Kalau saya membaca dan melihat dari berbagai diskusi tentang Prabu Siliwangi (PS) dan Islam, baik itu dalam milis maupun dalam seminar atau sawala terbatas, tidak lepas dari apakah ia sudah Islam atau belum? Apakah Islamnya PS itu bersifat lahiriah atau batiniah? Tidak jauh dari soal agama yang dipegang hingga di mana makam serta mana bukti sejarahnya.
Bahkan
dalam sebuah seminar di Cirebon tentang Sunan Gunung Djati (SGD), cucu PS, yang
mengejarnya untuk di-Islamkan, Prof Nina Herlina Lubis meragukan adanya sosok SGD
dalam sejarah.
Kalau sosok SGD saja sudah diragukan, apalagi dengan PS yang tidak ada buki-bukti sejarah atau arkeologisnya, baik dalam bentuk kuburan atau pun lainnya, pasti lebih tepat disebut dengan mitos atau dongeng karena yang berkembang hanya cerita dari mulut ke mulut.
Untuk membuktikan bahwa sosok penyebar Islam tersebut (SGD) terbukti adanya, Prof Nina menyarankan untuk melakukan penggalian makamnya. Namun, keluarga Keraton Kasepuhan tidak mengiyakannya.
Bagi saya, tidak terlalu penting apakah sosok PS dan SGD itu ada atau tidaknya.
Biarkan itu dijawab oleh para peneliti (sejarawan atau arkeolog) dan tinggal
nikmati saja hasilnya sembari kita pertanyakan kembali.
Saya tidak mengerti mengapa masih ada orang Sunda yang mengatakan bahwa Islam hadir sebagai 'penghapus agama' di Sunda. Seseorang yang mengaku menganut keyakinan Sunda, dalam sebuah diskusi kecil menyebutkan ikrar orang Kanekes Banten bahwa orang Sunda asli menjauh dari Islam.
Prabu Siliwangi
Ada sedikit kesamaan dengan novel karya E Rokajat Asura (dua jilid) yang
berjudul Wangsit Siliwangi dan Prabu Siliwangi. Dalam novelnya itu diceritakan
bagaimana putra PS (Cakrabuana) yang sudah Islam datang dan mengajak PS masuk
Islam. Namun, PS marah dan hendak menikamkan kujang pada leher putranya itu.
Kemudian
ketika Kesultanan Cirebon kukuh, Cakrabuana dan SGD (cucunya) datang serta
mengejar PS agar mau memeluk Islam. Namun, tetap saja PS tidak mau dan
membiarkan masyarakatny untuk memilih agama: Islam atau agama Sunda Wiwitan.
Setelah itu PS pergi meninggalkan kerajaannya. Namun kemudian keraton Pajajaran dilenyapkan oleh anak dan cucunya sehingga tidak ada jejaknya hingga sekarang. Karena tidak ada jejaknya itu wajar sebagian sejarawan menyebutnya mitos alias bukan peristiwa sejarah.
Begitu juga dalam Majalah
Desantara (Edisi 02/ Tahun 01/ 2001, h. 41) disebutkan
bahwa masyarakat Sunda yang berpegang kuat dengan keyakinan agama Sunda berlari
dan masuk hutan Banten yang kini disebut masyarakat Baduy (Kanekes). Mereka
yang mengkau orang Kanekes ini disebut dalam majalah tersebut sebagai orang
Sunda yang paling kuat memegang ikrar yang berbunyi: “ turunan pajajaran anu mikukuhkeun agama sunda wiwitan, ngajauhkeun
eslam” [keturunan Pajajaran (Sunda) yang memegang kuat agama Sunda Wiwitan,
menjauhkan diri dari Islam].
Ikrar orang Sunda Kanekes tersebut kalau dibaca dengan konteks dahulu, maknanya adalah tidak akan bergabung dengan pemerintahan baru di Tatar Sunda, yaitu Kesultanan Cirebon dan Banten. Bisa juga diartikan secara harfiah bahwa mereka tidak mau memeluk Islam karena telah memiliki keyakinan yang mereka anggap benar.
Sekarang ini, orang Sunda yang mengaku memeluk agama Sunda Wiwitan sudah masuk
dalam organisasi seperti Aliran Perjalanan, Akur (Ada Karuhun Urang), Budi Daya dan lainnya. Penganutnya yang di
Bandung biasa melaksanakan ritual di Ciparay, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ***
(ahmad sahidin)