Jumat, 18 Februari 2022

Riyadhah: Uswah dan Amaliah

Tidak ada yang instan dalam hidup. Tidak ada perubahan yang hanya dengan membalik telapak tangan langsung terjadi. Tidak ada simsalabim abakatabrag. Hanya Allah yang mampu berbuat demikian. Manusia dan makhluk di alam semesta ini harus mengalami proses yang beruntun, teratur, dan sejalan dengan Kehendak-Nya. Kalau kehendak kita menyatu dengan Kehendak-Nya maka doa dan perubahan yang diinginkan akan terwujud. Tentu yang ini harus dilatih dan perlu proses dalam menjalaninya. Dalam tasawuf atau tarekat, proses tersebut disebut riyadhah (latihan-latihan) yang oleh penempuhnya wajib dijalani sambil tetap menjalankan syariat Islam atau ibadah-ibadah utama (mahdhah). 

Dalam riyadhah terdapat dua bagian: uswah dan amaliyyah. Bagian uswah merupakan bagian seseorang meniru atau meneladani jejak dari para penempuh jalan ruhani terdahulu. Dalam hal ini, seorang yang berupaya fana fillah perlu merujuk dan mempelajari tahapan tokoh sufi atau ulama yang berhasil dalam mewujudkan fana fillah. Sejumlah sufi, ulama, sahabat, Ahlulbait, dan Rasulullah saw pun patut untuk dipelajari perjalanan ruhaninya (spiritual). Kemudian diteladani setiap tahapan yang dilaluinya dengan sedikit pengembangan atau penyesuaian sesuai dengan konteks keseharian yang dijalani. 

Harus diakui bagi seorang manusia biasa, tentunya akan lebih lama dari waktu tempuh yang dijalani Rasululah saw. Meski tidak akan secepat dan sedrastis Rasulullah saw, yang terpenting adalah memiliki kehendak (iradah) untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik dan berupaya untuk senantiasa dalam kondisi lebih baik dari hari-hari sebelumnya (do the best every day).[1] 

Upaya yang harus dilakukan inilah yang disebut bagian amaliah (amaliyyah) dalam riyadhah untuk menuju fana fillah. Selain mengkaji dan meneladani teladan dari orang-orang sebelumnya, tentu ada tahapan yang perlu dijalani. 

Menurut Prof. Afif Muhammad, setiap sufi atau mursyid berbeda dalam memberikan tahapan jalan ruhani (maqamat) untuk didaki oleh seorang murid atau penempuh jalan ruhani. Bahkan, jumlah dalam setiap maqam pun tidak ada yang sama. Termasuk dalam hambatan-hambatan yang dialaminya pasti berbeda satu sama lain meski dalam satu lembaga sufi (tarekat). 

Berbagai rangkaian riyadhah yang dijalani seorang murid atau penempuh jalan ruhani (termasuk jalan Pancalaku yang digagas Mas Wiyoso), secara ringkas terangkum dalam tiga: tahap mengosongkan diri dari berbagai dosa dan penyakit hati (takhali), mengisi hati dan menghiasinya kembali dengan nilai-nilai Ilahi (tahalli), dan merasakan perwujudan Ilahi dalam kehidupan (tajalli). 

Sementara dasar dari riyadhah tersebut adalah iradah dan khidmat. Yang pertama ini oleh Ibnu Sina disebut sebagai tahap permulaan untuk memulai semua riyadhah. Iradah bermakna hasrat dan kerinduan serta kehendak dan keinginan kuat (azzam) yang muncul dari diri sendiri (setelah merasakan adanya kesadaran untuk hidup di bawah naungan Allah dan membutuhkan-Nya). Tanpa ada iradah dalam diri maka riyadhah tidak akan terlaksana dengan baik. Setiap kali muncul hambatan dan kemalasan dalam riyadhah, kalau melihat kembali pada iradah yang diteguhkan sejak awal maka kembali bersemangat.[2] 

Iradah ini hampi sama dengan niat yang menjadi penentu sah tidaknya dalam beramal. Kalau niat hanya sekadar motivasi dari hati atau lahir karena sentuhan dalil-dalil (nash), tetapi iradah bersifat menggerakan tubuh dan jiwa untuk tetap menjalani riyadhah yang diberikan guru (mursyid) atau yang dipilih sendiri dari hasil telaah atas buku-buku spiritual. 

Sementara khidmat berarti “pelayanan dan melayani” seluruh makhluk Allah yang bertujuan menundukan ego dan menghilangkan penyakit-penyakit hati yang akan menghambat perjalanan ruhani. Khidmat berkaitan dengan hubungan (interaksi) dengan orang lain: bekerja atau melayani tanpa pamrih dan membuat orang lain bahagia.

Rasulullah saw bersabda, “semua makhluk adalah anggota keluarga Allah. Dan makhluk yang paling dicintai Allah adalah mereka yang paling berguna bagi seluruh anggota keluarga-Nya dan sering memasukkan rasa kepada mereka.” Kemudian disebutkan juga, “memenuhi keperluan seorang mukmin lebih Allah cintai daripada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakkan ratusan ribu dirham atau dinar.[3]     

Sejumlah kisah orang besar atau tokoh Islam, banyak yang sukses karena khidmat. Diceritakan bahwa KH.Hasyim Asy’ari saat nyantri tidak belajar seperti santri lainnya yang memegang kertas, tinta, atau membaca kitab-kitab. Ia oleh gurunya, Syaikh Khalil Bangkalan, disuruh mengurus kuda setiap hari dan kadang disuruh untuk memijat kiai. Kesibukannya menyebabkan jarang mengikuti kegiatan santri: membaca kitab, hafalan, dan belajar di madrasah. Setelah cukup lama di pesantren, gurunya menyuruh pulang untuk mendirikan pesantren. Ia mulanya yakin bisa karena tidak memiliki ilmu agama. Karena itu perintah gurunya, ia lakukan juga dan sambil mengelola pesantren, ia belajar sendiri dan dengan cepat menguasai ilmu-ilmu agama serta mudah dalam menelaah kitab-kitab. Kemudian berhasil mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan kini menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. 

Kemudian ada seorang pemilik perusahaan nasional yang besar dan ternama. Mulanya ia seorang pekerja yang kerjanya disuruh-suruh. Ia jalani dengan sabar dan sambil belajar dari perusahaan tempatnya bekerja. Tahun demi tahun ia jalani: bekerja dan belajar secara langsung yang kemudian setahap demi tahap melangkah dan meniti karier sampai level atas kemudian menjadi pemilik beberapa perusahaan. 

Kisah lainnya: dahulu ada seorang pembantu, mbok, di rumah kiai dan pesantren. Setiap hari menyiapkan makan, minum, dan keperluan yang dibutuhan kiai dan santri. Setiap kali memasak atau bekerja tidak lepas dari melafalkan asma-asma Allah yang didapatkannya dari kiai saat pengajian. Kemudian itu dijadikannya wirid harian. Suatu hari kiai bersama anggota keluarga berangkat haji dengan mengajak mbok. Perjalanan haji waktu itu menggunakan kapal laut. Di tengah laut dan dalam kapal, si mbok tetap beraktivitas sebagai pembantu. Sambil mengulek sambal, si mbok melafalkan wirid. Tiba-tiba sang kiai menegur lafal yang dibacakan si mbok salah dalam makhraj. Si mbok langsung berkata, “maaf Kiai, catetannya tertinggal di rumah. Saya ambil dulu ya…” Si mbok berdiri kemudian berjalan dan melonjat ke laut. Anehnya, tidak tenggelam malah dapat berjalan di atas air laut. Ketika melihat kejadian itu, sang kiai kaget dan langsung pingsan.[4]  

Tentu dari proses khidmat terkandung di dalamnya unsur kerelaan, ikhlas, sabar, tawakal, dan lainnya. Secara tidak langsung maqamat dan riyadhah menyerap dan terwujud dalam masa-masa khidmat. Khidmat sebagai bagian dari riyadhah ruhani dapat meruntuhkan ego dan keangkuhan. Banyak gangguan jiwa, keresahan hidup, dan stres berkepanjangan yang bermula dari perbuatan yang selalu mementingkan diri sendiri. Kita ingin orang lain atau bawahan mengikuti kehendak kita. Apabila tidak sesuai biasanya akan timbul kemarahan atau kekecewaan. Atau saat anggota keluarga ada yang tidak mengikuti kehendak kita maka marahlah. Tindakan dan sikap demikian sebetulnya keangkuhan dan egois. Dari yang demikian kalau terus disimpan muncul penyakit hati yang dapat membahayakan kondisi fisik menjadi sakit. Penyakit hati yang berasal dari ego dapat diredakan melalui proses khidmat.  

Dalam tasawuf, khidmat memiliki fungsi yang di antaranya: menaklukkan ego, meruntuhkan kesombongan (takabur), mendekatkan kepada Allah, belajar mencintai, dan menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs).[5] Kalau tidak percaya, silakan coba dan renungkan setiap gejolak batin dan pikiran yang Anda alami. 

Cobalah ketika sampai di kantor, buat kopi dan minuman untuk seluruh karyawan atau bawahan Anda yang langsung dibuat dengan tangan Anda sendiri. Kalau ada waktu, lakukan pekerjaan yang menurut Anda bernilai rendah yang dilakukan karyawan. Misalnya kegiatan yang dilakukan office boy, tukang kebun, dan pesuruh. Disela-sela istirahat, coba bergabung dengan bawahan-bawahan Anda dan dengarkan keluhan mereka. Renungkan kalau posisi Anda sama dengan mereka. Lakukan sesering mungkin. Jangan hiraukan cemoohan atau cibiran, bahkan pujian orang lain. Anggaplah itu godaan untuk sabar, ikhlas, dan gali hikmahnya.   

Kemudian di rumah, berilah penghormatan untuk para pembantu dengan menyertakan mereka dalam satu jamuan makan bersama keluarga. Sesekali coba Anda sertai mereka saat beraktivitas. Luangkan waktu untuk mengobrol dan mendengarkan pendapat mereka tentang Anda dan minta kritiknya.  

Sempatkan pula untuk ke masjid. Bawa alat kebersihan kemudian bersihkan toilet dan halaman masjid dengan tangan Anda langsung. Bersihkan selokan-selokan di sekitar rumah Anda. Kemudian yang lebih sosial: luangkan waktu Anda untuk membacakan buku bagi orang-orang yang tunanetra di sejumlah yayasan atau lembaga sosial, kerja bakti di selokan-selokan sekitar tanpa ditemani orang lain, membantu langsung pekerjaan para perawat di panti jompo: memandikan, memakaikan pakaian, menceboki, dan menyuapkan makan. 

Lakukan setiap aktivitas khidmat selama empat puluh kali dengan waktu disesuaikan dengan jadwal Anda. Rasakan proses dalam khidmat yang Anda lakukan, pasti akan merasakan sesuatu yang berat. Selama proses itu buktikan kesabaran, zuhud, tawadhu, ikhlas, dan kerelaan (ridha) dalam melayani orang lain. Kenanglah perjalanan hidup para Nabi, Rasulullah saw, Ahlulbait, sahabat, waliyullah, ulama, orangtua, atau tokoh yang besar dengan perjuangannya. Renungkanlah hikmah dalam setiap aktivitas khidmat yang Anda lakukan. Kalau Anda mampu melakukannya, berarti sudah masuk dalam proses menjalani riyadhah menuju fanafillah. *** (ahmad sahidin)   


catatan akhir

[1] Sesuai dengan hadits, “Barang siapa yang sama dua harinya, ia termasuk kelompok yang merugi.” Penjelasan berkaitan dengan hadits tersebut silakan baca buku Tasawuf for Beginners: Mengeja dari Mula, Mengkaji dari Tepi karya Miftah F.Rakhmat (Bandung: Simbiosa, 2011) halaman 103-07.

[2] Penjelasan lengkap berkaitan dengan iradah dapat dibaca pada karya Muthahhari yang mengutipnya dari Kitab Isyarat karya Ibnu Sina. Murtadha Muthahhari, Mengenal Irfan (Jakarta: IIMan, 2002) halaman 77-81.

[3] Hadits tersebut terdapat dalam buku Jalaluddin Rakhmat, The Road to Allah (Bandung: Mizan, 2008) halaman 261-262.

[4] Kisah ini disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat yang bersumber dari budayawan Emha Ainun Najib.

[5] Uraian lengkap dapat dibaca pada buku Jalaluddin Rakhmat, The Road to Allah (Bandung: Mizan, 2008) halaman 265-267