Umat Islam di dunia pasti mengenal pendiri Republik Islam Iran. Tak salah lagi, dialah Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini.[1] Ulama cerdas dan bijak ini lahir di Khomein, sebuah perkampungan di Iran Tengah, pada 24 Oktober 1902. Khomeini berasal dari keluarga Sayyid Musawi, yang juga keturunan Rasulullah saw dari jalur Imam ketujuh Syi’ah Imamiyah, Imam Musa Al-Kazhim. Keluarga Sayyid Musawi berasal dari Neysyabur, Iran Timur laut, yang pindah ke India dan menempati kota Keil Kintur, Lucknow. Di kota inilah Sayyid Ahmad Musawi Hindi (kakek Khomeini) lahir.[2]
Ayah Khomeini yang bernama Sayyid Musthafa Musawwi dikenal sebagai ulama,
dan ibunya bernama Hajar atau Agha Khanum. Sejak kecil Khomeini tidak berada
dalam bimbingan ayahnya, tapi dibina ibu dan bibinya, Sahiba. Ayahnya dibunuh
seorang tuan tanah kaya, Ja`far Quli Khan, yang tidak senang padanya karena
membela petani kecil. Khomeini belajar agama pada beberapa ulama, seperti
Allamah Muhammad Husein Thabathabai`(w.1981 M.), Ayatullah Muhammad Ali Syahabadi
(w.1950 M.), Sayyid Abu Al-Hasan Rafii Qazwini (w.1975 M.), Mirza Ali Akbar Yazdi
(w.1926 M.), dan Ayatullah Abd Al-Karim Hairi (w.1936 M.).
Masa mudanya dikenal sebagai
sufi yang terus-menerus mencari kebenaran dan berpola hidup sederhana. Ia
banyak menulis tentang tasawuf, hadits, dan fikih. Masa remajanya dikenal
sebagai anak yang enerjik, berani, cerdas, disiplin, pekerja keras, senang
menyendiri, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu`afa.
Menurut Sahiba bahwa bibinya yang mengasuh, Khomeini kecil senantiasa pulang dengan baju yang
kotor dan robek karena bergulat. Pertumbuhan fisik diiringi dengan bertambahnya
usia dan wawasan, sehingga Khomeini dikenal sebagai ulama yang menyesuaikan
antara ucapan dan tindakannya. Bahkan diceritakan bahwa harta yang dimiliki
Khomeini hingga akhir hidupnya (w.1989M) hanyalah sebuah rumah sederhana yang
telah diwakafkan, alat masak, tempat belajar, tempat tidur, peralatan ibadah,
dan buku-buku.[3]
Menginjak usia 30 tahun Khomeini menikah dengan putri seorang ulama
terkemuka. Pasangan ini dikaruniai dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan.
Dua anaknya wafat pada usia balita dan tiga anak lainnya adalah Sayyid Musthafa
Khomeini, Sayyid Ahmad Khomeini, dan Zahra Musthafawi.
Selain beraktivitas dalam politik dan menjadi pengajar, Imam Khomeini juga
menulis buku-buku seperti Syarh-i Chihil Hadits, Asrar Al-Shalah atau Mi`raj
As-Salikin wa Shalah Al-Arifin, Adab Al-Shalah, Syarh-i Hadits-i Junud-i Aql o
Jahl, Syarh-i Du`a Al-Sahar, Mishbah Al-Hidayah, Kasyf Al-Asrar, Syahifa-yi
Nur, Hukumat-i Islami, The Jardiniere of Love (puisi-puisi), dan Tafsir al-Fathihah (ayat basmalah dan
hamdalah).
Imam Khomeini hidup pada masa kekuasaan rezim Pahlevi yang memerintah
dengan tangan besi. Karena seringnya berinteraksi dengan para ulama dan
menonjol dalam urusan agama, pada 1962 Khomeini diangkat menjadi marji’
taqlid[4]
dan kedudukannya itu dimanfaatkan untuk memulai perjuangan politik menentang
kekuasaan Pahlevi. Kemudian pada 1964, rezim Syah Pahlevi membuang Imam
Khomeini ke Irak, dan pada 1978 ke Paris, Perancis. Meskipun berada di negeri
orang, tetapi perjuangannya tidak pernah berhenti. Ia terus-menerus mengirimkan
surat dan rekaman ceramah ke para sahabatnya di Iran untuk membangkitkan
semangat dalam menentang kezaliman Pahlevi.
Seruan Imam Khomeini tentang perlawanan terhadap kezaliman disambut hangat
masyarakat Iran dengan menggelar demonstrasi menentang rezim Syah dan menuntut
adanya pemerintahan Islam. Dalam sebuah demontrasi besar-besaran yang saat itu
bersamaan dengan asyura, lebih dari 60.000 orang meninggal dan lebih
dari 100.000 orang terluka atau cacat akibat ditembaki tentara penguasa Syah
Pahlevi yang coba membubarkan demonstrasi. Karena banyak yang menentang dan
terus-menerus di desak untuk turun dari kekuasaannya, maka pada akhir 1978 Syah
Pahlevi pergi ke Mesir meninggalkan Iran dan Imam Khomeini kembali ke Iran pada
1979.
Untuk menentukan pemimpin dan sistem pemerintahan yang baru, maka diadakan
referendum pada 29 dan 30 Maret 1979. Hasilnya, 98,2 % masyarakat Iran
mendukung dibentuknya negara Republik Islam Iran dengan sistem pemerintahan wilayatul
faqih yang dicetuskan Imam Khomeini—sebuah pemerintahan di bawah otoritas
ulama, yang menjadi bagian dari teologi Syi`ah Imamiyah modern. Kemudian Imam
Khomeini terpilih sebagai wilayatul faqih—yang biasanya disebut Rahbar
atau pemimpin tertinggi Republik Islam Iran.
Selanjutnya, memilih presiden melalui pemilu dan Bani Shadr terpilih
sebagai presiden. Karena tidak mengikuti aturan, Bani Shadr diturunkan dari
jabatannya. Lalu, diadakan pemilu dan terpilihlah Syahid Rajai yang kemudian
dibunuh oleh teroris. Pemilu lagi dan terpilihlah Sayyid Ali Khamenei`sebagai
presiden hingga dua periode.[5]
Setelah wafat Imam Khomeini, Sayyid Ali Khamenei` terpilih sebagai Rahbar
oleh Dewan Ahli (Majlis-e Khubregan) yang terdiri dari 72 ulama yang
mendapat kepercayaan dari rakyat (yang dipilih melalui pemilihan umum).
Pergantian Rahbar Republik Islam Iran ini dilakukan setiap enam tahun sekali
yang dipilih oleh Dewan Ahli.
Wilayatul Faqih yang dicetuskan Imam Khomeini merupakan sebuah konsep sekaligus sistem
pemerintahan Islam yang dikembangkan dari salah satu rukun iman (ushuluddin)
Syi`ah, yaitu imamah. Menurut
Imam Khomeini, kepemimpinan umat Islam setelah Rasulullah saw wafat dipegang
oleh imam dari keturunan Ahlulbait Nabi Muhammad saw yang berjumlah
duabelas orang. Di antaranya Ali bin Abi Thalib (w. 661 M.), Hasan Bin Ali
(625-669 M.), Husain bin Ali (626-680 M.), Ali bin Husain atau Zainal Abidin
(658-713 M.), Muhammad bin Ali (676-743 M.), Jafar bin Muhammad atau Ja'far
Ash-Shadiq (703-765 M.), Musa bin Ja'far (745-799 M.), Ali bin Musa (765-818
M.), Muhammad bin Ali (810-835 M.), Ali bin Muhammad (827-868 M.), Hasan bin
Ali (846–874 M.) dan Muhammad bin Hasan atau Imam Mahdi Al-Muntazhar.
Menurut Imam Khomeini, kondisi masa lahirnya Imam Mahdi penuh dengan
kekacauan, fitnah, dan pergolakan politik. Dikarenakan situasi politik dan
penguasa yang tidak memihak pada keturunan Ahlulbait Nabi Muhammad
saw—karena hampir semua para Imam Syi`ah wafat akibat kezaliman penguasa—maka
Imam Mahdi mengalami ghaib (menghilang sementara) dan hanya beberapa
orang saja yang bisa menemuinya. Masa keghaiban Imam Mahdi ini sendiri dibagi
dalam dua periode. Yang pertama adalah ghaib sughra yang berlangsung
sejak kelahiran Imam Muhammad bin Hasan Askari (Imam Mahdi)
pada 225H/874M atau semasa hidup ayahnya. Pada masa ini Imam Mahdi hanya bisa
ditemui oleh empat orang wakilnya, yaitu Utsman Bin Said Al-Umari Al-Asadi,
Muhammad Bin Utsman Bin Said Al-Umari Al-Asadi (wafat 305H), Al-Husein Bin Ruh
Al-Naubakti (wafat 320H), dan Ali Bin Muhammad Al-Samir (wafat 328/329H).
Setelah wafat wakil Imam Mahdi yang keempat inilah menandai masuknya
periode kedua atau ghaib kubra hingga datangnya Imam Mahdi Al-Muntazhar
selaku pemegang sah tampuk kepemimpinan Islam hingga akhir zaman.
Dengan masuknya periode kedua inilah hubungan Imam Mahdi dengan para
pengikutnya menjadi terputus. Sehingga pada masa-masa ini pengikut Syi`ah
Imamiyah tidak memiliki panutan selain para ulama dan penguasa zalim. Dari
mulai Dinasti Safawiyah (1501-1722 M.),[6] Dinasti
Qajar (1779-1925 M.)[7]
hingga rezim Pahlevi (1925-1979 M.), keberadaan kaum Muslim Syiah dalam kondisi
yang pahit. Sebab para penguasa menggunakan agama sebagai alat untuk menindas
dan memperkecil peranan ulama-ulama, bahkan penguasa Daulah Qajar menjadikan
mereka sebagai “ulama-ulama istana” untuk melindungi tindakan-tindakan zalim
penguasa dengan fatwa-fatwa. Begitupun dengan masa kekuasaan Pahlevi yang
didukung kekuatan Amerika, telah menindas dan menimbulkan kekecewaan yang besar
di masyarakat Iran (Persia).
Pada masa ini pengikut Syi`ah berada dalam masa statis karena hanya
menunggu munculnya Imam Mahdi yang akan mengisi ‘kursi’ kepemimpinan Islam.
Untuk mengisi masa kekosongan imamah ini, Imam Khomeini
berijtihad—sembari terus melakukan hubungan spiritual dengan Imam Mahdi
Al-Muntazhar—mencetuskan konsep Wilayah Faqih dengan terlebih dahulu
membentuk Dewan Ahli. Dewan Ahli ini kemudian diisi oleh para ulama yang
memiliki pengetahuan agama yang luas dan mendalam (faqahah), ulama yang
mampu bersikap adil dan berani mewujudkannya dalam kehidupan serta berakhlak
mulia (`adalah) dan memiliki kecakapan dalam berbagai urusan atau
kompeten dalam memegang sebuah jabatan (kafa`ah). Ulama yang masuk
menjadi Dewan Ahli ini dipilih oleh Anggota Parlemen. Sedangkan Anggota
Parlemen dan Presiden dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum
yang dilakukan dengan sistem distrik. Selain memilih Rahbar (Wali Faqih), Dewan
Ahli juga bertugas menguji Undang-Undang Dasar yang dibuat oleh Anggota
Parlemen. Singkatnya, konsep wilayah faqih ini merupakan kepemimpinan
manusia yang bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah selaku penguasa semesta
alam telah memilih utusan-Nya yang disebut Nabi dan Rasul untuk membimbing
manusia agar berada di jalan yang benar. Para Nabi dan Rasul ini kemudian
menjalankan fungsinya sebagai pemimpin agama, sosial, dan kemasyarakatan.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, fungsi sebagai penyebar risalah Ilahi
berlanjut kepada para imam (khalifah) Ahlulbait Nabi saw yang
mendapatkan wasiat untuk menjadi pelanjut dakwah Islam. Setelah tiada para imam
atau ketika berada dalam masa ghaib, fungsi dan pelaksanaan kepemimpinan Islam
diisi oleh para ulama (faqih) sebagai bentuk sikap aktif dari masa
penantian pemimpin yang sebenarnya (Imam Mahdi Al-Muntazhar).[8]
Mengenai sistem ini, Imam Khomeini mengatakan, “Wali Faqih adalah seorang
individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme, pengetahuan, kompetensi
yang telah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figur mana yang
memenuhi kriteria semacam itu.”[9]
Namun bila ditelusuri dari sejarah pemikiran politik Islam, Imam Khomeini
dalam melahirkan gagasan Wilayah Faqih, atau ajaran teologi Syi`ah
modern, ini terinspirasi dari seorang filsuf Muslim, Al-Farabi (870-950M), yang
menulis tentang Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota/Negara Utama).[10]
Dari telaahnya atas berbagai karya, terutama filsafat politik Al-Farabi,
Imam Khomeini menyimpulkan bahwa kaum Muslim dalam Al-Quran telah diperintahkan
untuk mentaati Allah, Rasulullah dan Ulul Amri, yang berarti diwajibkan
juga untuk membentuk pemerintahan Islam dalam rangka menjaga integritas wilayah
Islam.[11]
Memang terbukti, Imam Khomeini berhasil mendirikan Republik Islam Iran pada
saat Dunia Islam mengalami krisis akibat kolonialisme bangsa Barat. Tidak hanya
umat Islam, masyarakat dunia pun mengakui bahwa Imam Khomeini merupakan
pemimpin besar yang disegani bangsa Barat hingga sekarang. Walaupun sudah wafat,
tapi Imam Khomeini telah meninggalkan jasa yang besar bagi rakyat Iran dan umat
Islam dunia, yang perjuangannya masih diteruskan para putra bangsa Iran seperti
Sayyid Ali Khamenei` dan lainnya.[]
[1] Biasanya lebih dikenal dengan Imam Khomeini. Mengenai
biografi Imam Khomeini ini saya meringkas dari dua buku karya Yamani yang
berjudul “Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini: Aspek Sufistik yang Tak Banyak
Diketahui” (Bandung: Mizan, 2001) dan “Antara Al-Farabi dan Khomeini:
Filsafat Politik Islam” (Bandung: Mizan, 2002).
[2] Keluarga kakek Imam Khomeini adalah keluarga ulama
terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Neysyaburi, yang terkenal sebagai penulis
kitab “Abaqat Al-Anwar” yang kini kitab itu menjadi salah satu rujukan
umat Islam di India.
[3] Lihat Yamani, “Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini: Aspek
Sufistik yang Tak Banyak Diketahui” (Bandung: Mizan, 2001). Cetakan ke-I,
h.44-48
[4] Istilah Marji’ Taqlid biasanya diartikan sebagai
tempat rujukan kaum Muslim dalam urusan fqh atau fatwa-fatwa yang berkaitan
dengan ibadah dan lainnya.
[5] Lihat biografi Imam Khomeini pada situs http://www2.irib.ir.
[6] Kerajaan Safawi berasal dari gerakan tarekat yang
berdiri di Ardabil, Azerbaijan. Didirikan oleh Syaikh Safiuddin (1252-1335 M.)
yang beraliran Syi`ah dan keturunan orang berada yang memilih sufi sebagai
jalan hidupnya. Safiuddin mendirikan Tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan
guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada 1301 M. Pada mulanya gerakan
Safawiyah ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan para ahli bi`dah.
Kemudian berkembang menjadi Dinasti Safawiyah yang dalam politik dan teologi
berlawanan dengan Dinasti Ottoman (Utsmaniyah) di Turki yang beraliran Sunni.
[7] Dinasti Qajar merupakan penguasa Persia setelah Dinasti Safawiyah. Penguasa Qajar dikenal zalim dan berkerjasama
dengan kolonialis Rusia dan Inggris. Setelah adanya perlawanan dari ulama dan
masyarakat, muncullah Revolusi Konstitusi (1906-1911 M.) yang menandai masa
modern di Persia, dan berlanjut dengan berdirinya kekuasaan Syah Pahlevi.
[8] Tentang ini ada hadits yang sudah cukup terkenal bahwa, “Barangsiapa
mati dalam keadaan tidak mengenali imam zamannya, matinya adalah mati
jahiliah”; dan hadits lainnya, “Ulama adalah ahli waris Nabi”. Lihat
catatan kaki pada hal. 115, buku “Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat
Politik Islam” karya Yamani (Bandung: Mizan, 2002).
[9] Ibid, h.136-137
[10] Ibid, h.120.
[11] Ibid, h.116-117.