Jumat, 10 April 2015

(cerpen) Jagad Rasa

NAMAKU Jagad Rasa. Aku dikenal sebagai orang luar biasa dan kaya. Kekayaanku berasal dari keluargaku, warisan turun-temurun dari nenek moyangku. Tak habis-habis hingga masa generasiku. Aku sendiri tak tahu, entah generasi ke berapa. Tapi itu tak menjadi masalah buatku. Itu sebabnya aku tak mempersoalkannya. Yang menjadi persoalanku adalah kabar-kabar yang sering kuterima dari orang-orang sekitarku bahwa aku orang yang bisa lintas batas.  Di dunia basah aku tak kedinginan. Di dunia panas aku tak terbakar. Di dunia sunyi aku tak kesepian. Di dunia ramai aku tak terganggu. Karena itulah aku dijuluki wujud tanpa batas.

Julukan itu melekat padaku bermula dari kedatangan Sang Ajal yang hendak mengambil nyawaku. Suatu hari ia menemuiku untuk mencabut nyawaku. Karena aku orang yang percaya bahwa segala suatunya telah ditentukan, maka kurelakan ia mengambil nyawaku. Meskipun itu satu-satunya yang kumiliki dan tak ada cadangannya. Kalau ada, mungkin semua orang bisa mengulangi kejadian atau aktivitasnya menjadi lebih baik dan sempurna. Sayang, tak ada yang bisa membuatnya selain pemiliknya.


Setelah mengkabarkan perihal kedatangannya itu, Sang Ajal tanpa basa basi langsung terbang mengepakkan sayapnya hingga tepat di ubun-ubunku.
.
Hening. Terasa dingin sekujur tubuhku. Tak ada suara desah nafasku. Tak ada lagi getar nadiku. Hanya hening, sepi dan dingin. Tapi tiba-tiba mataku terbelalak dan mulutku berucap, “Sudah, Ajal?”

“Hah, kau Jagad Rasa belum mati?”

“Coba sekali lagi!” saranku padanya. Ia pun kembali melakukannya. Namun kejadiannya sama seperti yang pertama. Ia melihatku penuh heran. Bingung. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia diam. Ia diam. Mungkin menyimpan ketidakmengertian terhadap tugasnya yang gagal. Aku kasihan melihatnya. Ia diam. Bingung. Mungkin baru kali ini ia gagal dalam melaksanakan tugas sucinya.

“Aneh, baru kali ini aku menemukannya. Sungguh, biasanya tak seperdetik aku menyelesaikannya”

Lalu aku menyarankannya untuk mengecek kembali agenda takdir yang dibawanya. Ia pun mengikuti saranku. Ia mengecek daftar nama dari A hingga Z. Dengan penuh rasa heran ia berujar, “Namamu tak ada di sini. Padahal tadi melihat dengan jelas, Jagad Rasa yang paling awal jadi sasaranku”.

“Coba cek kembali. Mungkin terlalu cepat dan tak teliti melihatnya,” saranku padanya yang langsung mengecek ulang agendanya itu. Dengan muka yang bingung, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aneh. Benar-benar aneh, kok tak ada? Tapi tak mungkin kalau dihapusnya kembali. Bukankah selalu konsisten terhadap ketentuannya sendiri?”  

Ia menatapku dalam-dalam. Aku tahu dibenaknya banyak tanda tanya besar yang tak terjawab. Karena itu aku menyarankannya untuk kembali sekesar bertanya: kenapa dan mengapa memperlakukanku berbeda? Harusnya memperlakukan aku sama seperti makhluk lainnya. Lahir, hidup, dan mati. Tiada, ada dan kembali tiada. Tumbuh, berbunga atau berbuah, layu, kering, dan mati. 

SEMENJAK pertemuanku dengan Sang Ajal itulah aku senantiasa mencari seseorang yang bisa membuatku wajar seperti yang lain. Ya, persoalanku kematianku yang kusayembarakan pada khalayak ramai, bahkan keseluruh alam raya ini, bahwa barangsiapa yang bisa mematikanku akan mendapatkan harta kekayaan dan kekuasaan yang tak habis-habisnya.

Memang semenjak itu banyak yang datang mencoba. Tapi tiap-tiap mencoba tidak ada satu pun yang berhasil. Ya, aku tak mati dan masih hidup seperti biasanya. Itulah yang tak kumengerti, kenapa dan mengapa? Apakah segala suatu merupakan hal yang tak perlu dimengerti? Apakah memang persoalan tersebut tak boleh dipecahkan? Siapa sih yang berhak menentukan boleh dimengerti atau tidaknya tiap-tiap persoalanku? Andai memang tak boleh, kenapa dan mengapa? Aku tak tahu kenapa dan mengapa aku diperlakukan dalam kebimbangan yang teramat sangat. Aku ingin keadilan yang sebenar-benarnya. Bukan rekayasa. Titik. Ini yang kuinginkan sekarang.

Tapi, bukankah bahwa yang ada di sekitarku, termasuk diriku dan alam raya ini hadir untuk dipahami dan dimengerti? Ya, bukankah yang “ada” sebenarnya untuk dimngeryi adanya? Lalu bagaimana dengan yang “tiada”, apakah memang untuk tidak diketahui ketiadaannya?

Ah, mungkin ini persoalan waktu. Atau belum saatnya. Seperti kata orang-orang di sekitarku yang percaya tentang hal itu. Apakah aku harus yakin terhadap segala sesuatu yang samara-samar saja? Ataukah itu merupakan yang tidak boleh aku ketahui? Ya mungkin aku harus yakin sepenuhnya bahwa itu semua misterius. Sebab jika diketahui, menungkin akan ketahuan belangnya, lantas bersembunyi ditempat yang aman karena malu. Tapi itu tak mungkin. Bukankah sesuatu yang tidak mungkin adalah sebuah proses untuk mungkin? Ataukah ini yang disebut ketidakmampuan? Ya mungkin ini yang disebut keterbatasan.

“Hey, aku sudah menghadapnya”

“Apa katanya?”


“Ia menyampaikan pesan bahwa kau tak pelu cemas!” ucapnya seraya terbang mengepakkan sayapnya di ubun-ubunku. Hening. Dingin. Tiada kabar. (ahmad sahidin)