Sekarang ini, Sunni dan Syiah menjadi
persoalan yang sedang hangat. Sejak kasus pembakaran hingga pengusiran warga
Syiah di Sampang Madura, Jawa Timur, tahun 2011 sampai sekarang ini nasibnya
masih terkatung-katung dan belum bisa pulang ke kampung halaman. Ditambah lagi
dengan hadirnya gerakan yang gencar untuk mengeluarkan Syiah dari Islam,
menambah persoalan keagamaan di Indonesia semakin semraut.
Sayangnya, tokoh MUI Pusat dan Kementerian Agama RI belum memberikan perhatian yang serius atas persoalan Sunni dan Syiah ini. Baru opini tokoh yang muncul, tetapi tidak memiliki implikasi hukum. Ditambah lagi dengan surat edaran dari walikota Bogor yang melarang acara Asyura yang menjadi bahan komentar di media sosial antara yang pro dan kontra. Terakhir Bupati Purwakarta membuat surat edaran yang berisi dukungan beribadah dengan keyakinannya, tetapi menolak kegiatan anti Syiah.
Sayangnya, tokoh MUI Pusat dan Kementerian Agama RI belum memberikan perhatian yang serius atas persoalan Sunni dan Syiah ini. Baru opini tokoh yang muncul, tetapi tidak memiliki implikasi hukum. Ditambah lagi dengan surat edaran dari walikota Bogor yang melarang acara Asyura yang menjadi bahan komentar di media sosial antara yang pro dan kontra. Terakhir Bupati Purwakarta membuat surat edaran yang berisi dukungan beribadah dengan keyakinannya, tetapi menolak kegiatan anti Syiah.
Dalam perkuliahan di kampus UIN, Sunni dan
Syiah dibahas dalam mata kuliah Ilmu Kalam, Perkembangan Pemikiran Modern Dalam
Islam, dan Sejarah Peradaban Islam. Bagi yang pernah belajar di UIN, akan
mengetahui bahwa persoalan Sunni dan Syiah bermula dari politik berlanjut
dengan perbedaan menafsirkan sumber-sumber Islam. Bisa dirujuk dari sejumlah
buku karya Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Murtadha Muthahhari, Yusuf
Qaradhawi, Afif Muhammad, Mulyadhi Kartanegara, Muhammad Husein Thabathabai,
Azyumardi Azra, Abdul Aziz Sachedina, Abuddin Nata, Majid Fakhri, Abdul Sani,
Muhammad Quraish Shihab, dan lainnya.
Memang harus diakui ada perbedaan antara Sunni
dan Syiah. Dari perbedaan itu, persoalan kepemimpinan politik pascaRasulullah
saw yang menjadi dasar ikhtilaf. Aspek fikih dan tafsir Al-Quran tidak terlalu
besar karena dari masing-masing rujukan berujung kepada Rasulullah saw. Sudah
banyak buku yang mencoba menjelaskan secara umum kesamaan dan perbedaannya.
Seperti Buku Putih Mazhab Syiah dan Syiah Menurut Syiah, yang
diterbitkan ormas Ahlulbait Indonesia. Juga buku Sunni dan Syiah
Bergandengan Tangan, Mungkinkah? karya Muhammad Quraish Shihab, atau buku Memahami
Syiah Merajut Ukhuwah dan Polemik Sunni Syiah karya Muhammad Babul
Ulum. Buku tersebut kemudian direspons oleh kalangan yang tidak simpati dengan
Syiah dengan berbagai argumentasi. Sayangnya, dari respons tersebut ikhtilaf
tidak berakhir malah semakin terlihat betapa enggan orang untuk merajut ukhuwah
Islamiyah.
Sadarilah bahwa ukhuwah penting bagi umat Islam. Di masjidil
Haram dan masjid Al-Munawwarah, orang Islam dengan berbagai mazhab hadir dan
ibadah. Tidak rebut soal mazhab, apalagi larang melarang dalam ibadah. Di kedua
masjid itu, kaum Muslim Syiah yang haji dan umrah tetap ikut imam masjid dari
mazhab Wahabi kala shalat wajib. Tidak boikot ibadah shalat.
Percayalah ikhtilaf hanya sebatas wacana dan ilmu. Mengapa
itu dipertajam? Bahkan merasa puas kala seseorang bisa menyalahkan cara dan
praktek ibadah, atau mematakan argumentasi seseorang dalam sebuah diskusi. Ada
seorang kyai yang merasa puas kala bisa menyalahkan buku yang ditulis seorang
doktor. Sayangnya, baru sebatas emosi tanpa mengkaji secara akademik dengan
rangkaian procedural layaknya seorang peneliti di tingkat perguruan tinggi.
Sebar sana sini dalam medsos. Bangga dirinya berhasil meluruskan yang bengkok.
Kala dibaca karya tersebut, jauh dari suasana akademik. Bahkan tidak memenuhi
standar penerbitan buku.
Saya hanya bisa senyum. Karena saya percaya bahwa beragama dan
memahami agama itu urusan personal. Universitas yang mengukur karya akademik
dan tidaknya. Seorang yang tidak berurusan dengan dunia ilmiah, jangan kepedean
mengaku ilmiah.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa beragama dan berkeyakinan
itu bersifat personal. Meski ada komunitas atau kumpulan jamaah, itu juga
termasuk eksklusif dan bukan wilayah publik. Hanya yang tergabung saja yang masuk.
Tentu itu bukan wilayah orang luar dari komunitas tersebut. Saya percaya, Islam
itu rahmatan lil’alamin. Karena itu, mari wujudkan Islam yang Rahmatan lil
‘alamin. Jangan sampai menjadi la’natan lil ‘alamin. [ahmad sahidin]