Ia menatapku dalam-dalam. Aku tahu dibenaknya banyak tanda tanya besar yang
tak terjawab. Karena itu aku menyarankannya untuk kembali sekesar bertanya:
kenapa dan mengapa memperlakukanku berbeda? Harusnya memperlakukan aku sama
seperti makhluk lainnya. Lahir, hidup, dan mati. Tiada, ada dan kembali tiada.
Tumbuh, berbunga atau berbuah, layu, kering, dan mati.
SEMENJAK
pertemuanku dengan Sang Ajal itulah aku senantiasa mencari seseorang yang bisa
membuatku wajar seperti yang lain. Ya, persoalanku kematianku yang
kusayembarakan pada khalayak ramai, bahkan keseluruh alam raya ini, bahwa barangsiapa
yang bisa mematikanku akan mendapatkan harta kekayaan dan kekuasaan yang tak
habis-habisnya.
Memang semenjak itu banyak yang datang mencoba. Tapi tiap-tiap mencoba
tidak ada satu pun yang berhasil. Ya, aku tak mati dan masih hidup seperti
biasanya. Itulah yang tak kumengerti, kenapa dan mengapa? Apakah segala suatu
merupakan hal yang tak perlu dimengerti? Apakah memang persoalan tersebut tak
boleh dipecahkan? Siapa sih yang berhak menentukan boleh dimengerti atau
tidaknya tiap-tiap persoalanku? Andai memang tak boleh, kenapa dan mengapa? Aku
tak tahu kenapa dan mengapa aku diperlakukan dalam kebimbangan yang teramat
sangat. Aku ingin keadilan yang sebenar-benarnya. Bukan rekayasa. Titik. Ini
yang kuinginkan sekarang.
Tapi, bukankah bahwa yang ada di sekitarku, termasuk diriku dan alam raya
ini hadir untuk dipahami dan dimengerti? Ya, bukankah yang “ada” sebenarnya
untuk dimngeryi adanya? Lalu bagaimana dengan yang “tiada”, apakah memang untuk
tidak diketahui ketiadaannya?
Ah, mungkin ini persoalan waktu. Atau belum saatnya. Seperti kata
orang-orang di sekitarku yang percaya tentang hal itu. Apakah aku harus yakin
terhadap segala sesuatu yang samara-samar saja? Ataukah itu merupakan yang
tidak boleh aku ketahui? Ya mungkin aku harus yakin sepenuhnya bahwa itu semua
misterius. Sebab jika diketahui, menungkin akan ketahuan belangnya, lantas
bersembunyi ditempat yang aman karena malu. Tapi itu tak mungkin. Bukankah
sesuatu yang tidak mungkin adalah sebuah proses untuk mungkin? Ataukah ini yang
disebut ketidakmampuan? Ya mungkin ini yang disebut keterbatasan.
“Hey, aku sudah menghadapnya”
“Apa katanya?”
“Ia menyampaikan pesan bahwa kau tak pelu cemas!” ucapnya seraya terbang
mengepakkan sayapnya di ubun-ubunku. Hening. Dingin. Tiada kabar. (ahmad
sahidin)