Ada sebuah
riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kitab Jihadun Nafs (Jihad
al-Nafs, Al- Mahijah AI-Baidha, Beirut, 1993, halaman 69-70) karya Ayatullah
Mazhahiri.
Di masa
Rasulullah saw, ada perempuan yang memiliki anak kecil. Perempuan ini seorang
muslimah. la tidak bisa membaca dan menulis tapi ia mukmin yang sejati. Imannya
memenuhi jantung dan hatinya. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika
menghadapi ujian. Suatu hari anaknya itu sakit sementara suaminya sedang berada di tempat jauh untuk
bekerja. Ketika suaminya bekerja, si anak kecil itu rneninggal dunia.
Istri itu
duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. la terjaga dari tangisannya. la
menyadari bahwa sebentar lagi, suaminya akan pulang. la bergumam, “Kalau aku
menangis terus menerus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan
dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah.”
Kemudian ia
meletakkan anaknya yang sudah meninggal itu pada suatu tempat. Tibalah suaminya
dari tempat kerjanya yang jauh. Ketika suaminya hendak masuk ke rumah, istri
itu menyambutnya dengan senyum ramah. la sembunyikan kesedihan dan ia sambut
suaminya dengan mengajaknya makan. la basuh kaki suaminya itu.
Suaminya
berkata, “Mana anak kita yang sakit?” Istrinya rnenjawab, “Alhamdulillah ia
sudah lebih baik.”
Istri itu
tidak berbohong karena anak kecilnya sudah berada di surge yang keadaannya jauh
lebih baik. Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru datang. la
ajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh.
Sang suami
bangun, mandi, dan shalat qabla subuh. Ketika ia akan berangkat ke mesjid untuk
shalat berjamaah, istrinya mendekat sambil berkata, “Suamiku aku punya
keperluan.” “Sebutkanlah,” kata suaminya.
Sang istri
menjawab, “Kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada
saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu
kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?’”
Suaminya
menjawab, “Pastilah aku menjadi suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat
dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib
mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya.”
Lalu istrinya
berkata, “Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat kepada kita. Hari kemarin,
dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari kita. Anak kita sekarang
sudah meninggal dunia. la ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau
dan lakukanlah shalat.”
Suaminya pergi
ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal. la Ialu pergi ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Setiba di
masjid, Nabi Muhammad saw menjemputnya seraya berkata, “Diberkatilah malam kamu
yang tadi itu.’ Malam itu adalah malam ketika suami istri itu bersabar dalam
menghadapi musibah.”
Dari kisah
tersebut kita dapat menangkap hikmah bagaimana sang istri memperlakukan suami
dengan sabar dan suami memperlakukan istri dengan sabar pula. Dalam istilah
psikologi modern, suami istri itu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Kecerdasan emosional sekarang ini sangat diperlukan.
Banyak masalah
yang menjadi besar atau tidak terselesaikan hanya karena tidak mampu
mengendalikan emosi dan tidak cerdas emosinya. Orang yang cerdas emosional akan
mengetahui langkah yang harus diambil untuk menyelesaikan setiap masalah.
Semoga masyarakat Indonesia
semakin cerdas! []
semakin cerdas! []