Siapa yang tidak kenal dengan Yusuf Qardhawi? Seorang ulama ternama dan
banyak dirujuk umat Islam. Yusuf Abdullah Qardhawi lahir pada 9 September 1926
di Shaftu Turab, Mahallah Al-Kubra, Provinsi Al-Garbiyah Republik Arab Mesir.
Saat berusia sepuluh tahun, Qardhawi belajar di Ilzamiyah dan sudah hafal
Al-Quran serta menguasai ilmu tilawah. Qardhawi melanjutkan pendidikan ke Tanta
dan menamatkannya di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar pada 1952-1953
dengan predikat terbaik. Selanjutnya, belajar bahasa Arab selama dua tahun
hingga memperoleh ijazah internasional dan sertifikat mengajar. Pada 1957 aktif
di Ma’had Al-Buhus wa Al-Dirasat Al-Arabiyah Al-Aliyah pada 1960 menyelesaikan
master di Universitas Al-Azhar dan doktornya diraih pada 1972 dengan disertasi
“Fikih Al-Zakah”.
Dalam pemikiran keislaman, Qardhawi
merujuk pendapat Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syaikh Al-Bakhi
Al-Khauli, Muhammad Abdullah Darraz, Syaikh Mahmud Syaltut, dan Imam Hasan
Al-Banna. Karena terlibat dalam gerakan Ikhwanul Muslimin, pada April dan
Oktober 1956, Qardhawi dipenjarakan. Selanjutnya, pada 1961 Qardhawi pergi ke
Qatar dan mendirikan Madrasah Ma’had Al-Diin yang berkembang menjadi Fakultas
Syari’ah Universitas Qatar.[1]
Setelah menikah, Qardhawi dikaruniai tujuh
anak (empat putri dan tiga putra). Salah seorang putrinya memperoleh gelar
doktor bidang fisika nuklir dari Inggris, putri keduanya memperoleh gelar
doktor bidang kimia, putri yang ketiga masih menempuh pendidikan S-3, dan yang
keempat lulusan Universitas Texas, Amerika. Sedangkan anak laki-lakinya yang
pertama menempuh pendidikan S-3 bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua
belajar di Universitas Darul Ulum, Mesir, dan yang bungsu lulusan teknik
listrik.[2]
Selain mengajar, Qardhawi juga memegang
beberapa jabatan penting seperti Dekan Fakultas Syariah dan Studi Islam di
Universitas Qatar, Direktur Kajian Sunnah dan Sirah di Universitas Qatar,
anggota Lembaga Tertinggi Dewan Fatwa dan Pengawasan Syariah di Persatuan Bank
Islam Internasional, pakar Fikih Islam di Organisasi Konferensi Islam,
Anggota/Pendiri Yayasan Kebajikan Islam Internasional, dan Anggota Majelis
Pengembangan Dakwah Islamiyah di Afrika.
Buku-buku yang sudah ditulisnya adalah “Fikih
al-Zakah”, “Fqh al-Nisa”, “Madkhal limakrifati al-Islam wa Muqawwimatuh”,
“Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam”, “Bai al-Murabahah li al-Amir bi al-Syira”,
“Fawaid al-Bunuk Hiya al-Riba al-Muharram”, “Al-Aql wa al-Ilmi fi al-Quran
al-Karim”, “Al-Fikih al-Islamiy bain al-Asalah wa al-Tajdid”, “Fatawa
Muashirah”, “Al-Ijtihad fi al-Syariat al-Islamiyah”, “Al-Ijtihad al-Muashir
baina al-Indhibath wa al-Imfirath”,“Malamih al-Mujtama al-Muslim alladzi
Nunsyiduhu”, dan “Al-Sunnah Mashdaran li al-Makrifah wa al-Hadharah”.[3]
Sebagai ulama ia memiliki kontribusi yang
besar bagi perkembangan khazanah intelektual Islam, terutama dalam hukum Islam
(fikih) dan pemikiran (teologi) Islam yang bersifat moderat.
Dalam upaya merealisasikan prinsip-prinsip
keislaman yang moderat dan menentang sikap ekstremisme Islam serta sekularisme
Barat, Yusuf Qardhawi berijtihad membangun sebuah hukum Islam baru (fikihul
jadid), yaitu fikih al-muwazanah (fikih keseimbangan), sebuah metode
untuk mengambil keputusan hukum pada saat terjadinya pertentangan antara maslahat
dan madharat (kebaikan dan keburukan)—perbuatan buruk yang kecil boleh
dilakukan jika nantinya mendapatkan kebaikan yang lebih besar; fikih waqi’i (fikih
realitas), sebuah metode untuk memahami persoalan-persoalan yang muncul
sehingga bisa menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan zaman; fikih
al-aulawiyat (fikih prioritas), sebuah metode untuk mendahulukan yang pokok
(ushul) ketimbang yang cabang (furu’); fikih al-maqashid al-syari’ah,
metode untuk memahami nash-nash syar’i dengan tujuan untuk melindungi
kemaslahatan umat Islam dan seluruh manusia; fikih al-taghyir (fikih
perubahan), metode dalam upaya melakukan perubahan dari masyarakat yang tidak
Islami menjadi Islami.
Lahirnya pemikiran atau ide-ide baru yang
dicetuskan Qardhawi itu, dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk mencairkan
kebekuan dan kejumudan umat Islam dalam menghadapi perubahan zaman serta
menjawab persoalan-persoalan modern.
Menurut Qardhawi, umat Islam hingga kini
masih dipengaruhi pola pikir yang diembuskan para penjajah Barat, terutama
dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Contohnya tentang zuhud, dipahami sebagai
ajaran yang meninggalkan kehidupan dunia secara total sehingga kekayaan umat
Islam dikuasai orang-orang kafir. Juga mengenai keimanan terhadap takdir yang dipahami
seperti aliran Jabariyah sehingga pintu ijtihad ditutup dan hidup dalam
kejumudan.
Karena itu, Qardhawi menegaskan pentingnya
ijtihad dilakukan oleh umat Islam dengan melakukan penafsiran ulang terhadap
ajaran-ajaran para ulama terdahulu (klasik) yang terdapat dalam kitab-kitab
atau pendapat yang shahih dari kalangan sahabat dan tabi’in, kemudian
memilih mana yang lebih kuat serta sesuai dengan tujuan-tujuan syari`at Islam
dan kemaslahatan umat. Qardhawi menganjurkan berijtihad untuk menyelesaikan masalah-masalah
aktual seperti bidang keuangan dan ekonomi (perbankan, valuta, deposito dan
lainnya) dan bidang ilmu pengetahuan serta kedokteran (pencangkokan organ
tubuh, donor darah, mencangkok organ tubuh binatang dan lainnya).[4]
Karena ide-ide yang dikemukakan Qardhawi
tidak menghapus khazanah Islam klasik dan malah menambahkan yang kurang atau
yang belum terungkap ulama terdahulu, wajar bila Yusuf Qardhawi disebut sebagai
pemikir Islam yang moderat (al-washatiyah al-Islamiyah). Beliau juga dikenal
sebagai ulama yang berani menolak pembagian ilmu secara dikotomis.
Menurut Qardhawi, semua ilmu bisa benilai
Islami dan tidak Islami, tergantung kepada mereka yang memandang dan
mempergunakannya. Qardhawi melihat bahwa pemisahan ilmu (antara yang Islami dan
tidak Islami/Barat) telah menghalangi kemajuan umat Islam. Karena itu, menurut
Qardhawi, untuk memajukan sebuah bangsa haruslah mampu menyerap sisi-sisi
positif dari bangsa lain yang lebih maju dengan tanpa meninggalkan akar-akar
pembangunan peradaban yang dianjurkan Islam.[5]
Tentang perbedaan pendapat, Qardhawi
mengatakan bahwa hal itu tak mungkin dihindari dan tak dapat dihentikan dengan
tulisan atau seminar. Sepanjang ada sebab-sebab perbedaan itu, maka perbedaan
tak akan pernah sirna dan akan selalu ada, sepanjang nash-nash yang
darinya diambil sebuah hukum dan setiap orang memiliki cara berpikir yang
berbeda; sehingga perbedaan terus ada, termasuk di kalangan para sahabat juga
terjadi. Bedanya, para sahabat tidak saling mencaci-maki, tetapi damai dalam
perbedaannya itu. Inilah yang membedakannya dengan kaum Muslim pada zaman
sekarang.
Keberadaan Qardhawi dengan
pendapat-pendapatnya tidak hanya dikagumi, tapi juga menuai kritik kaum Muslim
lainnya. Salah satunya mengenai sikap Qardhawi terhadap orang-orang kafir.
Qardhawi berkata, “Semua urusan yang berlaku di antara kita (kaum Muslimin dan
orang-orang Nasrani) menjadi tanggungjawab kita bersama, karena kita semua
adalah warga dari tanah air yang satu, tempat kembali kita satu, dan umat kita
adalah umat yang satu. Aku mengatakan sesuatu tentang mereka, yakni
saudara-saudara kita yang menganut agama Masehi (Kristen)–meskipun sementara
orang mengingkari perkataanku ini–‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
bersaudara’. Ya, kita (kaum Muslim) adalah orang-orang beriman, dan mereka
(para penganut agama Kristen) juga orang-orang beriman dilihat dari sisi lain.”
Pendapat Qardhawi yang menyuarakan semangat pluralisme agama ini menjadi
sasaran tembak para ulama lainnya.[6] Meskipun sosoknya
kontroversial, tetapi kontribusinya dalam bidang hukum Islam banyak dijadikan
rujukan umat Islam di dunia, terutama masyarakat Islam Indonesia.
Terakhir, ini perlu klarifikasi, bahwa kabarnya seluruh gelar Akademik dari Yusuf Qardhawi telah dicabut oleh Dewan Guru Besar di Universitas al-Azhar, Mesir. Hal ini terkait dengan dukungannya pada gerakan radikalisme agama dan kaum ISIS serta menabuh genderang kebencian pada komunitas Syiah. Atas sikap yang tidak sesuai dengan kaidah akademik maka dicopot. Kini, Qardhawi tinggal nyaman di negara Qatar.
@ahmads_uin
[1] Tentang biografi Yusuf Qardhawi ini diambil dari
Suhartono, “Yusuf Qardhawi: Percikan Pemikiran Fikih dan Metode Ijtihadnya” di
situs http://www.badilag.net.
[6] Lihat tulisan Abu Afifah, “Siapakah Dr.Yusuf Qardhawi,
Hadahullah“ pada situs www.ahlussunnah-jakarta.org,
dan Ahmad Bin Muhammad Bin Manshur Al ‘Udaini, “Kitab Raf'ul Litsaam 'An
Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari'atil Islaam” (Membongkar Kedok Al-Qaradhawi,
Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf Al-Qardhawi dari Syari'at Islam) dalam situs www.assunnah.cjb.net.