Kamis, 08 Februari 2018

Islam dan Pembaruan: Studi Pemikiran Muhammad Abduh



Cendekiawan yang dikenal sebagai tokoh pembaruan Islam ini bernama Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia lahir di Desa Mahallat Nashr di daerah Al-Buhairah, Mesir, tahun 1849 M. Abduh ketika kecil oleh ayahnya dikirimkan ke Masjid Al-Ahmadi Thantha, untuk belajar tajwid Al-Quran. Setelah dua tahun, Abduh kembali ke desanya dan dinikahkan saat berusia 16 tahun. Karena ayahnya terus memaksanya untuk belajar di Al-Ahmadi, Abduh pergi ke saudara-saudaranya yang berada di Syibral Khit. Di desa inilah Abduh berguru pada Syaikh Darwisy Khidr, pamannya yang menganut tarekat Asy-Syadziliyah. Pamannya itu yang menyemangati Abduh agar mau belajar di Madrasah Al-Ahmadi Thanta. Atas saran dan masukan pamannya itu, Abduh kemudian masuk ke Madrasah Al-Ahmadi Thanta, Mesir.
Setelah tamat dari Al-Ahmadi Thanta, pada Februari 1866  ia melanjutkan ke Universitas Al-Azhar. Saat di Al-Azhar ini Abduh mengagumi Syaikh Hasan Ath-Thawil dan Muhammad Al-Basyumi. Abduh juga sering menghadiri diskusi dan pertemuan ilmiah yang diadakan Jamaluddin Al-Afghani; sekaliggus berbincang dengan tokoh pembaru asal Persia ini mengenai kehidupan umat dan masa depan Islam. Selama dua tahun Abduh terus menjalin komunikasi dan berguru pada Jamaluddin Al-Afghani. Kedekatannya dengan Afghani ini Abduh mendapatkan banyak wawasan, yang kemudian dituliskannya dalam buku “Risalah Al-'Aridha” pada 1873 dan “Hasyirah Syarh Al-Jalal Ad-Dawwani Li Al-Aqa'id Adh-Adhudhiyah” pada 1875.

Pada usia 26 tahun, Abduh sudah menulis artikel-artikel yang bertemakan filsafat, teologi, tasawuf, dan kritik terhadap pendapat para ulama; yang dipublikasikannya di surat kabar Al-Ahram (Kairo, Mesir). Meski Abduh tidak disukai karena kritik-kritiknya yang tajam pada para pengajar (ulama), tapi Abduh berhasil lulus dengan peringkat tertinggi. 

Selanjutnya pada 1294 H /1877 M, Abduh ditetapkan sebagai guru sejarah di Madrasah Dar Al-Ulum dan Madrasah As-Sin. Abduh menggunakan kitab “Muqadimah” karya Bin Khaldun sebagai pegangannya. Selain mengajar dan menulis, Abduh juga bergabung dalam dunia politik bersama gurunya, Al-Afghani, dalam Partai Nasionalis Kemerdekaan (Al-Hizb Al-Wathani Al-Hurr). Keterlibatannya dalam dunia politik dan pemikiran-pemikirannya yang rasional dianggap membahayakan pemerintah. Sehingga Al-Afghani diusir ke Paris, Perancis pada 1296H/1879M, dan Abduh diberhentikan dari jabatannya sebagai guru dan diasingkan ke desa kelahirannya sebagai tahanan luar. Kemudian Riyadh Pasha, penguasa Mesir, mengeluarkan amnesty pembebasan Muhammad Abduh dari tahanan luar dan memperbolehkannya kembali berkiprah.

Setelah terjadi demonstrasi di Abidin, Kairo, Muhammad Abduh dan partainya bergabung dalam revolusi Arab menentang pendudukan Inggris. Namun revolusi itu gagal dan  Inggris menguasai Mesir pada September 1882M. Abduh kemudian dipenjara, dihukum, dan dibuang ke Beirut, Lebanon. Di Lebanon ini Abduh menulis buku “Risalah at-Tauhid” (pemikiran-pemikiran teologi Islam), “Syarh Nahjul Balaghah” (komentar atas kumpulan pidato dan ucapan Imam Ali Bin Abu Thalib), dan menerjemahkan tulisan karya Al-Afghani yang berjudul “Ar-Raddu 'Ala Ad-Dahriyyin” (bantahan terhadap athiesme). Setelah habis masa pengasingannya, Abduh ke Paris, Perancis, menyusul Jamaluddin Al-Afghani. Murid dan guru itu kemudian menerbitkan Majalah Al-Urwah Al-Wutsqa yang banyak memuat kritik dan sikap penentangannya terhadap penjajahan Barat, khususnya Inggris.[1]

Setelah penerbitan Majalah Al-Urwah Al-Wustha berhenti dan habis masa pengasinganya, Abduh beristirahat dari aktivitas politik dan memfokuskan diri dalam pengembangan pendidikan di negerinya. Karena cerdas dan berwawasan luas, Abduh pada 1317H/1899M ditunjuk sebagai anggota Majlis Syuro Al-Qodawinin (Dewan Syura Undang-Undang Mesir), mendirikan Al-Jamiyah Al-Khairiyah Al-Islamiyah (Organisasi Kebajikan Islam) pada 1310H/1892M; yang sekaligus menjadi pimpinannya pada 1318 H/1900M, mendirikan Jamiyah Ihya Arabiyah (Organisasi menghidupkan kitab-kitab Arab) pada 1318 H/1900M, dan menjabat sebagai Mufti Agung Mesir pada 1899M. Selama menjadi Mufti, Abduh banyak mengeluarkan fatwa tentang bunga bank, pakaian tradisional (termasuk jilbab), dan daging hasil sembelihan orang-orang non-Muslim.

Meski sibuk dengan aktivitasnya, Abduh masih menyempatkan menulis artikel di Majalah Al-Manar yang diterbitkan Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354H/1865-1935M) dan menulis tafsir Al-Quran yang diberi nama “Tafsir Al-Manar” serta memperbaiki sistem pendidikan Universitas Al-Azhar, Masjid, dan peradilan syariah Mesir.

Pada 1905—sebelum wafat—Abduh sempat menggagas pembentukan Universitas Mesir[2]sebagai lembaga pendidikan modern. Menurut Abduh, Al-Azhar terkungkung dengan sikap taqlid dan menutup pintu ijtihad. Namun, setelah memegang jabatan Mufti Agung Mesir, sikapnya itu berubah dalam menilai para ulama Mesir dan Abduh berusaha menjadi sosok yang memayungi ulama modern dan tradisional.

Menurut Quraish Shihab bahwa pemikiran Abduh yang berkaitan dengan pembaruan Islam terbagi menjadi dua. Pertama, Abduh berupaya membebaskan akal dari belenggu taqlid yang menghambat perkembangan wawasan keagamaan dan umat Islam dengan langsung merujuk sumber utama Islam (Al-Quran dan Hadits). Kedua, melakukan perbaikan tata dan gaya bahasa Arab yang digunakan sebagai bahasa percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun bahasa tulisan-tulisan di media massa dan buku-buku.[3]

Abduh juga dalam beberapa pemikirannya lebih rasional dari Mu`tazilah[4] karena lebih dominan menggunakan kekuatan akal ketimbang nash agama. Mengapa? Abduh menjawab: akal memiliki daya kekuatan untuk menjangkau arah masa depan. Dengan menggunakan akal, seorang manusia dapat mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, termasuk keberadaannya di akhirat. Karena itu, manusia dengan akal dapat memilih antara berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat, atau memilih jalan salah dan menentang Tuhan.

Menurut Abduh bahwa wahyu adalah penolong (al-mu’in)[5] bagi akal manusia untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat, menyempurnakan pengetahuannya tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya, dan mengetahui tata cara beribadah serta bersyukur kepada Tuhan.[6] Jelaslah bahwa wahyu, menurut Abduh, berfungsi menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan konfirmasi atas kebenarannya. Sehingga bagi Abduh penggunaan akal merupakan penentu keimanan seorang Muslim kepada Allah dan kepercayaannya atas eksistensi-Nya. Lebih jauh, Abduh berpendapat bahwa wahyu yang dibawa para utusan Allah (Nabi) tidak akan bertentangan dengan akal. Apabila di antara akal dan wahyu itu terdapat pertentangan, yang salah bukan pada salah satunya, tetapi pasti terdapat penyimpangan dalam cara penafsiran atau penggunaannya.

Muhammad Abduh memiliki pemikiran yang berbeda tentang kebebasan manusia dengan paham Ahlussunnah wal Jama`ah. Bagi Abduh, seorang manusia selain mempunyai akal untuk berpikir, juga mempunyai kebebasan memilih. Berpikir dan memilih inilah sifat dasar manusia yang diberikan Tuhan sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Manusia dengan akalnya bisa mempertimbangkan akibat dari perbuatannya, mengambil keputusan, dan mewujudkannya.[7] Karena itu, Tuhan–dalam pandangan Abduh—telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Begitupun kehendak mutlak Tuhan, tidak mungkin Tuhan menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkan-Nya.

Demikian pemikiran teologi Islam rasional yang dikembangkan Muhammad Abduh. Apabila diselediki mengapa ia melontarkan pemikiran-pemikiran yang rasional? Alasannya karena Abduh ingin membebaskan akal dari belenggu taqlid yang menghambat perkembangan umat dan khazanah Islam dengan merujuk pada sumbernya (Al-Quran).

Menurut Abduh, kitab-kitab tafsir yang ada pada masanya dan masa sebelumnya hanya berisi pendapat ulama yang saling berbeda dan menjauhkan pembacanya dari tujuan diturunkannya Al-Quran. Apalagi sebagian dari kitab-kitab itu penafsirannya hanya terpaku pada kata-kata (harfiah) dan kedudukan kalimat (ayat-ayat) Al-Quran saja. Karena itu, kitab-kitab tafsir terdahulu dan yang berkembang pada masanya, Abduh kategorikan hanya sebagai latihan praktis bidang kebahasaan Al-Quran, bukan sebagai karya tafsir. Abduh menjelaskan bahwa tafsir yang sesungguhnya adalah penjelasan Al-Quran yang dilahirkan dari kemampuan menafsirkan dengan akalnya yang berguna bagi kehidupan umat Islam dan tafsirnya itu tidak menjadi alat pembelaan atas mazhab yang dianutnya. Wajar jika kemudian para murid dan pengagumnya terpecah menjadi kelompok Kanan Abduh (Abduh Al-Yamini) yang mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaannya dan kelompok Kiri Abduh (Abduh Al-Yasari) yang mengembangkan gagasan-gagasan Islam modern Muhammad Abduh.  Mereka yang terpengaruhi pemikiran Abduh ini di antaranya: Muhammad Rasyid Ridha (w.1935M), Shakib Arslan (w.1946M), Qasim Amin (w.1908M), Ali Abd Al-Raziq, Hassan Hanafi, Fuad Zakariya, Zaki Najib Mahmud, dan Adonis (Ahmad Said), Hassan Al-Banna, Sayyid Qutub, Muhammad Al-Maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Abdullah Daraz, Abdul Jalil Isa, K.H.Ahmad Dahlan, Harun Nasution, Muhammad Quraish Shihab, dan lainnya.[]


[1] Majalah Al-Urwah Al-Wutsqa ini merupakan media organisasi gerakan pembaruan Islam yang memakai nama majalah tersebut.
[2] Idenya itu baru terlaksana setelah ia wafat, yang kini bernama Universitas Kairo.
[3] Lihat H.M.Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h.19.
[4] Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional (Jakarta: UI Press, 1978), h.57.
[5] Al-Mu`in dipergunakan oleh Abduh untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
[6] Lihat Harun Nasution. Ibid, h.58-61
[7] Ibid, h.65.