Jumat, 14 Desember 2018

Tradisi Duka Cita dan Sejarah Islam

Dari buku Sejarah Islam: Telaah Ringkas Komprehensif Perkembangan Islam sepanjang Zaman (Bandung Mizan, 2014) karya Karen Armstrong, ada yang menarik untuk ditelusuri. Yakni terkait dengan tradisi duka cita mengenang wafat Imam Husain di Karbala, Irak, yang dibantai oleh tentara Dinasti Umayyah di bawah instruksi penguasa Yazid bin Muawiyah. 
Peristiwa ini dikenal dengan nama Asyura. Dan hampir seluruh pengikut Syiah (baik Imamiyyah, Zaidiyyah maupun Ismailiyyah) menyelenggarakan majelis duka cita pada 10 Muharram, yang dilakukan setiap tahun dan pada hari keempat puluh (20 Shafar) disebut Arbain Imam Husain as.

Sejak kapan tradisi duka cita Asyuro dilakukan? Siapa perintisnya? Apakah dilakukan juga oleh Imam-imam Syiah, seperti Imam Ali Zainal Abidin hingga Imam Hasan Askari? Persoalan ini belum banyak yang mengulasnya, termasuk saya tidak mengetahuinya. Sedangkan peringatan Arbain sebagai bentuk hari ziarah dan ungkap dukacita kepada Imam Husain as kali pertama oleh Jabir Anshari, sahabat Rasulullah saw yang masih hidup. Bahkan Imam Ali Zainal sebagai pelanjut Imam Husain as berduka cita pada hari keempat puluh, bersamaan dengan penguburan jenazah badan dan kepala ayahnya yang dipisahkan pada tragedi Karbala.

Dalam buku Sejarah Islam, Karen Armstrong menyebutkan Muhammad Baqir Majlisi (wafat 1700) yang berkedudukan sebagai ulama (istana) Dinasti Safawi mengganti tradisi sufi berupa dzikir berjamaah yang berkembang di masyarakat dengan “ritual berkabung untuk menghormati Husain, martir Karbala, untuk mengajarkan rakyat nilai-nilai dan kesalehan Syiah” (halaman 182). 

Selanjutnya, masih dalam halaman yang sama, Karen menulis: 

“Ada prosesi rumit, dan nyanyian penguburan yang sangat emosional dilantunkan, sementara orang-orang menangis dan menjerit. Ritus-ritus ini menjadi sebuah lembaga besar Iran. Taziyeh, drama yang menggambarkan gairah tragedi Karbala, dikembangkan selama abad kedelapan belas. Dalam drama ini, orang-orang bukanlah penonton yang pasif, tetapi memberikan respons yang emosional, menangis dan memukul dada mereka, dan menggabungkan penderitaan mereka sendiri dengan penderitaan Imam Husain. Ritual memberikan katup pengaman yang penting. Ketika mereka mengerang, menampar dahi mereka, dan menangis tak terkendali, penonton merangsang dalam diri mereka sendiri kerinduan akan keadilan yang merupakan inti dari kesalehan Syi’i, menanyai diri sendiri mengapa yang baik selalu tampak menderita dan kejahatan hampir selalu menang. Tetapi, Majlisi dan para shah berhati-hati untuk menekan potensi revolusioner ritus ini. Alih-alih protes melawan tirani di dalam negeri, orang-orang itu diajarkan untuk memprotes Islam Sunni. Alih-alih bersumpah untuk mengikuti Husain dalam perjuangan melawan ketidakadilan, orang-orang diajak untuk melihatnya sebagai pelindung, yang bisa menjamin jalan mereka ke surga. Ritual itu dengan demikian dinetralkan dan melayani status quo, dan mendesak rakyat mencari dukungan pihak berkuasa dan hanya berusaha memenuhi kepentingan mereka sendiri.”     

Bagaimana dengan periode sebelum Dinasti Safawi berkuasa: apakah sama bentuk perkabungannya? Nah, ini penting ditelusuri kembali. Adakah yang minat mengkajinya sampai abad 7 dan 8 Masehi? *** (ahmad sahidin)