PAGI itu fajar mulai berpijar. Merah kuning
emas hiasi langit. Di seberang sana sebuah tentara pasukan berkuda dengan
senjata lengkap berjejer rapi. Pemandangan serupa tampak di seberang lainnya.
Di antara dua pasukan yang siap tempur itu, seseorang berdiri di tengah-tengah.
Ia memandang keduanya. Wajah bingung sangat tampak. Kembali ia memandang,
seakan-akan meminta jawab. Ia berjalan mendekat ke seberang yang rata-rata
berjejer para sahabat dan keturunan tokoh Quraisy Mekkah yang dipimpin Muawiyah
bin Abu Sufyan. Ia bertanya, “Mengapa kalian berperang? Bukankah sama-sama
Muslim?”
Hening. Tak ada yang menjawab. Ia berlari ke
seberang yang berbaris dengan barisan keturunan Rasulullah Saw. Ia berdiri dan
bertanya, "Ya Amirul Mukminin, bukankah mereka itu Muslim? Kenapa mesti
berperang? Bukankah mereka shalat dan ibadah seperti Anda?"
Sambil memegang panji hitam, Ammar bin Yassir,
atas perintah Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, menjawab, ”Kaulihat lihat
bendera itu di sana. Dahulu, bersama Rasulullah SAW, aku memerangi bendera itu
untuk tanzil al-quran (membenarkan wahyu). Kini memerangi bendera yang sama
untuk membela ta`wil al-quran (berperang karena berbeda memahami dan
menafsirkan quran). Sahabatku, kau benar, mereka itu Muslim. Yang menjadikan
kita berperang karena mereka berbeda dengan kita. Kita mengusung kebenaran
ilahiyah dan berperang untuk Allah, Rasulullah, dan agama Islam. Sedang mereka
tidak seperti kita."
Terjadilah perang antara kelompok Ali bin Abi Thalib melawan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam perang itu
pihak Muawiyah terdesak. Penasehatnya, Amr bin Ash, menyarankan agar
mengacungkan Al-Quran dan melakukan tahkim (damai). “Tuanku, jika mereka
menyetujui kita atur dulu siasat yang bagus sehingga Tuan tetap jadi khalifah
Islam,” saran Amr.
Muawiyah pun mengiyakannya. Lalu kedua pihak
sepakat untuk mengirimkan perwakilannya. Mulanya Ali bin Abu Thalib memilih
Malik al-Asytar. Tetapi sebagian pengikutnya yang berasal dari Arab baduy
menolak karena dianggap sangat dekat dengan Ali. Mereka memutuskan Musa
al-Asyari, yang lebih tua, mewakili Ali bin Abu Thalib.
Kedua pihak sepakat menurunkan dua pimpinan
dan kemudian akan memilih secara bersama-sama di antara keduanya. Karena Musa
lebih senior, sebagai penghormatan, Amr mempersilahkannya untuk lebih dahulu ke
mimbar dan mengumumkan bahwa Ali telah diturunkan dari kedudukannya sebagai
pimpinan.
Selanjutnya, Amr naik mimbar dan berpidato,
“Terimakasih saudaraku, Musa al-Asyari, karena Ali bin Abu Thalib telah turun
sebagai khalifah, maka dengan ini saya tegaskan secara bersama bahwa Muawiyah
bin Abu Sufyan menjadi khalifah Islam kalian semua.”
Melihat kelicikan itu, sebagian pengikut Ali
mengamuk. Orang-orang berlarian entah kemana. Pengikut Ali yang mengamuk ini
dikenal sebagai Khawarij—yang memisahkan dari barisan—dan membentuk firqah
sendiri dengan aturan hukum yang harfiah. Menurut Khawarij, kedua pihak yang
berdamai tidak menjalankan hukum Allah. Karena itu, Amr-Muawiyah-Musa-Ali
termasuk yang murtad dan harus bertobat. Ajakan tobat mereka tak digubris. Ali
bin Abu Thalib membantah, “bukankah mereka yang awalnya menghendaki adanya
tahkim. Merekalah yang harus bertobat karena tak patuh dan membantah perintahku
dalam melanjutkan perang yang akan meraih kemenangan”.
Khawarij tetap pada pendiriannya. Keempat
orang itu tetap dianggap telah murtad dan kafir sehingga pantas untuk dihukum
mati atas dosa-dosanya yang menjadikan wafat ribuan umat Islam dalam perang.
Mereka berpijak pada argumen, tidak ada hukum kecuali berhukum dengan hukum
Allah. Barangsiapa yang tak berhukum dengan ketentuan-Nya, maka layak untuk ditiadakan—meski
sudah bersyahadat—kalau tak bertobat.
Hanya satu orang yang berhasil dibunuh, yaitu
Ali bin Abu Thalib. Ali wafat pada 21 Ramadhan tahun 40 Hijriah, di Masjid
Kufah saat shalat subuh. Menantu Rasulullah Saw ini wafat ditebas seorang
Khawarij bernama Ibnu Muljam, yang mengayunkan pedangnya hingga melukai kepala
Imam Ali bin Abu Thalib.
Selama dua hari, Imam Ali terbaring sakit
akibat lukanya yang amat parah dan pada 21 Ramadhan, beliau berpulang ke
rahmatullah. Beberapa sebelum wafat, Ali berwasiat kepada kedua anaknya, Hasan
dan Husein, “Janganlah kalian membunuh kaum khawarij sepeninggalku. Sebab,
berbeda antara orang yang mencari kebenaran dan terjerumus dalam kesalahan;
dengan orang yang mencari kebatilan dan mendapatkannya” (Nahjul Balaghah—khutbah
59).
Ia juga meriwayatkan sebuah hadits, Rasulullah
saw bersabda, ”Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah
akalnya. Mereka berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang terbaik.
Mereka membaca Al-Quran tetapi tidak melepasi kerongkong mereka. Mereka keluar
dari agama sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Apabila kamu
bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya, membunuh
mereka ada pahalanya di sisi Allah pada Hari Kiamat.” (HR.Muslim)
Dalam khazanah teologi Islam, Murtadha Muthahhari
menyebut Khawarij sebagai model firqah ghuluw (ekstrem), yang mengaitkannya
dengan surat Al-Maidah ayat 77, “ …janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara
yang tak benar dalam menjalankan agamamu…” ; dan surat Annisa ayat 171,
“…janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu…”. Kata berlebih-lebihan atau melampaui batas
dalam kedua ayat tersebut diistilahkan dengan kata ’ghuluw’ yang secara makna
berarti ’orang yang tidak mengenal hakikat nash’ sehingga serampangan dalam
menerapkannya. Jadi, ghuluw adalah mereka yang mencari kebenaran, tetapi belum
menemukannya sehingga terjerumus dalam ekstremisme agama. Contoh gerakan ini
adalah Khawarij. Mereka dalam sejarah melakukan kedzaliman terhadap umat Islam
yang pahamnya berbeda dengan cara membunuhnya. Mereka juga membuat standar
aturan agama secara harfiah.
Pernah diceritakan, kaum Khawarij yang
rata-rata berdiam di padang pasir dan gurun-gurun, melakukan investigasi akidah
terhadap orang-orang yang ditemuinya. Jika ada orang yang mengaku Muslim
ditanyakan perihal keimanan Ali bin abu Thalib. Jika mengatakan beriman, maka
berakhirlah hidupnya di tempat itu. Jika mengatakan tidak tahu, maka selamat.
Mereka juga berbeda dalam memperlakukan orang. Jika seorang Muslim, akan selalu
dicurigai. Tapi bila non-muslim, amanlah dari kedzalimannya. Di masa
berkembangnya Khawarij, orang-orang Islam selalu menghindar dari mereka dengan
mengatakan dirinya bukan Muslim. Keberadaan mereka tidak lama karena penguasa
Dinasti Umayyah tak menghendaki keberadaan mereka. Khawarij kian hari tak
mendapatkan tempat di masyarakat. Sedikit demi sedikit punahlah mereka.
Selain Khawarij, gerakan yang se-model
terlihat pada Wahabiyah di Arab Saudi—yang memberangus, membid`ahkan dan
mengkafirkan tharekat-tharekat dan aliran Islam yang bercorak sufistik; gerakan
reformasi Kemal Atturk di Turki—yang mengubah bacaan shalat, adzan, dan ucapan
salam dengan bahasa lokal serta larangan keras untuk mengenakan busana muslimah
yang berjilbab; rezim Thaliban di Afghanistan—yang mewajibkan laki-laki
berjanggut, mengenakan ujung celana di atas mata kaki dan keharusan memakai
cadar atau burdah serta larangan bekerja di luar rumah bagi kaum perempuan.
Jika tidak mematuhi, maka hukuman keraslah yang diterima warga Afghanistan; dan
beberapa aksi bom di Tanah Air serta pencekalan terhadap beberapa organisasi
Islam, juga termasuk kategori ekstremisme agama.
Tidak hanya mereka yang menafsirkan nash-nash
agama secara harfiah yang layak disebut ekstremis-agama, juga kalangan
liberalisme dan sufisme yang bepegangteguh dalam pemahamannya masing-masing dan
menganggap salah terhadap yang lain, pun bisa dikategorikan ekstremis.
Murtadha Muthahhari mengatakan, ada dua hal
yang menyebabkan seseorang atau firqah terjerumus dalam ekstremisme agama.
Pertama adalah dikarenakan menafsirkan nash-nash Islam secara harfiah dan tak
mau menggali khazanah ilmu-ilmu Islam yang lebih luas. Kedua, dikarenakan
kebodohan (jahl) dan kejumudan (tafrith) pola pikir .
Menurut Dr.Yusuf Qardhawi, mereka yang
berkecenderungan ekstrem itu dicirikan dengan selalu fanatik pada satu pendapat
dan tak mengakui pendapat yang lainnya. Tak bisa membedakan antara nilai-nilai
agama dan cenderung bersikap keras dan kasar. Juga cenderung buruk sangka dan
mudah mengkafirkan orang yang berbeda dengan pahamnya.
Seperti
yang dijelaskan Imam Ali pada kedua putranya, orang yang bersikap ekstrem dalam
beragama berbeda dengan orang yang berbuat bathil. Orang bathil bisa
dikategorikan yang tidak tunduk atau menolak kebenaran dan melawan yang haqq
secara terang-terangan. Mereka ini bisa disebut kafir atau kufur, yang bisa
diartikan menolak kebenaran atau yang benar-benar secara kasat mata melawan dan
merongrong Islam dan menindas umat manusia.
Islam bukan agama teroris. Islam memang punya
landasan untuk bersikap keras dan juga bersikap lembut. Islam memang memiliki
sisi keras, tapi kekerasan yang pada tempatnya, bukan sembarang tindak dan
terjang tanpa alasan. Islam tidak pernah mengatakan, jika salah satu dari pipi
Anda ditempeleng maka berikanlah pipi Anda yang lain. Namun, Islam mengajarkan
bahwa jika diserang maka kita pun tak salah melawannya. *** (ahmad sahidin, alumni
uin sgd bandung)