Kamis, 03 September 2015

Dari Sebuah Diskusi: Saqifah Bani Saidah

Diskusi ini dimulai dari berita bahwa ada pengikut mazhab Islam Syiah yang dipaksa agar kembali kepada Ahlussunah dengan alasan dahulunya sudah Sunni dan masuk Syiah karena dibohongi. Tidak jelas sebenarnya makna dari dibohongi: apakah orang yang masuk Syiah dijanjikan jabatan dan uang? Kemudian tidak terbukti sehingga bilang merasa dibohongi. Saya tidak paham dengan isi beritanya.

Berita ini kemudian jadi bahan bincang kami di sebuah milis alumni Masjid Salman ITB. Paksaan itu dipertanyakan, bahkan dikaitkan dengan Abu Bakar yang mengirim Khalid bin Walid untuk mengambil zakat. Paksaan ambil zakat ini dikaitkan dengan kekerasan atau paksaan untuk kembali pada mazhab leluhurnya orang Madura.


Seseorang menyatakan bahwa tingkah Abu Bakar yang memaksa, bahkan sampai melakukan tindakan pembunuhan dinilai tidak sesuai dengan ayat : laa ikraaha fid diin. Saya sampaikan juga bahwa kisah tersebut ada dalam buku Saqifah karya O.Hashem yang isinya mengerikan dan menyeramkan. Ternyata, tidak semua sahabat Nabi berakhlak mulia. Ada juga yang jauh dari ajaran Islam.

Kemudian muncul tanggapan: “Ya tentunya begitu. Buku Tsaqifah itu propaganda kaum Syiah. Di buku itu sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits justru dihujat-hujat sedemikian rupa. Mengerikan bacanya. (Kecuali kalau yang baca orang Syiah).

Saya langsung beri tanggapan: k alau dipikir-pikir setiap buku pasti bagian dari propaganda. Orang yang mazhab Sunni menulis buku pasti isinya sedikit atau banyak pasti membenarkan pemahamannya. Juga orang Syiah. Sama saja. Saya kira wajar yang demikian. Yang perlu dilihat adalah dari segi metodologi dan perspektif akademis. Sudahkah buku tersebut mengacu pada standar akademis atau ilmiah? Kalau urusan sejarah, sudahkah diteliti berdasarkan metodologi sejarah? Kalau hadis, sudah diteliti berdasarkan tinjauan kritis studi hadis yang terkiwari yang diakui seluruh pengkaji hadis di dunia. Dari sana kita menilainya. Soal materinya, cukup saja dijadikan ilmu atau wawasan. Soal beragama dan ibadah, ikuti saja yang sesuai dengan diri sendiri.

Ternyata saudara saya yang satu ini kemudian mengeluarkan pernyataan berikut: “ Nah, itu dia poinnya. Ilmu hadits menempatkan sahabat Abu Hurairah sebagai salah satu sahabat utama yang meriwayatkan hadits. Ini konsekuensi dari ketinggian ilmu dan kemuliaan akhlaknya yang menjadikannya masuk dalam kategori “tsiqah” sehingga hadits yang diriwayatkannya bisa diterima. Namun apa yang dituliskan dalam (buku) Tsaqifah tentang sahabat ini? Mengerikan. Secara akademis keabsahan “Tsaqifah” runtuh akibat menghina sahabat ini. Ibaratnya ada buku yang membahas panjang-lebar kesalahan Teori Relativitas Einstein, tapi ternyata salah memahami prinsip Gerak Lurus Berubah Beraturan. Hancur reputasinya. Kecuali kalau Anda seorang Syiah… hehe..”

Dari komentar tersebut saya terpancing juga untuk ikut mengomentarinya. Saya tanya pada mereka tentang kelahiran Abu Hurairah: tahun berapa dan berapa lama saat bersama Rasulullah saw? Dari kajian historis (thabaqat sohabah) akan diketahui, apakah seseorang itu bisa dikategorikan kuat tidaknya dalam periwayatan hadis.

“Ilmu hadits menempatkan sahabat Abu Hurairah sebagai salah satu  sahabat utama yang meriwayatkan hadits”. Yang ini saya kira masih diwakili ulama hadis Sunni. Ini saya kira perlu dikaji ulang sebab pendapat demikian termasuk terdahulu yang perlu dikaji ulang. Adakah yang mengakui dari mazhab lainnya? Tinjauan kajian hadis di Barat juga menyatakan perlu dikaji ulang berkaitan dengan penempatan posisi Abu Hurairah.

Saya bukan pengkaji hadis. Hanya saja saya pernah belajar di UIN Bandung tentang ulumul hadis. Salah satu pelajaran yg masih saya ingat bahwa untuk takhrijul hadits tidak hanya didasarkan kajian matan dan sanad, tapi juga aspek historis dan ditimbang dengan isi ayat Al-Quran. Kalau sebuah hadis bertentangan dgn Quran maka perlu dipertimbangkan keshahihannya. Karena Quran satu-satunya sumber yang paling benar dan setiap pewahyuannya senantiasa merespon konteks sosial historis yang dialami Rasulullah saw.

Kadang saya juga tanya-tanya kenapa hadis dari Al-Hasan bin Ali, cucu Nabi atau Siti Fathimah, anak Rasulullah saw, lebih sedikit dibandingkan dengan Abu Hurairah? Padahal dari segi kedekatan dgn Nabi lebih kuat anak dan cucunya ketimbang sahabatnya.

Soal Abu Hurairah dipertanyakan juga oleh Muhammad Al-Ghazali dari Qatar, kalau tak salah ia seorang ulama Sunni, bukunya kalau tidak salah judulnya ‘Kontroversi Hadis’ yg di dalamnya dibahas tentang Abu Hurairah.

Guru saya, Prof Afif Muhammad dari pascasarjana UIN Bandung pernah mengatakan bahwa yang dinilai manusia bukan mazhabnya tapi pada amal ibadahnya. Allah dan Rasul-Nya yang akan menilainya. Kerja ilmiah juga saya kira akan dinilai Allah dan Rasul-Nya.


Menurut saya, kritik berdasarkan fakta yang kuat dan ilmiah beda dengan penghinaan. Bukankah dalam Quran juga pada surah Jumuah [62] ada ayat 11 yang menyatakan para sohabat meninggalkan Nabi saat khutbah jumat hanya karena ada yang jualan. Mereka meninggalkan Nabi. Haruskah yang demikian diikuti dan diteladani? [ahmad sahidin]