Diskusi ini
dimulai dari berita bahwa ada pengikut mazhab Islam Syiah yang dipaksa agar kembali
kepada Ahlussunah dengan alasan dahulunya sudah Sunni dan masuk Syiah karena
dibohongi. Tidak jelas sebenarnya makna dari dibohongi: apakah orang yang masuk
Syiah dijanjikan jabatan dan uang? Kemudian tidak terbukti sehingga bilang
merasa dibohongi. Saya tidak paham dengan isi beritanya.
Berita ini
kemudian jadi bahan bincang kami di sebuah milis alumni Masjid Salman ITB.
Paksaan itu dipertanyakan, bahkan dikaitkan dengan Abu Bakar yang mengirim
Khalid bin Walid untuk mengambil zakat. Paksaan ambil zakat ini dikaitkan
dengan kekerasan atau paksaan untuk kembali pada mazhab leluhurnya orang
Madura.
Seseorang
menyatakan bahwa tingkah Abu Bakar yang memaksa, bahkan sampai melakukan
tindakan pembunuhan dinilai tidak sesuai dengan ayat : laa ikraaha fid
diin. Saya sampaikan juga bahwa kisah tersebut ada dalam buku Saqifah karya
O.Hashem yang isinya mengerikan dan menyeramkan. Ternyata, tidak semua sahabat
Nabi berakhlak mulia. Ada juga yang jauh dari ajaran Islam.
Kemudian
muncul tanggapan: “Ya tentunya begitu. Buku Tsaqifah itu propaganda kaum Syiah.
Di buku itu sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits justru dihujat-hujat
sedemikian rupa. Mengerikan bacanya. (Kecuali kalau yang baca orang Syiah).
Saya langsung
beri tanggapan: k alau dipikir-pikir setiap buku pasti bagian dari
propaganda. Orang yang mazhab Sunni menulis buku pasti isinya sedikit atau
banyak pasti membenarkan pemahamannya. Juga orang Syiah. Sama saja. Saya kira
wajar yang demikian. Yang perlu dilihat adalah dari segi metodologi dan
perspektif akademis. Sudahkah buku tersebut mengacu pada standar akademis atau
ilmiah? Kalau urusan sejarah, sudahkah diteliti berdasarkan metodologi sejarah?
Kalau hadis, sudah diteliti berdasarkan tinjauan kritis studi hadis yang
terkiwari yang diakui seluruh pengkaji hadis di dunia. Dari sana kita
menilainya. Soal materinya, cukup saja dijadikan ilmu atau wawasan. Soal beragama
dan ibadah, ikuti saja yang sesuai dengan diri sendiri.
Ternyata
saudara saya yang satu ini kemudian mengeluarkan pernyataan berikut:
“ Nah, itu dia poinnya. Ilmu hadits menempatkan sahabat Abu Hurairah
sebagai salah satu sahabat utama yang meriwayatkan hadits. Ini konsekuensi dari
ketinggian ilmu dan kemuliaan akhlaknya yang menjadikannya masuk dalam kategori
“tsiqah” sehingga hadits yang diriwayatkannya bisa diterima. Namun apa
yang dituliskan dalam (buku) Tsaqifah tentang sahabat ini? Mengerikan. Secara
akademis keabsahan “Tsaqifah” runtuh akibat menghina sahabat ini. Ibaratnya ada
buku yang membahas panjang-lebar kesalahan Teori Relativitas Einstein, tapi
ternyata salah memahami prinsip Gerak Lurus Berubah Beraturan. Hancur
reputasinya. Kecuali kalau Anda seorang Syiah… hehe..”
Dari komentar
tersebut saya terpancing juga untuk ikut mengomentarinya. Saya tanya pada
mereka tentang kelahiran Abu Hurairah: tahun berapa dan berapa lama saat
bersama Rasulullah saw? Dari kajian historis (thabaqat sohabah) akan diketahui,
apakah seseorang itu bisa dikategorikan kuat tidaknya dalam periwayatan hadis.
“Ilmu hadits menempatkan sahabat Abu Hurairah sebagai salah
satu sahabat utama yang meriwayatkan hadits”. Yang ini saya kira
masih diwakili ulama hadis Sunni. Ini saya kira perlu dikaji ulang sebab
pendapat demikian termasuk terdahulu yang perlu dikaji ulang. Adakah yang
mengakui dari mazhab lainnya? Tinjauan kajian hadis di Barat juga menyatakan
perlu dikaji ulang berkaitan dengan penempatan posisi Abu Hurairah.
Saya bukan
pengkaji hadis. Hanya saja saya pernah belajar di UIN Bandung tentang ulumul
hadis. Salah satu pelajaran yg masih saya ingat bahwa untuk takhrijul hadits
tidak hanya didasarkan kajian matan dan sanad, tapi juga aspek historis dan
ditimbang dengan isi ayat Al-Quran. Kalau sebuah hadis bertentangan dgn Quran
maka perlu dipertimbangkan keshahihannya. Karena Quran satu-satunya sumber yang
paling benar dan setiap pewahyuannya senantiasa merespon konteks sosial
historis yang dialami Rasulullah saw.
Kadang saya
juga tanya-tanya kenapa hadis dari Al-Hasan bin Ali, cucu Nabi atau Siti
Fathimah, anak Rasulullah saw, lebih sedikit dibandingkan dengan Abu Hurairah?
Padahal dari segi kedekatan dgn Nabi lebih kuat anak dan cucunya ketimbang
sahabatnya.
Soal Abu
Hurairah dipertanyakan juga oleh Muhammad Al-Ghazali dari Qatar, kalau tak
salah ia seorang ulama Sunni, bukunya kalau tidak salah judulnya ‘Kontroversi
Hadis’ yg di dalamnya dibahas tentang Abu Hurairah.
Guru saya,
Prof Afif Muhammad dari pascasarjana UIN Bandung pernah mengatakan bahwa yang
dinilai manusia bukan mazhabnya tapi pada amal ibadahnya. Allah dan Rasul-Nya
yang akan menilainya. Kerja ilmiah juga saya kira akan dinilai Allah dan
Rasul-Nya.
Menurut saya,
kritik berdasarkan fakta yang kuat dan ilmiah beda dengan penghinaan. Bukankah
dalam Quran juga pada surah Jumuah [62] ada ayat 11 yang menyatakan para
sohabat meninggalkan Nabi saat khutbah jumat hanya karena ada yang jualan.
Mereka meninggalkan Nabi. Haruskah yang demikian diikuti dan diteladani? [ahmad
sahidin]