Sabtu, 10 Februari 2018

Islam dan Pembaruan: Mengenal Imam Khomeini


Umat Islam di dunia pasti mengenal pendiri Republik Islam Iran. Tak salah lagi, dialah Ayatullah Ruhullah Musawwi Khomeini.[1] Ulama cerdas dan bijak ini lahir di Khomein, sebuah perkampungan di Iran Tengah, pada 24 Oktober 1902. Khomeini berasal dari keluarga Sayyid Musawi, yang juga keturunan Rasulullah saw dari jalur Imam ketujuh Syi’ah Imamiyah, Imam Musa Al-Kazhim. Keluarga Sayyid Musawi berasal dari Neysyabur, Iran Timur laut, yang pindah ke India dan menempati kota Keil Kintur, Lucknow. Di kota inilah Sayyid Ahmad Musawi Hindi (kakek Khomeini) lahir.[2]

Ayah Khomeini yang bernama Sayyid Musthafa Musawwi dikenal sebagai ulama, dan ibunya bernama Hajar atau Agha Khanum. Sejak kecil Khomeini tidak berada dalam bimbingan ayahnya, tapi dibina ibu dan bibinya, Sahiba. Ayahnya dibunuh seorang tuan tanah kaya, Ja`far Quli Khan, yang tidak senang padanya karena membela petani kecil. Khomeini belajar agama pada beberapa ulama, seperti Allamah Muhammad Husein Thabathabai`(w.1981 M.), Ayatullah Muhammad Ali Syahabadi (w.1950 M.), Sayyid Abu Al-Hasan Rafii Qazwini (w.1975 M.), Mirza Ali Akbar Yazdi (w.1926 M.), dan Ayatullah Abd Al-Karim Hairi (w.1936 M.).


Masa mudanya dikenal sebagai sufi yang terus-menerus mencari kebenaran dan berpola hidup sederhana. Ia banyak menulis tentang tasawuf, hadits, dan fikih. Masa remajanya dikenal sebagai anak yang enerjik, berani, cerdas, disiplin, pekerja keras, senang menyendiri, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu`afa.

Menurut Sahiba bahwa bibinya yang mengasuh, Khomeini kecil senantiasa pulang dengan baju yang kotor dan robek karena bergulat. Pertumbuhan fisik diiringi dengan bertambahnya usia dan wawasan, sehingga Khomeini dikenal sebagai ulama yang menyesuaikan antara ucapan dan tindakannya. Bahkan diceritakan bahwa harta yang dimiliki Khomeini hingga akhir hidupnya (w.1989M) hanyalah sebuah rumah sederhana yang telah diwakafkan, alat masak, tempat belajar, tempat tidur, peralatan ibadah, dan buku-buku.[3]

Menginjak usia 30 tahun Khomeini menikah dengan putri seorang ulama terkemuka. Pasangan ini dikaruniai dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Dua anaknya wafat pada usia balita dan tiga anak lainnya adalah Sayyid Musthafa Khomeini, Sayyid Ahmad Khomeini, dan Zahra Musthafawi.

Selain beraktivitas dalam politik dan menjadi pengajar, Imam Khomeini juga menulis buku-buku seperti Syarh-i Chihil Hadits, Asrar Al-Shalah atau Mi`raj As-Salikin wa Shalah Al-Arifin, Adab Al-Shalah, Syarh-i Hadits-i Junud-i Aql o Jahl, Syarh-i Du`a Al-Sahar, Mishbah Al-Hidayah, Kasyf Al-Asrar, Syahifa-yi Nur, Hukumat-i Islami, The Jardiniere of Love (puisi-puisi), dan  Tafsir al-Fathihah (ayat basmalah dan hamdalah). 

Imam Khomeini hidup pada masa kekuasaan rezim Pahlevi yang memerintah dengan tangan besi. Karena seringnya berinteraksi dengan para ulama dan menonjol dalam urusan agama, pada 1962 Khomeini diangkat menjadi marji’ taqlid[4] dan kedudukannya itu dimanfaatkan untuk memulai perjuangan politik menentang kekuasaan Pahlevi. Kemudian pada 1964, rezim Syah Pahlevi membuang Imam Khomeini ke Irak, dan pada 1978 ke Paris, Perancis. Meskipun berada di negeri orang, tetapi perjuangannya tidak pernah berhenti. Ia terus-menerus mengirimkan surat dan rekaman ceramah ke para sahabatnya di Iran untuk membangkitkan semangat dalam menentang kezaliman Pahlevi.

Seruan Imam Khomeini tentang perlawanan terhadap kezaliman disambut hangat masyarakat Iran dengan menggelar demonstrasi menentang rezim Syah dan menuntut adanya pemerintahan Islam. Dalam sebuah demontrasi besar-besaran yang saat itu bersamaan dengan asyura, lebih dari 60.000 orang meninggal dan lebih dari 100.000 orang terluka atau cacat akibat ditembaki tentara penguasa Syah Pahlevi yang coba membubarkan demonstrasi. Karena banyak yang menentang dan terus-menerus di desak untuk turun dari kekuasaannya, maka pada akhir 1978 Syah Pahlevi pergi ke Mesir meninggalkan Iran dan Imam Khomeini kembali ke Iran pada 1979.

Untuk menentukan pemimpin dan sistem pemerintahan yang baru, maka diadakan referendum pada 29 dan 30 Maret 1979. Hasilnya, 98,2 % masyarakat Iran mendukung dibentuknya negara Republik Islam Iran dengan sistem pemerintahan wilayatul faqih yang dicetuskan Imam Khomeini—sebuah pemerintahan di bawah otoritas ulama, yang menjadi bagian dari teologi Syi`ah Imamiyah modern. Kemudian Imam Khomeini terpilih sebagai wilayatul faqih—yang biasanya disebut Rahbar atau pemimpin tertinggi Republik Islam Iran.

Selanjutnya, memilih presiden melalui pemilu dan Bani Shadr terpilih sebagai presiden. Karena tidak mengikuti aturan, Bani Shadr diturunkan dari jabatannya. Lalu, diadakan pemilu dan terpilihlah Syahid Rajai yang kemudian dibunuh oleh teroris. Pemilu lagi dan terpilihlah Sayyid Ali Khamenei`sebagai presiden hingga dua periode.[5]

Setelah wafat Imam Khomeini, Sayyid Ali Khamenei` terpilih sebagai Rahbar oleh Dewan Ahli (Majlis-e Khubregan) yang terdiri dari 72 ulama yang mendapat kepercayaan dari rakyat (yang dipilih melalui pemilihan umum). Pergantian Rahbar Republik Islam Iran ini dilakukan setiap enam tahun sekali yang dipilih oleh Dewan Ahli.

Wilayatul Faqih yang dicetuskan Imam Khomeini merupakan sebuah konsep sekaligus sistem pemerintahan Islam yang dikembangkan dari salah satu rukun iman (ushuluddin) Syi`ah, yaitu imamah.  Menurut Imam Khomeini, kepemimpinan umat Islam setelah Rasulullah saw wafat dipegang oleh imam dari keturunan Ahlulbait Nabi Muhammad saw yang berjumlah duabelas orang. Di antaranya Ali bin Abi Thalib (w. 661 M.), Hasan Bin Ali (625-669 M.), Husain bin Ali (626-680 M.), Ali bin Husain atau Zainal Abidin (658-713 M.), Muhammad bin Ali (676-743 M.), Jafar bin Muhammad atau Ja'far Ash-Shadiq (703-765 M.), Musa bin Ja'far (745-799 M.), Ali bin Musa (765-818 M.), Muhammad bin Ali (810-835 M.), Ali bin Muhammad (827-868 M.), Hasan bin Ali (846–874 M.) dan Muhammad bin Hasan atau Imam Mahdi Al-Muntazhar.

Menurut Imam Khomeini, kondisi masa lahirnya Imam Mahdi penuh dengan kekacauan, fitnah, dan pergolakan politik. Dikarenakan situasi politik dan penguasa yang tidak memihak pada keturunan Ahlulbait Nabi Muhammad saw—karena hampir semua para Imam Syi`ah wafat akibat kezaliman penguasa—maka Imam Mahdi mengalami ghaib (menghilang sementara) dan hanya beberapa orang saja yang bisa menemuinya. Masa keghaiban Imam Mahdi ini sendiri dibagi dalam dua periode. Yang pertama adalah ghaib sughra yang berlangsung sejak kelahiran Imam Muhammad bin Hasan Askari (Imam Mahdi) pada 225H/874M atau semasa hidup ayahnya. Pada masa ini Imam Mahdi hanya bisa ditemui oleh empat orang wakilnya, yaitu Utsman Bin Said Al-Umari Al-Asadi, Muhammad Bin Utsman Bin Said Al-Umari Al-Asadi (wafat 305H), Al-Husein Bin Ruh Al-Naubakti (wafat 320H), dan Ali Bin Muhammad Al-Samir (wafat 328/329H).

Setelah wafat wakil Imam Mahdi yang keempat inilah menandai masuknya periode kedua atau ghaib kubra hingga datangnya Imam Mahdi Al-Muntazhar selaku pemegang sah tampuk kepemimpinan Islam hingga akhir zaman.

Dengan masuknya periode kedua inilah hubungan Imam Mahdi dengan para pengikutnya menjadi terputus. Sehingga pada masa-masa ini pengikut Syi`ah Imamiyah tidak memiliki panutan selain para ulama dan penguasa zalim. Dari mulai Dinasti Safawiyah (1501-1722 M.),[6] Dinasti Qajar (1779-1925 M.)[7] hingga rezim Pahlevi (1925-1979 M.), keberadaan kaum Muslim Syiah dalam kondisi yang pahit. Sebab para penguasa menggunakan agama sebagai alat untuk menindas dan memperkecil peranan ulama-ulama, bahkan penguasa Daulah Qajar menjadikan mereka sebagai “ulama-ulama istana” untuk melindungi tindakan-tindakan zalim penguasa dengan fatwa-fatwa. Begitupun dengan masa kekuasaan Pahlevi yang didukung kekuatan Amerika, telah menindas dan menimbulkan kekecewaan yang besar di masyarakat Iran (Persia).

Pada masa ini pengikut Syi`ah berada dalam masa statis karena hanya menunggu munculnya Imam Mahdi yang akan mengisi ‘kursi’ kepemimpinan Islam. Untuk mengisi masa kekosongan imamah ini, Imam Khomeini berijtihad—sembari terus melakukan hubungan spiritual dengan Imam Mahdi Al-Muntazhar—mencetuskan konsep Wilayah Faqih dengan terlebih dahulu membentuk Dewan Ahli. Dewan Ahli ini kemudian diisi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan agama yang luas dan mendalam (faqahah), ulama yang mampu bersikap adil dan berani mewujudkannya dalam kehidupan serta berakhlak mulia (`adalah) dan memiliki kecakapan dalam berbagai urusan atau kompeten dalam memegang sebuah jabatan (kafa`ah). Ulama yang masuk menjadi Dewan Ahli ini dipilih oleh Anggota Parlemen. Sedangkan Anggota Parlemen dan Presiden dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum yang dilakukan dengan sistem distrik. Selain memilih Rahbar (Wali Faqih), Dewan Ahli juga bertugas menguji Undang-Undang Dasar yang dibuat oleh Anggota Parlemen. Singkatnya, konsep wilayah faqih ini merupakan kepemimpinan manusia yang bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah selaku penguasa semesta alam telah memilih utusan-Nya yang disebut Nabi dan Rasul untuk membimbing manusia agar berada di jalan yang benar. Para Nabi dan Rasul ini kemudian menjalankan fungsinya sebagai pemimpin agama, sosial, dan kemasyarakatan.

Setelah Nabi Muhammad saw wafat, fungsi sebagai penyebar risalah Ilahi berlanjut kepada para imam (khalifah) Ahlulbait Nabi saw yang mendapatkan wasiat untuk menjadi pelanjut dakwah Islam. Setelah tiada para imam atau ketika berada dalam masa ghaib, fungsi dan pelaksanaan kepemimpinan Islam diisi oleh para ulama (faqih) sebagai bentuk sikap aktif dari masa penantian pemimpin yang sebenarnya (Imam Mahdi Al-Muntazhar).[8]

Mengenai sistem ini, Imam Khomeini mengatakan, “Wali Faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas (akhlak), patriotisme, pengetahuan, kompetensi yang telah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figur mana yang memenuhi kriteria semacam itu.”[9]

Namun bila ditelusuri dari sejarah pemikiran politik Islam, Imam Khomeini dalam melahirkan gagasan Wilayah Faqih, atau ajaran teologi Syi`ah modern, ini terinspirasi dari seorang filsuf Muslim, Al-Farabi (870-950M), yang menulis tentang Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota/Negara Utama).[10]

Dari telaahnya atas berbagai karya, terutama filsafat politik Al-Farabi, Imam Khomeini menyimpulkan bahwa kaum Muslim dalam Al-Quran telah diperintahkan untuk mentaati Allah, Rasulullah dan Ulul Amri, yang berarti diwajibkan juga untuk membentuk pemerintahan Islam dalam rangka menjaga integritas wilayah Islam.[11]

Memang terbukti, Imam Khomeini berhasil mendirikan Republik Islam Iran pada saat Dunia Islam mengalami krisis akibat kolonialisme bangsa Barat. Tidak hanya umat Islam, masyarakat dunia pun mengakui bahwa Imam Khomeini merupakan pemimpin besar yang disegani bangsa Barat hingga sekarang. Walaupun sudah wafat, tapi Imam Khomeini telah meninggalkan jasa yang besar bagi rakyat Iran dan umat Islam dunia, yang perjuangannya masih diteruskan para putra bangsa Iran seperti Sayyid Ali Khamenei` dan lainnya.[]
  


[1] Biasanya lebih dikenal dengan Imam Khomeini. Mengenai biografi Imam Khomeini ini saya meringkas dari dua buku karya Yamani yang berjudul “Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini: Aspek Sufistik yang Tak Banyak Diketahui” (Bandung: Mizan, 2001) dan “Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam” (Bandung: Mizan, 2002).
[2] Keluarga kakek Imam Khomeini adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Neysyaburi, yang terkenal sebagai penulis kitab “Abaqat Al-Anwar” yang kini kitab itu menjadi salah satu rujukan umat Islam di India.
[3] Lihat Yamani, “Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini: Aspek Sufistik yang Tak Banyak Diketahui” (Bandung: Mizan, 2001). Cetakan ke-I, h.44-48
[4] Istilah Marji’ Taqlid biasanya diartikan sebagai tempat rujukan kaum Muslim dalam urusan fqh atau fatwa-fatwa yang berkaitan dengan ibadah dan lainnya. 
[5] Lihat biografi Imam Khomeini pada situs http://www2.irib.ir.
[6] Kerajaan Safawi berasal dari gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, Azerbaijan. Didirikan oleh Syaikh Safiuddin (1252-1335 M.) yang beraliran Syi`ah dan keturunan orang berada yang memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Safiuddin mendirikan Tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat pada 1301 M. Pada mulanya gerakan Safawiyah ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan para ahli bi`dah. Kemudian berkembang menjadi Dinasti Safawiyah yang dalam politik dan teologi berlawanan dengan Dinasti Ottoman (Utsmaniyah) di Turki yang beraliran Sunni.
[7] Dinasti Qajar merupakan penguasa Persia setelah Dinasti Safawiyah. Penguasa Qajar dikenal zalim dan berkerjasama dengan kolonialis Rusia dan Inggris. Setelah adanya perlawanan dari ulama dan masyarakat, muncullah Revolusi Konstitusi (1906-1911 M.) yang menandai masa modern di Persia, dan berlanjut dengan berdirinya kekuasaan Syah Pahlevi.
[8] Tentang ini ada hadits yang sudah cukup terkenal bahwa, “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak mengenali imam zamannya, matinya adalah mati jahiliah”; dan hadits lainnya, “Ulama adalah ahli waris Nabi”. Lihat catatan kaki pada hal. 115, buku “Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam” karya Yamani (Bandung: Mizan, 2002).
[9] Ibid, h.136-137
[10] Ibid, h.120.
[11] Ibid, h.116-117.