Cendekiawan yang dikenal sebagai
tokoh pembaruan Islam ini bernama Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia
lahir di Desa Mahallat Nashr di daerah Al-Buhairah, Mesir, tahun 1849 M. Abduh
ketika kecil oleh ayahnya dikirimkan ke Masjid Al-Ahmadi Thantha, untuk belajar
tajwid Al-Quran. Setelah dua tahun, Abduh kembali ke desanya dan dinikahkan
saat berusia 16 tahun. Karena ayahnya terus memaksanya untuk belajar di
Al-Ahmadi, Abduh pergi ke saudara-saudaranya yang berada di Syibral Khit. Di
desa inilah Abduh berguru pada Syaikh Darwisy Khidr, pamannya yang menganut
tarekat Asy-Syadziliyah. Pamannya itu yang menyemangati Abduh agar mau belajar
di Madrasah Al-Ahmadi Thanta. Atas saran dan masukan pamannya itu, Abduh
kemudian masuk ke Madrasah Al-Ahmadi Thanta, Mesir.
Setelah tamat dari
Al-Ahmadi Thanta, pada Februari 1866 ia
melanjutkan ke Universitas Al-Azhar. Saat di Al-Azhar ini Abduh mengagumi
Syaikh Hasan Ath-Thawil dan Muhammad Al-Basyumi. Abduh juga sering menghadiri
diskusi dan pertemuan ilmiah yang diadakan Jamaluddin Al-Afghani; sekaliggus
berbincang dengan tokoh pembaru asal Persia ini mengenai kehidupan umat dan
masa depan Islam. Selama dua tahun Abduh terus menjalin komunikasi dan berguru
pada Jamaluddin Al-Afghani. Kedekatannya dengan Afghani ini Abduh mendapatkan
banyak wawasan, yang kemudian dituliskannya dalam buku “Risalah Al-'Aridha”
pada 1873 dan “Hasyirah Syarh Al-Jalal Ad-Dawwani Li Al-Aqa'id
Adh-Adhudhiyah” pada 1875.
Pada usia 26 tahun, Abduh
sudah menulis artikel-artikel yang bertemakan filsafat, teologi, tasawuf, dan
kritik terhadap pendapat para ulama; yang dipublikasikannya di surat kabar Al-Ahram
(Kairo, Mesir). Meski Abduh tidak disukai karena kritik-kritiknya yang tajam
pada para pengajar (ulama), tapi Abduh berhasil lulus dengan peringkat
tertinggi.
Selanjutnya pada 1294 H
/1877 M, Abduh ditetapkan sebagai guru sejarah di Madrasah Dar Al-Ulum dan
Madrasah As-Sin. Abduh menggunakan kitab “Muqadimah” karya Bin Khaldun
sebagai pegangannya. Selain mengajar dan menulis, Abduh juga bergabung dalam
dunia politik bersama gurunya, Al-Afghani, dalam Partai Nasionalis Kemerdekaan
(Al-Hizb Al-Wathani Al-Hurr). Keterlibatannya dalam dunia politik dan
pemikiran-pemikirannya yang rasional dianggap membahayakan pemerintah. Sehingga
Al-Afghani diusir ke Paris, Perancis pada 1296H/1879M, dan Abduh diberhentikan
dari jabatannya sebagai guru dan diasingkan ke desa kelahirannya sebagai
tahanan luar. Kemudian Riyadh Pasha, penguasa Mesir, mengeluarkan amnesty
pembebasan Muhammad Abduh dari tahanan luar dan memperbolehkannya kembali
berkiprah.
Setelah terjadi
demonstrasi di Abidin, Kairo, Muhammad Abduh dan partainya bergabung dalam
revolusi Arab menentang pendudukan Inggris. Namun revolusi itu gagal dan Inggris menguasai Mesir pada September 1882M.
Abduh kemudian dipenjara, dihukum, dan dibuang ke Beirut, Lebanon. Di Lebanon
ini Abduh menulis buku “Risalah at-Tauhid” (pemikiran-pemikiran teologi
Islam), “Syarh Nahjul Balaghah” (komentar atas kumpulan pidato dan
ucapan Imam Ali Bin Abu Thalib), dan menerjemahkan tulisan karya Al-Afghani
yang berjudul “Ar-Raddu 'Ala Ad-Dahriyyin” (bantahan terhadap athiesme).
Setelah habis masa pengasingannya, Abduh ke Paris, Perancis, menyusul Jamaluddin
Al-Afghani. Murid dan guru itu kemudian menerbitkan Majalah Al-Urwah
Al-Wutsqa yang banyak memuat kritik dan sikap penentangannya terhadap
penjajahan Barat, khususnya Inggris.[1]
Setelah penerbitan Majalah
Al-Urwah Al-Wustha berhenti dan habis masa pengasinganya, Abduh
beristirahat dari aktivitas politik dan memfokuskan diri dalam pengembangan
pendidikan di negerinya. Karena cerdas dan berwawasan luas, Abduh pada
1317H/1899M ditunjuk sebagai anggota Majlis Syuro Al-Qodawinin (Dewan Syura
Undang-Undang Mesir), mendirikan Al-Jamiyah Al-Khairiyah Al-Islamiyah
(Organisasi Kebajikan Islam) pada 1310H/1892M; yang sekaligus menjadi
pimpinannya pada 1318 H/1900M, mendirikan Jamiyah Ihya Arabiyah (Organisasi
menghidupkan kitab-kitab Arab) pada 1318 H/1900M, dan menjabat sebagai Mufti
Agung Mesir pada 1899M. Selama menjadi Mufti, Abduh banyak mengeluarkan fatwa
tentang bunga bank, pakaian tradisional (termasuk jilbab), dan daging hasil
sembelihan orang-orang non-Muslim.
Meski sibuk dengan aktivitasnya,
Abduh masih menyempatkan menulis artikel di Majalah Al-Manar yang diterbitkan
Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354H/1865-1935M) dan menulis tafsir Al-Quran yang
diberi nama “Tafsir Al-Manar” serta memperbaiki sistem pendidikan Universitas
Al-Azhar, Masjid, dan peradilan syariah Mesir.
Pada 1905—sebelum
wafat—Abduh sempat menggagas pembentukan Universitas Mesir[2]sebagai
lembaga pendidikan modern. Menurut Abduh, Al-Azhar terkungkung dengan sikap taqlid
dan menutup pintu ijtihad. Namun, setelah memegang jabatan Mufti Agung Mesir,
sikapnya itu berubah dalam menilai para ulama Mesir dan Abduh berusaha menjadi
sosok yang memayungi ulama modern dan tradisional.
Menurut Quraish Shihab bahwa pemikiran Abduh yang berkaitan dengan pembaruan Islam
terbagi menjadi dua. Pertama, Abduh berupaya membebaskan akal dari
belenggu taqlid yang menghambat perkembangan wawasan keagamaan dan umat
Islam dengan langsung merujuk sumber utama Islam (Al-Quran dan Hadits). Kedua,
melakukan perbaikan tata dan gaya bahasa Arab yang digunakan sebagai bahasa
percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun bahasa tulisan-tulisan di
media massa dan buku-buku.[3]
Abduh juga dalam beberapa
pemikirannya lebih rasional dari Mu`tazilah[4]
karena lebih dominan menggunakan kekuatan akal ketimbang nash agama.
Mengapa? Abduh menjawab: akal memiliki daya kekuatan untuk menjangkau arah masa
depan. Dengan menggunakan akal, seorang manusia dapat mengetahui Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, termasuk keberadaannya di akhirat. Karena itu, manusia dengan
akal dapat memilih antara berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiaan di akhirat, atau memilih jalan salah dan menentang Tuhan.
Menurut Abduh bahwa wahyu
adalah penolong (al-mu’in)[5]
bagi akal manusia untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat,
mengatur kehidupan masyarakat, menyempurnakan pengetahuannya tentang Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, dan mengetahui tata cara beribadah serta bersyukur kepada
Tuhan.[6]
Jelaslah bahwa wahyu, menurut Abduh, berfungsi menguatkan dan menyempurnakan
pengetahuan akal dan konfirmasi atas kebenarannya. Sehingga bagi Abduh
penggunaan akal merupakan penentu keimanan seorang Muslim kepada Allah dan
kepercayaannya atas eksistensi-Nya. Lebih jauh, Abduh berpendapat bahwa wahyu
yang dibawa para utusan Allah (Nabi) tidak akan bertentangan dengan akal.
Apabila di antara akal dan wahyu itu terdapat pertentangan, yang salah bukan
pada salah satunya, tetapi pasti terdapat penyimpangan dalam cara penafsiran
atau penggunaannya.
Muhammad Abduh memiliki
pemikiran yang berbeda tentang kebebasan manusia dengan paham Ahlussunnah wal Jama`ah. Bagi Abduh,
seorang manusia selain mempunyai akal untuk berpikir, juga mempunyai kebebasan
memilih. Berpikir dan memilih inilah sifat dasar manusia yang diberikan Tuhan
sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Manusia dengan akalnya bisa
mempertimbangkan akibat dari perbuatannya, mengambil keputusan, dan
mewujudkannya.[7]
Karena itu, Tuhan–dalam pandangan Abduh—telah membatasi kehendak mutlak-Nya
dengan memberi kebebasan dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Begitupun kehendak mutlak Tuhan, tidak
mungkin Tuhan menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkan-Nya.
Demikian pemikiran teologi
Islam rasional yang dikembangkan Muhammad Abduh. Apabila diselediki mengapa ia
melontarkan pemikiran-pemikiran yang rasional? Alasannya karena Abduh ingin
membebaskan akal dari belenggu taqlid yang menghambat perkembangan umat
dan khazanah Islam dengan merujuk pada sumbernya (Al-Quran).
Menurut Abduh, kitab-kitab
tafsir yang ada pada masanya dan masa sebelumnya hanya berisi pendapat ulama
yang saling berbeda dan menjauhkan pembacanya dari tujuan diturunkannya
Al-Quran. Apalagi sebagian dari kitab-kitab itu penafsirannya hanya terpaku
pada kata-kata (harfiah) dan kedudukan kalimat (ayat-ayat) Al-Quran saja.
Karena itu, kitab-kitab tafsir terdahulu dan yang berkembang pada masanya,
Abduh kategorikan hanya sebagai latihan praktis bidang kebahasaan Al-Quran,
bukan sebagai karya tafsir. Abduh menjelaskan bahwa tafsir yang sesungguhnya
adalah penjelasan Al-Quran yang dilahirkan dari kemampuan menafsirkan dengan
akalnya yang berguna bagi kehidupan umat Islam dan tafsirnya itu tidak menjadi
alat pembelaan atas mazhab yang dianutnya. Wajar jika kemudian para murid dan
pengagumnya terpecah menjadi kelompok Kanan Abduh (Abduh Al-Yamini) yang mengembangkan
pemikiran-pemikiran keagamaannya dan kelompok Kiri Abduh (Abduh Al-Yasari) yang
mengembangkan gagasan-gagasan Islam modern Muhammad Abduh. Mereka yang terpengaruhi pemikiran Abduh ini
di antaranya: Muhammad Rasyid Ridha (w.1935M), Shakib Arslan (w.1946M), Qasim
Amin (w.1908M), Ali Abd Al-Raziq, Hassan Hanafi, Fuad Zakariya, Zaki Najib
Mahmud, dan Adonis (Ahmad Said), Hassan Al-Banna, Sayyid Qutub, Muhammad
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Abdullah Daraz, Abdul Jalil Isa,
K.H.Ahmad Dahlan, Harun Nasution, Muhammad Quraish Shihab, dan lainnya.[]
[1] Majalah Al-Urwah Al-Wutsqa ini merupakan media
organisasi gerakan pembaruan Islam yang memakai nama majalah tersebut.
[2] Idenya itu baru terlaksana setelah ia wafat, yang kini
bernama Universitas Kairo.
[3] Lihat H.M.Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h.19.
[4] Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional (Jakarta: UI Press, 1978), h.57.
[5] Al-Mu`in dipergunakan oleh Abduh untuk
menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
[6] Lihat Harun Nasution. Ibid, h.58-61
[7] Ibid, h.65.