Pada waktu kecil Iqbal
belajar Islam pada ayahnya. Setiap ba`da shalat subuh Iqbal diharuskan membaca
dan menghafal Al-Quran. “Setiap hari selepas shalat subuh, aku terus membaca
Al-Quran. Ayahku memerhatikan keadaan ini dan lalu bertanya, ‘Apa yang engkau
baca?’ Aku menjawab, ‘Aku sedang membaca Al-Quran’. Selama tiga tahun ayahku
bertanya dengan pertanyaan yang sama dan aku memberikan jawaban yang sama.
Suatu hari aku bertanya kepadanya, ‘Apakah yang ada dalam dadamu wahai ayahku,
engkau bertanya dengan pertanyaan yang sama dan aku terpaksa menjawab dengan
jawaban yang sama?’Ayahku menjawab, ‘Sebenarnya aku ingin mengatakan kepadamu
wahai anakku, bacalah Al-Quran itu seolah-olah ia diturunkan kepadamu’. Sejak
itulah aku mulai mencoba memahami kandungan Al-Quran dan dari Al-Quranlah aku
mendapat cahaya inspirasi untuk sajak-sajakku,” kisahnya.[2]
Muhammad Iqbal masuk
sekolah dasar di Sialkot. Di sekolah ini bakatnya sebagai penyair terlihat,
terutama oleh gurunya, Syed Mir Hasan. Setelah lulus Scotch Mission School pada
1892, Iqbal dinikahkan orantuanya dengan Karim Bibi, putri seorang dokter Gujarat
kaya, Bahadur Atta Muhammad Khan. Pasangan ini dikaruniai tiga anak, yaitu
Mi`raj Begum (wafat usia muda), Aftah Iqbal, dan seorang lagi wafat saat lahir.
Iqbal melanjutkan studi di
Liberal Arts di Scotch Mission College (Murray College) yang lulus pada 1895,
masuk ke Goverment College, Lahore, hingga mendapatkan gelar Bachelor of Arts
pada 1897 dan gelar Master of Arts pada 1899. Saat menyelesaikan studi master
ini Iqbal bertemu Sir Thomas Arnold, pakar filsafat modern. Atas saran Sir Thomas Arnold, Iqbal pada 1905 melanjukan
studi di Trinity College, Cambridge University dan di Lincoln Inn, Inggris,
hingga meraih Bachelor of Arts dari Cambridge University. Sedangkan gelar Ph.D.
bidang filsafat diraihnya dari Ludwig-Maximilians University di Munich, Jerman,
pada 1907, dengan disertasi The Development of Metaphysics in Persian di
bawah bimbingan Prof.Dr.Friedrich Hommel.
Selama berada di Inggris
Iqbal menyempatkan menulis puisi dalam bahasa Parsi, terjun ke politik, dan
mengajar di School of Political Sciences menggantikan Sir Thomas Arnold selama
tiga bulan. Iqbal bersama Syed Hassan Bilgrami dan Syed Amir Ali bergabung
mendirikan The Muslim League. Bahkan, saat belajar di Inggris ini Iqbal sempat
menyukai seorang wanita cantik bernama Atiya Begum Faizee. Namun Iqbal hanya
bisa memendam cinta. Puisi yang ditulisnya selama berada di Inggris ini
dibukukan dengan judul “Javid Nama” pada 1932.
Kemudian pada 1908, Iqbal
kembali ke negerinya dan meniti karier di bidang akademik, pengacara, dan
penyair. Iqbal juga bekerja sebagai profesor bantu di Government College,
Lahore dan sempat menjadi Dekan Fakultas Kajian-kajian Ketimuran dan menjadi
Kepala jurusan Filsafat hingga tahun 1909. Iqbal kemudian behenti mengajar
karena ingin fokus sebagai pengacara dan intelektual publik. Pada tahun yang
sama, Iqbal menikah dengan Sardar Begum, wanita muda cantik. Perkawinannya itu
membuahkan lahirnya Javid Iqbal dan Munirah. Setelah Sardar Begum wafat pada
usia 37 tahun, Iqbal menikah lagi dengan Mukhtar Begum pada 1924.
Pada tahun 1911, Iqbal
membacakan puisinya “Shikvah” pada pertemuan tahunan dari organisasi Anjuman
Himayat-e-Islam, Lahore, dan pada 1913
puisinya “Javab-e-Shikyah” dibacakan di Mochi Gate, Lahore. Disusul pada 1915
menerbitkan antologi puisi dalam bahasa Parsi yang berjudul “Asrar-i-Khudi” dan
“Rumuz-i-Bekhudi” pada 1918. Dari karya-karyanya itu Iqbal kemudian dikenal
sebagai penyair dan pada 1923 menerima gelar bangsawan dari Kerajaan
Hindia-Belanda karena antologi puisi “Asrar-i-Khudi”.
Kemudian Iqbal bersama Muhammad Ali
Jinnah merumuskan konsep negara bagi Muslim India. Namun sayang ia tidak bisa
melihat negara Islam yang diperjuangkannya itu. Karena saat berdirinya negara
Islam Pakistan pada 1947, Iqbal sudah wafat pada 1938.
Sosok Muhammad Iqbal pada
abad duapuluh Masehi disejajarkan dengan tokoh pembaruan Islam seperti Sayyid
Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, dan Imam Khomeini.
Menurut Murtadha
Muthahhari bahwa Iqbal merupakan figur
intelektual yang dibesarkan peradaban Barat dan miskin khazanah Islam. Hal ini
tampak dalam karyanya yang terkenal “The Reconstruction of Religious Thought
in Islam”, Iqbal terinspirasi dari para filsuf Barat seperti Thomas
Aquinas, Henry Bergson, Nietzsche, Hegel, Whitehead, dan Berkeley. Menurut
Muthahhari, Iqbal tidak mengenal budaya Islam secara menyeluruh dan mendalam,
terutama dalam filsafat Islam. Iqbal hanya berpijak pada tradisi sufi
Jalaluddin Rumi dan jiwanya berwatak mistik India sehingga tidak menempatkan
spiritualisme Islam pada tumpuan yang paling agung. Apabila dibandingkan Sayyid
Jamaluddin Al-Afghani, kata Muthahhari, sangat jauh karena Iqbal tidak
melakukan perjalanan ke negeri-negeri Islam untuk membandingkan negara Islam
yang akan dibentuknya itu. Itu sebabnya, Muthahhari tidak terlalu menganggap
Iqbal sebagai tokoh pembaru Islam.
Berbeda dengan Ali
Syari`ati. Cendekiawan Iran yang dibesarkan dalam pemikiran sosial Barat ini
sangat apresiatif dengan Iqbal. Menurut Syariati, Iqbal merupakan tipe manusia
yang tidak puas dengan yang sudah dimilikinya sehingga mereguk khazanah Barat
untuk memperbaiki urusan umat Islam di negerinya. Dengan tema-tema kembali pada
kesadaran diri yang terdapat dalam puisi-puisi Iqbal, Syari`ati menganggapnya
sebuah kesadaran besar seorang Muslim untuk mengembalikan umat Islam pada
ajarannya yang sejati dan membebaskan umat Islam India dari cengkraman
kolonialis Inggris.
Begitupun dengan Rahbar
Republik Islam Iran, Imam Ali Khamenei` menganggap Iqbal sebagai nasionalis
Muslim modern yang menjadi pencetus dari berdirinya negara Islam Pakistan. Dengan
pemikiran-pemikiran reflektif yang dikemas dalam puisi-puisi, menurut Imam Ali
Khamenei`, gagasan dan ide-ide pembaruannya bukan sekadar untuk negerinya
sendiri tapi juga melintas dan menginspirasi negeri-negeri Islam lainnya. Meski
negerinya dijajah, Iqbal cukup cerdik dengan memanfaatkan kenalan-kenalan
kolonialis seperti Sir Thomas Arnold untuk mendapatkan pendidikan yang lebih
baik dan meraih gelar-gelar akademis hingga doktor filsafat pun disandangnya.
Karena itu, Rahbar Iran ini menganggap Iqbal sebagai orang yang berhasil
menanamkan dasar-dasar kemajuan bagi penerusnya, sehingga bisa memisahkan Islam
dan Hindu atau India dan Pakistan.[3]
Memang harus diakui bahwa
Iqbal memberikan kontribusi yang cukup besar, terutama dalam pemikiran dan
membangun kesadaran umat Islam agar kembali pada ajaran Al-Quran dan Sunnah.
Kecintaannya terhadap sosok Nabi Muhammad saw terlihat dalam puisi berikut ini:
Titik yang bercahaya yang namanya ialah diri
Adalah bunga api hidup di bawah debu kita
Dengan cinta, ia jadi abadi
Lebih pintar, lebih membakar, lebih bersinar
Dari cinta bermula kegemilangan wujudnya,
Dan pembangunan kemungkinannya yang tidak diketahui
Keadaannya mengumpul api dari cinta
Cinta mengarahnya menyinari dunia
Cinta tidak takut pedang atau keris
Cinta bukan dilahirkan dari air dan udara dan tanah
Cinta mengadakan damai dan perang dalam dunia
Cinta ialah pancaran hidup
Cinta ialah pedang mati yang berkilauan
Batu yang paling keras retak oleh pandangan cinta
Cinta Allah akhirnya menjadi seluruhnya Allah
Dalam hati manusia bertempatnya Muhamamd
Tanah Madinah lebih manis dari kedua-dua alam
Oh gembiralah kota di mana tinggalnya yang dicinta
Dalam pandangan politik,
Iqbal menentang nasionalisme yang mengedepankan sentimen etnis dan kesukuan.
Hal ini dikarenakan Iqbal tidak menyukai sikap taqlid kepada budaya
Barat. Sikapnya ini tampak dari upayanya untuk melawan kemunduran yang terjadi
di dunia Islam. Menurut Iqbal, ada tiga faktor yang membuat umat Islam mundur.
Pertama, konservatisme, yang diartikannya sebagai keterikatan pada tradisi dan
menutup ruang pendewasaan spiritual. Kedua, mistisme, yang menurut Iqbal
mengajarkan suatu penolakan palsu, memuaskan kebodoban dan penghambaran
spiritual. Ketiga, materialisme, yang dianggap oleh Iqbal telah memutuskan
manusia dari realitas hakiki (Tuhan) sehingga melumpuhkan spiritualitas.[4] Itu sebabnya dalam pemikiran kegamaan, Iqbal membedakan
antara teologi naturalis dan teologi wahyu. Menurut Iqbal, teologi naturalis
menjadikan Tuhan sebagai titik akhir kesimpulan seluruh kajian-kajian ketuhanan
yang bercorak filosofis. Sedangkan dalam teologi wahyu, Tuhan dijadikan sebagai
titik awal pembahasannya.[5]
Menurut Iqbal, ada tiga
tahap proses keberagamaan yang harus dilalui seorang Muslim bila ingin meraih
ma`rifat, mereguk indahnya Islam, dan menjadi manusia sempurna (insan kamil).
Tahap pertama adalah iman. Seorang Muslim wajib menerima segala yang
difirmankan Allah tanpa meragukannya sedikitpun. Kedua adalah tahap pemikiran.
Seorang Muslim tidak sekadar mentaati aturan Allah secara buta, tapi harus
mulai memahaminya secara rasional tentang apa yang diyakininya itu. Ketiga
adalah tahap penemuan. Yakni dalam rangka mencapai ma`rifat atau meraih kontak
langsung dengan realitas hakiki yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan
di alam semesta ini. Bila ketiganya dimiliki, maka keimanan seorang Muslim tak
sekadar adanya keyakinan kepada Allah, tapi juga ada sisi pengetahuan dan
memahami secara sadar tentang apa yang diimaninya itu.[6]
Apabila dilihat dari
berbagai tulisannya, tampaknya Iqbal sangat menginginkan Islam bisa berfungsi
sebagai ajaran yang mampu bersikap kritis terhadap tradisi sehingga seorang
Muslim bisa bersikap aktif dalam mengubah realitas dengan penuh kesadaran akan
posisinya sebagai co-creator Tuhan. Atau sebagai makhluk yang kreatif
dalam menciptakan kehidupan yang dinamis dan mampu menjalankan amanat Allah
sebagai khalifah di muka bumi. Inilah yang dikehendaki Iqbal dengan
gagasan-gagasannya yang berkaitan dengan konsep insan kamil yang
dirujuknya dari sufi Jalaluddin Rumi dan Bin Arabi. Hal itu dilakukannya
sebagai sebuah penghargaan terhadap dunia yang merupakan lahan bagi realisasi
kreatifitas dalam menjalankan peran manusia sebagai makhluk Allah yang bebas
dan cerdas sekaligus mitra sejajar Tuhan (co-creator) yang menyatu dalam
satu kehendak (takdir).[7]
Karena itu, menurut Iqbal,
umat Islam harus meningkatkan pengetahuannya dan mendapatkan kembali identitasnya
sebagai umat Muhammad saw. Iqbal yakin bahwa tertutupnya pintu ijtihad yang
merupakan ruang untuk pengembangan intelektual Islam telah mengakibatkan
stagnasi peradaban Islam. Apabila pintu ijtihad dibuka secara luas dalam
menangani persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam yang hidup pada zaman
modern, akan terbentang jalan menuju kemajuan. Namun untuk mencapainya, tentu
dibutuhkan sebuah tekad bersama dengan menjalin persatuan dan kesatuan di
seluruh Dunia Islam. Memang tidak bisa mulus begitu saja untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan umat Islam tersebut. Menurut Iqbal, ada dua faktor yang
menghambat persatuan Islam. Pertama adalah faktor eksternal sebuah negara
seperti penjajahan asing, nasionalisme gaya baru, ketergantungan ekonomi, dan globalisasi
budaya. Kedua adalah faktor internal seperti krisis jati diri umat Islam,
kecenderungan kepada budaya Barat, keterasingan kaum Muslimin dari budaya Islam
dan tidak berkembangnya ilmu dan sains di tengah umat Islam. Jadi, persatuan
Islam adalah landasan utama bagi terwujudnya kebersamaan di tubuh umat Islam. Iqbal juga percaya bahwa demokrasi dan penafsiran ajaran
Islam yang kontekstual dapat melahirkan masyarakat yang ideal. Untuk mewujudkan
hal itu harus diawali dengan adanya upaya untuk menyamakan pemahaman di antara
pemimpin negara-negara Islam dan meningkatkan pengetahuan umat Islam melalui
pendidikan.
Demikianlah beberapa butir
pemikiran dan gagasan pembaruan Islam yang dilontarkan Iqbal. Sebagai bentuk
penghargaan terhadap jasa dan kontribusi Iqbal, pemerintah Pakistan
mengabadikannya menjadi nama Lapangan Terbang Pakistan, Allama Iqbal
International Airport. Bukan hanya kaum Muslim yang mengenang kebesaran Iqbal
sebagai filsuf dan pembaru Islam, bahkan seorang kritikus sastra A.K.Brohi pun berkomentar,
“Jika mahkota burung merak menjadi sebab bagi kebanggaan Iran, Kooh-I-noor
bermakna kejayaan dan martabat bagi mahkota Inggris, maka Iqbal, kalau perlu,
menjadi penghias dari halaman puitis setiap negeri.”[8][]
[1] Mengenai biografi Muhammad Iqbal ini dimbil dari artikel
Ekky Malaky, “Allamah Sir Muhammad Iqbal: Penyair Yang Pemikir” dalam situs http://ummahonline.wordpress.com, artikel
“Allamah Mohammad Iqbal, Nama Yang Selalu Dikenang” dalam situs http://taghrib.ir,
dan buku Donny Gahrial Adian, Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003)
h.22-30.
[2] Lihat Abu Al-Hasan Al-Nadawi, Rawa'ie Iqbal
(Keindahan Iqbal, 1978) yang dikutip oleh Herisuanto bin Mahfudz dalam tulisan
biografi “Dr.Muhammad Iqbal” dalam situs http://dutabengkalis.blogspot.com.
[3] Lihat komentar Ali Khamenei`, Murtadha Muthahhari, dan
Ali Syari`ati dalam buku Muhammad Iqbal dalam Pandangan Para Pemikir Syi`ah (Jakarta: Al-Huda ICC Jakarta, 2002).
[4] Lihat Donny Gahrial Adian, Muhammad Iqbal
(Jakarta: Teraju, 2003) h.91-92.
[5] Ibid,h.49-60.
[6] Ibid, h.94.
[7] Ibid, h.96-97
[8] Dikutip dari Ekky Malaky, “Allamah Sir Muhammad Iqbal:
Penyair Yang Pemikir” dalam situs http://ummahonline.wordpress.com.