Jumat, 09 Februari 2018

Islam dalam Studi Pemikiran Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir pada 22 Februari 1873 Masehi —ada juga yang menyebut pada 9 November 1877—di Sialkot, Punjab, India. Ayahnya, Syaikh Nur Muhammad adalah seorang sufi yang berprofesi penjahit, dan ibunya, Imam Bibi, seorang Muslimah yang taat. Sedangkan kakeknya yang bernama Syaikh Rafia dikenal sebagai ulama.[1]

Pada waktu kecil Iqbal belajar Islam pada ayahnya. Setiap ba`da shalat subuh Iqbal diharuskan membaca dan menghafal Al-Quran. “Setiap hari selepas shalat subuh, aku terus membaca Al-Quran. Ayahku memerhatikan keadaan ini dan lalu bertanya, ‘Apa yang engkau baca?’ Aku menjawab, ‘Aku sedang membaca Al-Quran’. Selama tiga tahun ayahku bertanya dengan pertanyaan yang sama dan aku memberikan jawaban yang sama. Suatu hari aku bertanya kepadanya, ‘Apakah yang ada dalam dadamu wahai ayahku, engkau bertanya dengan pertanyaan yang sama dan aku terpaksa menjawab dengan jawaban yang sama?’Ayahku menjawab, ‘Sebenarnya aku ingin mengatakan kepadamu wahai anakku, bacalah Al-Quran itu seolah-olah ia diturunkan kepadamu’. Sejak itulah aku mulai mencoba memahami kandungan Al-Quran dan dari Al-Quranlah aku mendapat cahaya inspirasi untuk sajak-sajakku,” kisahnya.[2]

Muhammad Iqbal masuk sekolah dasar di Sialkot. Di sekolah ini bakatnya sebagai penyair terlihat, terutama oleh gurunya, Syed Mir Hasan. Setelah lulus Scotch Mission School pada 1892, Iqbal dinikahkan orantuanya dengan Karim Bibi, putri seorang dokter Gujarat kaya, Bahadur Atta Muhammad Khan. Pasangan ini dikaruniai tiga anak, yaitu Mi`raj Begum (wafat usia muda), Aftah Iqbal, dan seorang lagi wafat saat lahir.

Iqbal melanjutkan studi di Liberal Arts di Scotch Mission College (Murray College) yang lulus pada 1895, masuk ke Goverment College, Lahore, hingga mendapatkan gelar Bachelor of Arts pada 1897 dan gelar Master of Arts pada 1899. Saat menyelesaikan studi master ini Iqbal bertemu Sir Thomas Arnold, pakar filsafat modern. Atas saran Sir Thomas Arnold, Iqbal pada 1905 melanjukan studi di Trinity College, Cambridge University dan di Lincoln Inn, Inggris, hingga meraih Bachelor of Arts dari Cambridge University. Sedangkan gelar Ph.D. bidang filsafat diraihnya dari Ludwig-Maximilians University di Munich, Jerman, pada 1907, dengan disertasi The Development of Metaphysics in Persian di bawah bimbingan Prof.Dr.Friedrich Hommel.

Selama berada di Inggris Iqbal menyempatkan menulis puisi dalam bahasa Parsi, terjun ke politik, dan mengajar di School of Political Sciences menggantikan Sir Thomas Arnold selama tiga bulan. Iqbal bersama Syed Hassan Bilgrami dan Syed Amir Ali bergabung mendirikan The Muslim League. Bahkan, saat belajar di Inggris ini Iqbal sempat menyukai seorang wanita cantik bernama Atiya Begum Faizee. Namun Iqbal hanya bisa memendam cinta. Puisi yang ditulisnya selama berada di Inggris ini dibukukan dengan judul “Javid Nama” pada 1932.

Kemudian pada 1908, Iqbal kembali ke negerinya dan meniti karier di bidang akademik, pengacara, dan penyair. Iqbal juga bekerja sebagai profesor bantu di Government College, Lahore dan sempat menjadi Dekan Fakultas Kajian-kajian Ketimuran dan menjadi Kepala jurusan Filsafat hingga tahun 1909. Iqbal kemudian behenti mengajar karena ingin fokus sebagai pengacara dan intelektual publik. Pada tahun yang sama, Iqbal menikah dengan Sardar Begum, wanita muda cantik. Perkawinannya itu membuahkan lahirnya Javid Iqbal dan Munirah. Setelah Sardar Begum wafat pada usia 37 tahun, Iqbal menikah lagi dengan Mukhtar Begum pada 1924.

Pada tahun 1911, Iqbal membacakan puisinya “Shikvah” pada pertemuan tahunan dari organisasi Anjuman Himayat-e-Islam, Lahore, dan  pada 1913 puisinya “Javab-e-Shikyah” dibacakan di Mochi Gate, Lahore. Disusul pada 1915 menerbitkan antologi puisi dalam bahasa Parsi yang berjudul “Asrar-i-Khudi” dan “Rumuz-i-Bekhudi” pada 1918. Dari karya-karyanya itu Iqbal kemudian dikenal sebagai penyair dan pada 1923 menerima gelar bangsawan dari Kerajaan Hindia-Belanda karena antologi puisi “Asrar-i-Khudi”.

Kemudian Iqbal bersama Muhammad Ali Jinnah merumuskan konsep negara bagi Muslim India. Namun sayang ia tidak bisa melihat negara Islam yang diperjuangkannya itu. Karena saat berdirinya negara Islam Pakistan pada 1947, Iqbal sudah wafat pada 1938.

Sosok Muhammad Iqbal pada abad duapuluh Masehi disejajarkan dengan tokoh pembaruan Islam seperti Sayyid Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, dan Imam Khomeini.

Menurut Murtadha Muthahhari bahwa Iqbal merupakan figur intelektual yang dibesarkan peradaban Barat dan miskin khazanah Islam. Hal ini tampak dalam karyanya yang terkenal “The Reconstruction of Religious Thought in Islam”, Iqbal terinspirasi dari para filsuf Barat seperti Thomas Aquinas, Henry Bergson, Nietzsche, Hegel, Whitehead, dan Berkeley. Menurut Muthahhari, Iqbal tidak mengenal budaya Islam secara menyeluruh dan mendalam, terutama dalam filsafat Islam. Iqbal hanya berpijak pada tradisi sufi Jalaluddin Rumi dan jiwanya berwatak mistik India sehingga tidak menempatkan spiritualisme Islam pada tumpuan yang paling agung. Apabila dibandingkan Sayyid Jamaluddin Al-Afghani, kata Muthahhari, sangat jauh karena Iqbal tidak melakukan perjalanan ke negeri-negeri Islam untuk membandingkan negara Islam yang akan dibentuknya itu. Itu sebabnya, Muthahhari tidak terlalu menganggap Iqbal sebagai tokoh pembaru Islam.

Berbeda dengan Ali Syari`ati. Cendekiawan Iran yang dibesarkan dalam pemikiran sosial Barat ini sangat apresiatif dengan Iqbal. Menurut Syariati, Iqbal merupakan tipe manusia yang tidak puas dengan yang sudah dimilikinya sehingga mereguk khazanah Barat untuk memperbaiki urusan umat Islam di negerinya. Dengan tema-tema kembali pada kesadaran diri yang terdapat dalam puisi-puisi Iqbal, Syari`ati menganggapnya sebuah kesadaran besar seorang Muslim untuk mengembalikan umat Islam pada ajarannya yang sejati dan membebaskan umat Islam India dari cengkraman kolonialis Inggris.

Begitupun dengan Rahbar Republik Islam Iran, Imam Ali Khamenei` menganggap Iqbal sebagai nasionalis Muslim modern yang menjadi pencetus dari berdirinya negara Islam Pakistan. Dengan pemikiran-pemikiran reflektif yang dikemas dalam puisi-puisi, menurut Imam Ali Khamenei`, gagasan dan ide-ide pembaruannya bukan sekadar untuk negerinya sendiri tapi juga melintas dan menginspirasi negeri-negeri Islam lainnya. Meski negerinya dijajah, Iqbal cukup cerdik dengan memanfaatkan kenalan-kenalan kolonialis seperti Sir Thomas Arnold untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan meraih gelar-gelar akademis hingga doktor filsafat pun disandangnya. Karena itu, Rahbar Iran ini menganggap Iqbal sebagai orang yang berhasil menanamkan dasar-dasar kemajuan bagi penerusnya, sehingga bisa memisahkan Islam dan Hindu atau India dan Pakistan.[3]

Memang harus diakui bahwa Iqbal memberikan kontribusi yang cukup besar, terutama dalam pemikiran dan membangun kesadaran umat Islam agar kembali pada ajaran Al-Quran dan Sunnah. Kecintaannya terhadap sosok Nabi Muhammad saw terlihat dalam puisi berikut ini:

Titik yang bercahaya yang namanya ialah diri
Adalah bunga api hidup di bawah debu kita
Dengan cinta, ia jadi abadi
Lebih pintar, lebih membakar, lebih bersinar
Dari cinta bermula kegemilangan wujudnya,
Dan pembangunan kemungkinannya yang tidak diketahui
Keadaannya mengumpul api dari cinta
Cinta mengarahnya menyinari dunia
Cinta tidak takut pedang atau keris
Cinta bukan dilahirkan dari air dan udara dan tanah
Cinta mengadakan damai dan perang dalam dunia
Cinta ialah pancaran hidup
Cinta ialah pedang mati yang berkilauan
Batu yang paling keras retak oleh pandangan cinta
Cinta Allah akhirnya menjadi seluruhnya Allah
Dalam hati manusia bertempatnya Muhamamd
Tanah Madinah lebih manis dari kedua-dua alam
Oh gembiralah kota di mana tinggalnya yang dicinta


Dalam pandangan politik, Iqbal menentang nasionalisme yang mengedepankan sentimen etnis dan kesukuan. Hal ini dikarenakan Iqbal tidak menyukai sikap taqlid kepada budaya Barat. Sikapnya ini tampak dari upayanya untuk melawan kemunduran yang terjadi di dunia Islam. Menurut Iqbal, ada tiga faktor yang membuat umat Islam mundur. Pertama, konservatisme, yang diartikannya sebagai keterikatan pada tradisi dan menutup ruang pendewasaan spiritual. Kedua, mistisme, yang menurut Iqbal mengajarkan suatu penolakan palsu, memuaskan kebodoban dan penghambaran spiritual. Ketiga, materialisme, yang dianggap oleh Iqbal telah memutuskan manusia dari realitas hakiki (Tuhan) sehingga melumpuhkan spiritualitas.[4] Itu sebabnya dalam pemikiran kegamaan, Iqbal membedakan antara teologi naturalis dan teologi wahyu. Menurut Iqbal, teologi naturalis menjadikan Tuhan sebagai titik akhir kesimpulan seluruh kajian-kajian ketuhanan yang bercorak filosofis. Sedangkan dalam teologi wahyu, Tuhan dijadikan sebagai titik awal pembahasannya.[5]   

Menurut Iqbal, ada tiga tahap proses keberagamaan yang harus dilalui seorang Muslim bila ingin meraih ma`rifat, mereguk indahnya Islam, dan menjadi manusia sempurna (insan kamil). Tahap pertama adalah iman. Seorang Muslim wajib menerima segala yang difirmankan Allah tanpa meragukannya sedikitpun. Kedua adalah tahap pemikiran. Seorang Muslim tidak sekadar mentaati aturan Allah secara buta, tapi harus mulai memahaminya secara rasional tentang apa yang diyakininya itu. Ketiga adalah tahap penemuan. Yakni dalam rangka mencapai ma`rifat atau meraih kontak langsung dengan realitas hakiki yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan di alam semesta ini. Bila ketiganya dimiliki, maka keimanan seorang Muslim tak sekadar adanya keyakinan kepada Allah, tapi juga ada sisi pengetahuan dan memahami secara sadar tentang apa yang diimaninya itu.[6]

Apabila dilihat dari berbagai tulisannya, tampaknya Iqbal sangat menginginkan Islam bisa berfungsi sebagai ajaran yang mampu bersikap kritis terhadap tradisi sehingga seorang Muslim bisa bersikap aktif dalam mengubah realitas dengan penuh kesadaran akan posisinya sebagai co-creator Tuhan. Atau sebagai makhluk yang kreatif dalam menciptakan kehidupan yang dinamis dan mampu menjalankan amanat Allah sebagai khalifah di muka bumi. Inilah yang dikehendaki Iqbal dengan gagasan-gagasannya yang berkaitan dengan konsep insan kamil yang dirujuknya dari sufi Jalaluddin Rumi dan Bin Arabi. Hal itu dilakukannya sebagai sebuah penghargaan terhadap dunia yang merupakan lahan bagi realisasi kreatifitas dalam menjalankan peran manusia sebagai makhluk Allah yang bebas dan cerdas sekaligus mitra sejajar Tuhan (co-creator) yang menyatu dalam satu kehendak (takdir).[7]

Karena itu, menurut Iqbal, umat Islam harus meningkatkan pengetahuannya dan mendapatkan kembali identitasnya sebagai umat Muhammad saw. Iqbal yakin bahwa tertutupnya pintu ijtihad yang merupakan ruang untuk pengembangan intelektual Islam telah mengakibatkan stagnasi peradaban Islam. Apabila pintu ijtihad dibuka secara luas dalam menangani persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam yang hidup pada zaman modern, akan terbentang jalan menuju kemajuan. Namun untuk mencapainya, tentu dibutuhkan sebuah tekad bersama dengan menjalin persatuan dan kesatuan di seluruh Dunia Islam. Memang tidak bisa mulus begitu saja untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam tersebut. Menurut Iqbal, ada dua faktor yang menghambat persatuan Islam. Pertama adalah faktor eksternal sebuah negara seperti penjajahan asing, nasionalisme gaya baru, ketergantungan ekonomi, dan globalisasi budaya. Kedua adalah faktor internal seperti krisis jati diri umat Islam, kecenderungan kepada budaya Barat, keterasingan kaum Muslimin dari budaya Islam dan tidak berkembangnya ilmu dan sains di tengah umat Islam. Jadi, persatuan Islam adalah landasan utama bagi terwujudnya kebersamaan di tubuh umat Islam. Iqbal juga percaya bahwa demokrasi dan penafsiran ajaran Islam yang kontekstual dapat melahirkan masyarakat yang ideal. Untuk mewujudkan hal itu harus diawali dengan adanya upaya untuk menyamakan pemahaman di antara pemimpin negara-negara Islam dan meningkatkan pengetahuan umat Islam melalui pendidikan.

Demikianlah beberapa butir pemikiran dan gagasan pembaruan Islam yang dilontarkan Iqbal. Sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa dan kontribusi Iqbal, pemerintah Pakistan mengabadikannya menjadi nama Lapangan Terbang Pakistan, Allama Iqbal International Airport.  Bukan hanya kaum Muslim yang mengenang kebesaran Iqbal sebagai filsuf dan pembaru Islam, bahkan seorang kritikus sastra A.K.Brohi pun berkomentar, “Jika mahkota burung merak menjadi sebab bagi kebanggaan Iran, Kooh-I-noor bermakna kejayaan dan martabat bagi mahkota Inggris, maka Iqbal, kalau perlu, menjadi penghias dari halaman puitis setiap negeri.[8][]


[1] Mengenai biografi Muhammad Iqbal ini dimbil dari artikel Ekky Malaky, “Allamah Sir Muhammad Iqbal: Penyair Yang Pemikir” dalam situs http://ummahonline.wordpress.com, artikel “Allamah Mohammad Iqbal, Nama Yang Selalu Dikenang” dalam situs http://taghrib.ir, dan buku Donny Gahrial Adian, Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003) h.22-30.
[2] Lihat Abu Al-Hasan Al-Nadawi, Rawa'ie Iqbal (Keindahan Iqbal, 1978) yang dikutip oleh Herisuanto bin Mahfudz dalam tulisan biografi “Dr.Muhammad Iqbal” dalam situs http://dutabengkalis.blogspot.com.
[3] Lihat komentar Ali Khamenei`, Murtadha Muthahhari, dan Ali Syari`ati dalam buku Muhammad Iqbal dalam Pandangan Para Pemikir Syi`ah  (Jakarta: Al-Huda ICC Jakarta, 2002).
[4] Lihat Donny Gahrial Adian, Muhammad Iqbal (Jakarta: Teraju, 2003) h.91-92.
[5] Ibid,h.49-60.
[6] Ibid, h.94.
[7] Ibid, h.96-97
[8] Dikutip dari Ekky Malaky, “Allamah Sir Muhammad Iqbal: Penyair Yang Pemikir” dalam situs http://ummahonline.wordpress.com.