Senin, 14 September 2015

Sabar dan Mengendalikan Emosi

Ada sebuah riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kitab Jihadun Nafs (Jihad al-Nafs, Al- Mahijah AI-Baidha, Beirut, 1993, halaman 69-70) karya Ayatullah Mazhahiri.

Di masa Rasulullah saw, ada perempuan yang memiliki anak kecil. Perempuan ini seorang muslimah. la tidak bisa membaca dan menulis tapi ia mukmin yang sejati. Imannya memenuhi jantung dan hatinya. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi ujian. Suatu hari anaknya itu sakit sementara suaminya sedang berada di tempat jauh untuk bekerja. Ketika suaminya bekerja, si anak kecil itu rneninggal dunia.

Istri itu duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. la terjaga dari tangisannya. la menyadari bahwa sebentar lagi, suaminya akan pulang. la bergumam, “Kalau aku menangis terus menerus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah.”


Kemudian ia meletakkan anaknya yang sudah meninggal itu pada suatu tempat. Tibalah suaminya dari tempat kerjanya yang jauh. Ketika suaminya hendak masuk ke rumah, istri itu menyambutnya dengan senyum ramah. la sembunyikan kesedihan dan ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan. la basuh kaki suaminya itu.

Suaminya berkata, “Mana anak kita yang sakit?” Istrinya rnenjawab, “Alhamdulillah ia sudah lebih baik.”

Istri itu tidak berbohong karena anak kecilnya sudah berada di surge yang keadaannya jauh lebih baik. Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru datang. la ajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh.

Sang suami bangun, mandi, dan shalat qabla subuh. Ketika ia akan berangkat ke mesjid untuk shalat berjamaah, istrinya mendekat sambil berkata, “Suamiku aku punya keperluan.” “Sebutkanlah,” kata suaminya.

Sang istri menjawab, “Kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?’”

Suaminya menjawab, “Pastilah aku menjadi suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya.”

Lalu istrinya berkata, “Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari kita. Anak kita sekarang sudah meninggal dunia. la ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan lakukanlah shalat.”

Suaminya pergi ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal. la Ialu pergi ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Setiba di masjid, Nabi Muhammad saw menjemputnya seraya berkata, “Diberkatilah malam kamu yang tadi itu.’ Malam itu adalah malam ketika suami istri itu bersabar dalam menghadapi musibah.”

Dari kisah tersebut kita dapat menangkap hikmah bagaimana sang istri memperlakukan suami dengan sabar dan suami memperlakukan istri dengan sabar pula. Dalam istilah psikologi modern, suami istri itu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Kecerdasan emosional sekarang ini sangat diperlukan.

Banyak masalah yang menjadi besar atau tidak terselesaikan hanya karena tidak mampu mengendalikan emosi dan tidak cerdas emosinya. Orang yang cerdas emosional akan mengetahui langkah yang harus diambil untuk menyelesaikan setiap masalah. Semoga masyarakat Indonesia
semakin cerdas! []