Sabtu, 12 Februari 2022

Islam dan Ekstremisme Agama

PAGI itu fajar mulai berpijar. Merah kuning emas hiasi langit. Di seberang sana sebuah tentara pasukan berkuda dengan senjata lengkap berjejer rapi. Pemandangan serupa tampak di seberang lainnya. Di antara dua pasukan yang siap tempur itu, seseorang berdiri di tengah-tengah. Ia memandang keduanya. Wajah bingung sangat tampak. Kembali ia memandang, seakan-akan meminta jawab. Ia berjalan mendekat ke seberang yang rata-rata berjejer para sahabat dan keturunan tokoh Quraisy Mekkah yang dipimpin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia bertanya, “Mengapa kalian berperang? Bukankah sama-sama Muslim?”

Hening. Tak ada yang menjawab. Ia berlari ke seberang yang berbaris dengan barisan keturunan Rasulullah Saw. Ia berdiri dan bertanya, "Ya Amirul Mukminin, bukankah mereka itu Muslim? Kenapa mesti berperang? Bukankah mereka shalat dan ibadah seperti Anda?"

Sambil memegang panji hitam, Ammar bin Yassir, atas perintah Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, menjawab, ”Kaulihat lihat bendera itu di sana. Dahulu, bersama Rasulullah SAW, aku memerangi bendera itu untuk tanzil al-quran (membenarkan wahyu). Kini memerangi bendera yang sama untuk membela ta`wil al-quran (berperang karena berbeda memahami dan menafsirkan quran). Sahabatku, kau benar, mereka itu Muslim. Yang menjadikan kita berperang karena mereka berbeda dengan kita. Kita mengusung kebenaran ilahiyah dan berperang untuk Allah, Rasulullah, dan agama Islam. Sedang mereka tidak seperti kita."

Terjadilah perang antara kelompok Ali bin Abi Thalib melawan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam perang itu pihak Muawiyah terdesak. Penasehatnya, Amr bin Ash, menyarankan agar mengacungkan Al-Quran dan melakukan tahkim (damai). “Tuanku, jika mereka menyetujui kita atur dulu siasat yang bagus sehingga Tuan tetap jadi khalifah Islam,” saran Amr.

Muawiyah pun mengiyakannya. Lalu kedua pihak sepakat untuk mengirimkan perwakilannya. Mulanya Ali bin Abu Thalib memilih Malik al-Asytar. Tetapi sebagian pengikutnya yang berasal dari Arab baduy menolak karena dianggap sangat dekat dengan Ali. Mereka memutuskan Musa al-Asyari, yang lebih tua, mewakili Ali bin Abu Thalib.

Kedua pihak sepakat menurunkan dua pimpinan dan kemudian akan memilih secara bersama-sama di antara keduanya. Karena Musa lebih senior, sebagai penghormatan, Amr mempersilahkannya untuk lebih dahulu ke mimbar dan mengumumkan bahwa Ali telah diturunkan dari kedudukannya sebagai pimpinan.

Selanjutnya, Amr naik mimbar dan berpidato, “Terimakasih saudaraku, Musa al-Asyari, karena Ali bin Abu Thalib telah turun sebagai khalifah, maka dengan ini saya tegaskan secara bersama bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah Islam kalian semua.”

Melihat kelicikan itu, sebagian pengikut Ali mengamuk. Orang-orang berlarian entah kemana. Pengikut Ali yang mengamuk ini dikenal sebagai Khawarij—yang memisahkan dari barisan—dan membentuk firqah sendiri dengan aturan hukum yang harfiah. Menurut Khawarij, kedua pihak yang berdamai tidak menjalankan hukum Allah. Karena itu, Amr-Muawiyah-Musa-Ali termasuk yang murtad dan harus bertobat. Ajakan tobat mereka tak digubris. Ali bin Abu Thalib membantah, “bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya tahkim. Merekalah yang harus bertobat karena tak patuh dan membantah perintahku dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan”.

Khawarij tetap pada pendiriannya. Keempat orang itu tetap dianggap telah murtad dan kafir sehingga pantas untuk dihukum mati atas dosa-dosanya yang menjadikan wafat ribuan umat Islam dalam perang. Mereka berpijak pada argumen, tidak ada hukum kecuali berhukum dengan hukum Allah. Barangsiapa yang tak berhukum dengan ketentuan-Nya, maka layak untuk ditiadakan—meski sudah bersyahadat—kalau tak bertobat.

Hanya satu orang yang berhasil dibunuh, yaitu Ali bin Abu Thalib. Ali wafat pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah, di Masjid Kufah saat shalat subuh. Menantu Rasulullah Saw ini wafat ditebas seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam, yang mengayunkan pedangnya hingga melukai kepala Imam Ali bin Abu Thalib.

Selama dua hari, Imam Ali terbaring sakit akibat lukanya yang amat parah dan pada 21 Ramadhan, beliau berpulang ke rahmatullah. Beberapa sebelum wafat, Ali berwasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husein, “Janganlah kalian membunuh kaum khawarij sepeninggalku. Sebab, berbeda antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan; dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya” (Nahjul Balaghah—khutbah 59).

Ia juga meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, ”Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akalnya. Mereka berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang terbaik. Mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melepasi kerongkong mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya, membunuh mereka ada pahalanya di sisi Allah pada Hari Kiamat.” (HR.Muslim)

Dalam khazanah teologi Islam, Murtadha Muthahhari menyebut Khawarij sebagai model firqah ghuluw (ekstrem), yang mengaitkannya dengan surat Al-Maidah ayat 77, “ …janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tak benar dalam menjalankan agamamu…” ; dan surat Annisa ayat 171, “…janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu…”.   Kata berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam kedua ayat tersebut diistilahkan dengan kata ’ghuluw’ yang secara makna berarti ’orang yang tidak mengenal hakikat nash’ sehingga serampangan dalam menerapkannya. Jadi, ghuluw adalah mereka yang mencari kebenaran, tetapi belum menemukannya sehingga terjerumus dalam ekstremisme agama. Contoh gerakan ini adalah Khawarij. Mereka dalam sejarah melakukan kedzaliman terhadap umat Islam yang pahamnya berbeda dengan cara membunuhnya. Mereka juga membuat standar aturan agama secara harfiah.

Pernah diceritakan, kaum Khawarij yang rata-rata berdiam di padang pasir dan gurun-gurun, melakukan investigasi akidah terhadap orang-orang yang ditemuinya. Jika ada orang yang mengaku Muslim ditanyakan perihal keimanan Ali bin abu Thalib. Jika mengatakan beriman, maka berakhirlah hidupnya di tempat itu. Jika mengatakan tidak tahu, maka selamat. Mereka juga berbeda dalam memperlakukan orang. Jika seorang Muslim, akan selalu dicurigai. Tapi bila non-muslim, amanlah dari kedzalimannya. Di masa berkembangnya Khawarij, orang-orang Islam selalu menghindar dari mereka dengan mengatakan dirinya bukan Muslim. Keberadaan mereka tidak lama karena penguasa Dinasti Umayyah tak menghendaki keberadaan mereka. Khawarij kian hari tak mendapatkan tempat di masyarakat. Sedikit demi sedikit punahlah mereka.

Selain Khawarij, gerakan yang se-model terlihat pada Wahabiyah di Arab Saudi—yang memberangus, membid`ahkan dan mengkafirkan tharekat-tharekat dan aliran Islam yang bercorak sufistik; gerakan reformasi Kemal Atturk di Turki—yang mengubah bacaan shalat, adzan, dan ucapan salam dengan bahasa lokal serta larangan keras untuk mengenakan busana muslimah yang berjilbab; rezim Thaliban di Afghanistan—yang mewajibkan laki-laki berjanggut, mengenakan ujung celana di atas mata kaki dan keharusan memakai cadar atau burdah serta larangan bekerja di luar rumah bagi kaum perempuan. Jika tidak mematuhi, maka hukuman keraslah yang diterima warga Afghanistan; dan beberapa aksi bom di Tanah Air serta pencekalan terhadap beberapa organisasi Islam, juga termasuk kategori ekstremisme agama.

Tidak hanya mereka yang menafsirkan nash-nash agama secara harfiah yang layak disebut ekstremis-agama, juga kalangan liberalisme dan sufisme yang bepegangteguh dalam pemahamannya masing-masing dan menganggap salah terhadap yang lain, pun bisa dikategorikan ekstremis.

Murtadha Muthahhari mengatakan, ada dua hal yang menyebabkan seseorang atau firqah terjerumus dalam ekstremisme agama. Pertama adalah dikarenakan menafsirkan nash-nash Islam secara harfiah dan tak mau menggali khazanah ilmu-ilmu Islam yang lebih luas. Kedua, dikarenakan kebodohan (jahl) dan kejumudan (tafrith) pola pikir .

Menurut Dr.Yusuf Qardhawi, mereka yang berkecenderungan ekstrem itu dicirikan dengan selalu fanatik pada satu pendapat dan tak mengakui pendapat yang lainnya. Tak bisa membedakan antara nilai-nilai agama dan cenderung bersikap keras dan kasar. Juga cenderung buruk sangka dan mudah mengkafirkan orang yang berbeda dengan pahamnya.

Seperti yang dijelaskan Imam Ali pada kedua putranya, orang yang bersikap ekstrem dalam beragama berbeda dengan orang yang berbuat bathil. Orang bathil bisa dikategorikan yang tidak tunduk atau menolak kebenaran dan melawan yang haqq secara terang-terangan. Mereka ini bisa disebut kafir atau kufur, yang bisa diartikan menolak kebenaran atau yang benar-benar secara kasat mata melawan dan merongrong Islam dan menindas umat manusia.

Islam bukan agama teroris. Islam memang punya landasan untuk bersikap keras dan juga bersikap lembut. Islam memang memiliki sisi keras, tapi kekerasan yang pada tempatnya, bukan sembarang tindak dan terjang tanpa alasan. Islam tidak pernah mengatakan, jika salah satu dari pipi Anda ditempeleng maka berikanlah pipi Anda yang lain. Namun, Islam mengajarkan bahwa jika diserang maka kita pun tak salah melawannya. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)